"Selain itu, silang sengkarut ini juga dipengaruhi oleh kebijakan pengelolaan pangan yang bersifat kapitalistik. Dalam sistem perekonomian kapitalis, tidak akan pernah ada keberpihakan pada petani atau rakyat. Adanya justru keberpihakan kepada para pemodal."
Oleh. Haifa Eimaan
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Kabar memerahkan telinga kembali menerpa para petani. Tidak ada kemarau panjang, tidak ada serangan hama yang menyebabkan gagal panen, apalagi banjir yang merusak berhektar-hektar areal persawahan, tetapi Perum Bulog dikabarkan akan mengimpor beras sebesar 500 ribu ton. Pupus sudah harapan petani bisa menjual gabah dengan harga tinggi. Alih-alih mendapatkan laba, bisa jadi mereka hanya impas bahkan merugi.
Menanggapi kabar impor beras ini, Henry Saragih sebagai Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), menyampaikan penolakannya kepada Tempo pada Selasa, 22 November lalu. Menurutnya, rencana impor beras itu menyalahi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2022 tentang Pangan, yaitu impor beras tidak diperkenankan apabila produksi beras dalam negeri masih cukup. Faktanya, memang masih ada berton-ton beras yang beredar di tengah-tengah masyarakat.
Ketika harga beli Bulog lebih murah dari tengkulak, petani jelas lebih memilih menjualnya kepada para tengkulak. Selisih lima puluh rupiah per kilogram pun, petani pasti memilih tengkulak. Mengapa? Karena, para juragan gabah ini akan menjemput hasil panen ke sawah. Sehingga petani bisa menghemat biaya transportasi.
Akan tetapi, bila harga dari Bulog dan tengkulak ini benar-benar tidak tertolong, petani akan menyimpan gabahnya sebagai persediaan, dikonsumsi sendiri, atau menjualnya sudah dalam bentuk beras. Mereka akan menjualnya sedikit demi sedikit, sampai tiba musim panen lagi.
Keberadaan berton-ton gabah dan beras di tengah-tengah masyarakat ini, yang tidak masuk ke dalam hitungan Perum Bulog. Kementerian Pertanian pun tidak bisa mendatangkan beras sesuai permintaan Bulog. Walaupun Henry Saragih telah menyampaikan kondisi aman cadangan beras pemerintah kepada Kementerian Pertanian, tetapi Bulog tetap tutup telinga. Karena faktanya, di gudang Bulog belum mencapai 1,2 juta ton. Angka ini merupakan harga mati.
Sedangkan cadangan beras yang tersedia per 22 November 2022 hanya sebesar 594.856 ton, sebagaimana dilansir oleh Katadata.com pada 26 November 2022. Maka jelas angka itu alarm tanda bahaya. Angka 594 ton menjadi alasan yang cukup bagi pemerintah untuk menambah cadangan beras hingga level aman.
Untuk diketahui, pemerintah masih menjadikan harga beras sebagai salah satu parameter penentu inflasi. Oleh karena itu, menstabilkan harga beras demi mencegah inflasi merupakan kebijakan yang tidak bisa ditawar. Pemerintah akan menjaga kenaikan harga beras dengan cara apa pun, termasuk mengimpor beras, meski itu harus menyakiti dan menzalimi para petani.
Bisa menekan laju inflasi telah menjadi kebanggaan baru pemerintah. Perekonomian sebatas mengutak-atik angka-angka yang tertera di layar komputer, agar sesuai dengan parameter-parameter perekonomian kapitalis. Pun dengan cara pemenuhannya, tidak ada kepedulian bahwa di balik angka-angka itu ada petani-petani, ada keluarga-keluarga, dan anak-anak yang tidak tercukupi hajat hidupnya. Sungguh miris, saat mengetahui semuanya, dada terasa diimpit berkilo-kilo batu.
Buruknya Tata Kelola Pangan ala Kapitalis
Seluruh persoalan ini menunjukkan adanya kegagalan perencanaan mulai tahap sebelum masa tanam, pemeliharaan, pengelolaan hasil panen sampai penyerapannya oleh Bulog. Demikian pula drama buruknya koordinasi berbagai pihak terkait. Badan Pangan Nasional (Bapanas) sebagai sebuah lembaga pemerintah yang baru dibentuk melalui Perpres 66 Tahun 2021 dan digadang-gadang mampu menciptakan kedaulatan pangan, ketahanan pangan, dan kemandirian pangan bagi negara, justru makin memperpanjang garis koordinasi. Saking panjangnya hingga membuat lelah, titik temunya tetap impor beras.
Selain itu, silang sengkarut ini juga dipengaruhi oleh kebijakan pengelolaan pangan yang bersifat kapitalistik. Dalam sistem perekonomian kapitalis, tidak akan pernah ada keberpihakan pada petani atau rakyat. Adanya justru keberpihakan kepada para pemodal. Ibaratnya rumah tangga, pemerintah terang-terangan menyelingkuhi rakyat. Ia bermesraan dengan para pemilik modal yang membuatnya berkuasa.
Jika demikian, bagaimana mungkin akan berpihak pada petani? Maka wajar jika ada peristiwa pupuk bersubsidi langka, karena oleh oknum dijual ke oknum lainnya, seperti yang terjadi di Lampung belum lama ini. Sebanyak 8,7 juta ton pupuk bersubsidi tidak dijual ke petani, demi raup untung sepuluh ribu rupiah tiap kilogram (Kompas.com, 8/11/2022).
Bila pupuk langka, jelas petani akan kesulitan mendapatkannya. Dampak jangka panjangnya akan menurunkan hasil produksi gabah. Lingkaran setan ini terus akan berputar-putar menghantui bila tidak segera diakhiri.
Tata Kelola Pangan Sahih versi Islam
Islam memiliki sistem pengelolaan pangan terbaik. Dalam politik pertanian Islam, seluruh sektor dari hulu sampai hilir diselenggarakan untuk kemaslahatan dan kemakmuran rakyat.
Di sektor hulu, Khilafah membangun seluruh sarana dan prasarana terbaik, seperti saluran irigasi yang dapat diakses seluruh sawah, jalan raya, dan transportasi, demi kelancaran distribusi hasil panen.
Selain itu, Khilafah juga akan mengintensifkan areal pertanian yang ada demi hasil optimal. Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, ketika Irak ditaklukkan, tanah-tanah pertaniannya tetap dikelola pemiliknya. Hanya saja wajib dikeluarkan kharaj-nya.
Dikutip dari kitab Nahjul Balaghah, Sayidina Ali bin Abi Thalib saat memeriksa keadaan tanah kharaj , untuk memperbaiki kondisi pekerjanya memastikan kesejahteraan mereka. Perbaikan kharaj akan memberikan banyak manfaat bagi orang lain. Sayyidina Ali memerintahkan untuk memprioritaskan pembangunan serta perbaikan tanah kharaj terlebih dulu. Setelahnya baru memungut kharaj.
Intensifikasi ini dilakukan beriringan dengan ekstensifikasi, atau perluasan areal pertanian. Ekstensifikasi ini bisa dengan menghidupkan tanah mati, pemagaran atas tanah-tanah yang ditinggal pemiliknya selama tiga tahun. Di dalam kitab Sunan al Kubro karya Imam al Baihaqi, hadis nomor 11.601 diriwayatkan bahwa Amru bin Syuaib berkata Umar menjadikan pemagaran tanah itu selama tiga tahun. Jika orang itu membiarkan tanah tersebut hingga berlalu selama tiga tahun, kemudian ada orang lain yang menghidupkannya, maka ia lebih berhak atas tanah itu.
Sedangkan untuk petani, Khilafah akan memberikan subsidi melalui diwan ‘atha,. Sebuah biro pelaksana yang akan menyalurkan subsidi, meliputi modal atau bantuan langsung, seperti, benih, alat-alat pertanian terbaru, pelatihan cara tanam, pupuk, hingga pembasmi hama dan gulma.
Di sektor hilir, Khilafah akan memberikan kemudahan bagi petani untuk mengolah hasil pertaniannya, membelinya dengan harga tinggi sesuai kualitas, menjaga kestabilan harga dengan menghilangkan aktivitas penimbunan, dan menahan produk dengan tujuan menaikkan harga. Al Hakim dan Imam Al Baihaqi meriwayatkan dari Abu Umamah al-Bahili bahwa Rasulullah saw. melarang penimbunan makanan. Bila tetap melanggar, maka khalifah akan memberikan takzir kepada pelaku penimbunan.
Khilafah mengalkulasi seluruh kebutuhan pangan tiap wilayah tanpa ada yang luput. Bila surplus di satu wilayah sementara lainnya paceklik, maka bahan pangan akan segera didistribusikan ke daerah paceklik. Seperti yang pernah terjadi di Madinah, Khalifah Umar bin Khathab mengirim surat kepada Abu Musa Al Asyari di Bashrah ketika Madinah paceklik. Sayyidina Umar juga berkirim surat kepada gubernur Mesir, Amru bin Ash. Kedua gubernur ini mengirimkan bantuan dalam jumlah besar ke Madinah.
Setelah seluruh langkah dilakukan optimal tetapi hasil panen di seluruh wilayah Khilafah tetap tidak mencukupi, misal diakibatkan serangan hama dan bencana alam, kekurangan bahan pangan itu bisa diselesaikan dengan membelinya dari negara lain. Kebijakan impor ini hukumnya mubah sebagaimana kemubahan aktivitas jual beli.
Masyaallah. Demikian luar biasa tata kelola pangan dalam Islam. Sepanjang 14 abad, tidak ada cerita gelap pengkhianatan khalifah kepada rakyatnya. Yang ada justru khalifah akan melakukan upaya terbaik agar seluruh rakyatnya sejahtera. Tata kelola ini tidak akan pernah bisa disamai oleh sistem hidup mana pun, kecuali dengan sukarela menggantinya dengan tata kelola islami dalam sebuah sistem pemerintahan Islam pula, Ad Daulah Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwah.[]
Photo : Canva