"Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya." (QS At-Tholaq : 2-3)
Oleh. Isti Rahmawati, S.Hum
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Tawakal itu letaknya di dalam hati.
Tersembunyi dalam hening sepertiga malam
Hari ini Nita dan kedua anaknya dijemput oleh Adit untuk menempati rumah baru. Sebetulnya bukan rumah baru, hanya rumah kontrakan kecil. Selama tujuh bulan setelah melahirkan anak keduanya, untuk sementara Nita tinggal di rumah kedua orang tuanya.
Sebelumnya, Adit dan Nita merantau ke Surabaya. Keduanya sama-sama bekerja di salah satu yayasan pendidikan. Nita juga diberi keringanan untuk membawa anak saat bekerja. Dengan gaji keduanya, tentu tidak cukup untuk membayar pengasuh. Itu saat mereka memiliki anak satu.
Memutuskan untuk kembali dari perantauan bukanlah perkara mudah. Awalnya mereka tidak ada niatan untuk resign dan kembali ke Bandung. Tapi, setelah Nita melahirkan anak kedua, Nita tidak lagi bisa mengajar. Alhasil, hanya gaji Adit yang bisa diandalkan. Dengan gaji di bawah 1,5 juta di perantauan rasanya terlalu sulit bagi mereka. Belum lagi jika Lebaran dan mengharuskan mereka mudik dengan ongkos yang lumayan berat.
"Neng, akhir Juli Aa mau resign. Kita balik lagi ke Bandung," ketik Adit di _handphone-_nya.
"Aku setuju-setuju aja. Tapi saat resign, Aa mau kerja apa?" balas Nita.
"Ya Aa cari kerja. Aa juga bisa ikut bapak jualan bakso dulu."
Mendengar jawaban Adit, hati Nita malah mengerut. Melepas pekerjaan apalagi setelah kelahiran anak kedua membuat Nita malah tidak yakin. Bagaimana kalau Adit harus menganggur lebih lama? Nita sudah merasa sungkan karena sudah tujuh bulan ini di rumah orang tuanya.
Selama tujuh bulan itu mereka berjauhan antara Bandung-Surabaya. Adit hanya pulang sekali dalam sebulan. Bukan tak rindu, namun ongkos bolak-balik membuat Adit lebih memilih menyisihkan uangnya untuk kebutuhan anak keduanya. Kehidupan Adit semakin berat.
Adit terus berkabar dan terus meyakinkan Nita untuk bertawakal kepada Allah. Selain karena materi, Adit ingin kembali ke Bandung agar bisa berdekatan dengan orang tua. Sedih rasanya hanya membersamai mereka saat Idulfitri saja.
Lagi-lagi alasan Adit memantul di hati Nita. Ia tetap ragu akan langkah besar Adit untuk resign. Apalagi ia tahu kalau orang tua Adit pun sedang ada di masa sulit. Maka, dengan apa Adit akan memberinya nafkah jika resign dan kembali menetap di Bandung tanpa pekerjaan.
"Kalau kita pindah ke Bandung. Nanti kita langsung cari kontrakan atau gimana?"
"Ya mudah-mudahan ada rezekinya."
"Aku gak mau ya kalau harus tinggal di orang tuaku," balas Nita.
"Ya gak akan, paling mentok kita tinggal di orang tuaku."
"Aku ga mau."
"Ya harus gimana? Gajiku di sini pas-pasan untuk membiayai keluarga kita. Aku harus pulang dan cari pekerjaan yang gajinya lebih besar."
"Kalau malah gak dapet gimana?"
"Kamu malah bikin aku ragu bukan kasih support."
"Aku mikirin anak-anak. Aku juga malu terus-terusan ini. Kalau kamu resign. Kamu juga harus sewakan kontrakan buat aku dan anak-anak. Gak perlu yang besar. Sederhana aja."
"Doakan aku ya, Sayang,"
"Iya. Aku mau nyuapin anak-anak dulu."
Di akhir pembicaraan, Nita selalu mengakhiri percakapan dengan pesan yang singkat. Itu hukum keumuman dari perempuan yang hatinya sedang kesal.
Sambil memberi ASI anak keduanya, Nita sering melamun membayangkan rencana Adit untuk kembali ke Bandung. Keraguan menyeruak di hatinya bersamaan dengan rasa malu karena sudah meragukan rezeki dari Allah. Namun, lagi-lagi logika Nita lebih banyak mengambil peran di hatinya. Tanpa sadar, Nita lupa bahwa rezeki setiap insan sudah Allah catat bagiannya. Manusia cukup berikhtiar dan bertawakal.
Bakda Magrib, Nita duduk di samping ibunya yang sedang serius membuka handphone. Nita sering sekali mengobrol santai dengan ibunya itu. Nani, ibu Nita seorang pendengar yang baik. Itulah yang membuat anaknya selalu nyaman untuk sekadar bertukar pikiran.
"Mah, suamiku mau resign, Mah. Mau balik lagi ke Bandung. Cari kerja di sini."
"Begitu? Yayasan yang di sana gak apa-apa?" tanya Nani.
"Ya gimana Mah. Anak udah dua. Neng gak bisa kerja lagi. Gaji di sana dan living cost gak imbang. Mau cari kerja di sini."
"Nanti mama nanya ke temen. Barangkali ada lowongan. Ikhtiar aja dulu. Ibadah perbagus supaya Allah mudahkan segala rencana."
"Neng, ini ada lowongan. Di deket rumah orang tua suamimu. Mama kirim ke WA."
"Ya Mah, kirim."
Informasi lowongan dari Nani langsung disambut oleh Nita. Ia langsung mengabari Adit untuk segera membuat lamaran pekerjaan. Ia sangat berharap kalau kali ini adalah rezekinya.
Dua minggu setelah mengirim lamaran lewat email. Akhirnya Adit dipanggil untuk wawancara. Dengan ongkos pas-pasan ia pulang menggunakan bus umum. Saat itu, virus Covid-19 baru menyebar di negeri asalnya, Cina. Adit masih leluasa untuk pulang pergi Surabaya-Bandung.
Penawaran dari yayasan di Bandung ini cukup besar. Gajinya sebanyak gaji Adit dan Nita jika digabung. Adit ditawari posisi sebagai manajemen. Pengumuman resmi sekitar 3 minggu setelah wawancara.
Setelah Adit kembali ke Surabaya, virus Covid mulai masuk ke Indonesia. Adit mulai dirumahkan oleh yayasan di Surabaya. Saat itu Nita semakin was-was. Resign di tengah pandemi, ide macam apa itu. Di saat yang lain dirumahkan, suaminya justru sedang mengajukan resign dan melamar pekerjaan baru.
Semua gambaran rencana Nita mendadak buyar. Adit terancam menganggur di Bandung. Usaha bakso milik orang tuanya pun terkena dampak Covid-19.
"Kepada siapa aku harus mengadu? Belum tentu yayasan di Bandung ini menerima karyawan di tengah pandemi," bisik Nita dalam hati.
Jawaban pertanyaan itu hanya mampu terjawab oleh hati yang bersih dan tenang. Nita terbangun jam tiga pagi. Dengan kantuk yang menyerang, ia bergegas mengambil air wudu. Ditumpahkan semua air mata kegelisahannya.
Air matanya sudah lama kering. Keluh kesahnya sudah lama hanya milik suaminya. Padahal, ada Sang Maha Besar tempat segala air mata mampu ditampung. Nita hanya terisak hingga tak ada satu pun kalimat doa yang terucap. Dia berpikir, Allah sudah tahu apa masalahnya. Air matanya bisa menjadi saksi betapa berat hatinya menghadapi semua ini.
Dalam isakan yang semakin berat, Nita menatap kedua buah hatinya di atas kasur. Bukan kekuatan namun isakannya semakin bertambah. Ia merasa tak berdaya. Bayangan hidup normal di rumah kontrakan sederhana hilang begitu saja.
"Semoga masih ada hari esok," desah Nita dalam hati.
Seminggu kemudian
"Gimana rumahnya? Lumayan yah untuk ditempati kita berempat?" tanya Adit penuh antusias.
"Alhamdulillah. Makasih ya Aa. Mudah-mudahan suatu hari kita bisa nempatin kontrakan yang lebih besar dari ini."
"Syut. Rumah sendiri. Aamiin. Ayo buka pintunya," ajak Adit.
Air mata Nita yang tumpah di atas sajadah waktu itu berbuah manis. Adit diterima di yayasan baru di Bandung. Ia adalah satu dari belasan kandidat karyawan yang lolos. Yayasan baru saat ini sebetulnya ragu untuk merekrut karyawan baru di tengah pandemi. Namun karena terlanjur, akhirnya mereka tetap meloloskan beberapa karyawan.
"Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya." (QS At-Tholaq : 2-3)[]