”Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa demokrasi tak semanis jargonnya. Ide yang lahir dari paham barat yakni sekularisme nyatanya memiliki standar ganda dan patut diwaspadai.”
Oleh. Yana Sofia
(Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Keputusan pemerintah dan Komisi III DPR RI untuk mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah menuai polemik dan kontroversi. Hal ini disinyalir karena adanya pasal-pasal bermasalah yang terkandung dalam RKUHP yang berpotensi melahirkan sistem hukum yang cacat formil.
Lalu benarkah RKUHP mengandung kebijakan antikritik? Kenapa pemerintah ngotot RKUHP segera disahkan meski menuai kontroversi?
Ibarat Menjilat Ludah Sendiri
Dilansir dari tempo.co, pada Senin (5/11/2022) Aliansi Nasional Reformasi KUHP yakni gabungan beberapa LSM telah melakukan protes dengan aksi tabur bunga di depan Gedung DPR, sebagai bentuk penolakan mereka terhadap wacana pengesahan RKUHP yang dinilai mengandung pasal-pasal bermasalah.
Koordinator Aksi, Adhitiya Augusta Triputra mengungkapkan bahwa pasal-pasal dalam draf RKUHP dinilai bermasalah karena antidemokrasi, membungkam kebebasan pers, mengatur ruang privat masyarakat, diskriminatif pada pihak perempuan dan kaum marjinal, serta mengancam tradisi dan keberadaan masyarakat adat.
Hal senada juga disampaikan pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, ia mengungkapkan kekecewaannya terkait RKUHP yang akan disahkan lewat paripurna DPR RI Selasa (6/12/2022) ini. Karena menurutnya RKUHP ini antidemokrasi dan rawan menimbulkan kekacauan. Karena itu, Bivitri menilai RKUHP dipercepat pengesahannya untuk meredam peluang adanya gelombang unjuk rasa yang lebih besar, yang menyebabkan ditundanya sejak 2019 lalu. Dikutip kompas.com, Sabtu (4/12/2022).
Stigma antidemokrasi mungkin membuat kita bertanya-tanya, kenapa demokrasi yang identik "Dari rakyat dan untuk rakyat" ini malah mengesahkan kebijakan yang melanggar jargonnya sendiri? Ibarat menjilat ludah sendiri, demokrasi yang diklaim prorakyat malah melahirkan kebijakan antidemokrasi, antikritik, dan membungkam suara rakyat dan pers.
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa demokrasi tak semanis jargonnya. Ide yang lahir dari paham barat yakni sekularisme nyatanya memiliki standar ganda dan patut diwaspadai.
Potret Demokrasi
Dalam sejarah penerapan sistem demokrasi, berbagai kebijakannya hampir semua menghasilkan polemik dan perdebatan. Sebut saja, RUU TPKS, Sisdiknas, Cipta Kerja, dan tentu saja Rancangan Undang-Undang KUHP yang lagi ramai diprotes saat ini.
Sayangnya, pemerintah sepertinya tak ambil pusing. Di tengah banyaknya penolakan atas rencana pengesahan RKUHP, negara mengungkapkan bahwa pembahasan sudah sesuai aspirasi rakyat. Di saat rakyat menuding pemerintah antidemokrasi, negara melalui DPR-nya mengakui telah menerima masukan dari masyarakat dan melakukan perubahan baik dalam bentuk penghapusan, reformulasi, maupun penambahan pasal-pasal RKUHP.
Dan inilah wajah demokrasi yang penuh dengan standar ganda. Tidak ada landasan akurat untuk mengukur benar atau salah. Rakyat menganggap pemerintah antidemokrasi, sedang penguasa menilai rancangan KUHP sudah sejalan dengan prinsip demokrasi. Hal ini menunjukkan kepada kita, adanya kontradiksi dan dualisme kepentingan dalam penerapan prinsip demokrasi. Sistem ini berpotensi melahirkan kontroversi, saling bertabrakan, dan memicu polemik. Sungguh tak layak dijadikan sebagai sistem kehidupan.
Kritik dalam Islam
Islam adalah agama yang bijaksana, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, serta menjamin keadilan bagi seluruh rakyatnya. Karena itu Islam melarang penguasanya berbuat zalim pada rakyatnya, memusuhi rakyat, dan mencederai hak-hak umat.
Tentu, Islam mampu menciptakan tatanan kehidupan yang harmonis antara rakyat dan penguasanya. Ada segenap kebijakan yang Islam tetapkan agar umat senantiasa hidup dengan rasa tenteram tanpa takut terzalimi. Hal ini karena seluruh hukum dalam sistem pemerintahan Islam wajib bersumber dari wahyu Allah Swt dan sunah Rasulullah. Syariat Allah inilah yang akan menghilangkan kemungkinan kezaliman oleh penguasa.
Islam yang diterapkan secara kaffah, dalam bingkai negara akan menciptakan nuansa islami, penuh ketakwaan dalam kehidupan masyarakat dan negara. Dari sinilah pribadi-pribadi yang beriman dan bertakwa itu lahir. Termasuk pemimpin adil dan amanah, takut berbuat zalim kepada rakyatnya, karena sadar Allah mengawasi setiap gerak-gerik mereka.
Rasulullah bersabda, “Sungguh, manusia yang paling dicintai Allah pada hari kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah ialah pemimpin yang adil. Orang yang paling dibenci Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah pemimpin yang zalim,” (HR. Tirmidzi).
Lalu bagaimana jika rakyat melihat penguasa berbuat zalim, meninggal kewajiban, dan mengabaikan hak-hak rakyatnya? Maka Islam memberi ruang bagi rakyat untuk mengoreksi penguasanya, bahkan dijadikan oleh Islam aktivitas ini sebagai jihad yang utama, sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ad-Dailami, "Jihad yang paling utama adalah menyatakan keadilan di hadapan penguasa yang zalim."
Karena perintah ini bersumber dari syarak, maka penguasa tidak boleh antikritik dan bersikap 'buang muka' saat rakyat datang menegurnya. Karena dalam Islam penguasa adalah pengurus (pelayan) umat, sekaligus ra’in (pemimpin). Ia wajib mendengar setiap keluh kesah rakyatnya dan menjadi junnah (perisai) yang melindungi rakyat dari tindak kezaliman dan menghapus segala penderitaan rakyatnya.
Khatimah
Kebijakan yang lahir dari wahyu Allah sangat jauh berbeda dengan demokrasi sekuler yang diadopsi dari Barat. Hal ini karena sistem demokrasi bersumber dari akal manusia yang lemah dan terbatas, rawan menimbulkan perdebatan dan konflik, berpotensi melahirkan kezaliman di mana yang kuat 'menekan' yang lemah.
Karena itu, kita butuh aturan yang mampu melerai segala perbedaan, menyatukan pendapat tanpa menyisakan polemik yang berujung konflik. Kita butuh hukum yang sesuai fitrah, masuk akal, menentramkan jiwa, dan menghapuskan kezaliman di manapun dan apapun bentuknya. Hanya sistem Islam yang mampu memenuhi itu semua. Karena Islam adalah satu-satunya agama sekaligus ideologi yang bersumber dari Allah Azza Wajalla. Allah berfirman dalam surah Al-Maidah ayat 47, "Barang siapa yang tidak memutuskan perkara berdasarkan apa yang diturunkan Allah (Al-Qur'an) maka mereka adalah orang-orang yang zalim." Wallahu'alam[]