”Kontroversi dalam setiap pembuatan aturan dalam sistem demokrasi sudah menjadi hal yang biasa kita saksikan. Bagaimana tidak, hukum yang dibuat hanya mengandalkan akal manusia yang berpeluang menimbulkan kegaduhan, perselisihan, dan pertentangan.”
Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Tampaknya, protes keras masyarakat kembali dialamatkan kepada pemerintah dan DPR untuk mengesahkan RKUHP. Pasalnya, masyarakat memprotes berbagai pasal krusial di dalam RKUHP karena menebar ancaman kepada masyarakat dengan berbagai sanksi pidana penjara. Namun mirisnya, sistem demokrasi seolah memaksa rakyat untuk menerima segala kebijakan rezim. Terbukti, banyaknya fakta pembubaran paksa yang dilakukan aparat kepolisian terhadap sejumlah aksi protes yang dilakukan masyarakat.
Dilansir dari Kompas.com, pada Minggu (27/11/2022), telah terjadi aksi yang dilakukan sejumlah elemen masyarakat untuk menolak rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), Bundaran HI, Jakarta Pusat.
Lebih dari 50 tahun DPR menggodok RKUHP ini, namun hingga saat ini masih banyak mendapat kritik dan penolakan dari masyarakat, karena dinilai rawan multitafsir oleh aparat penegak hukum. Banyak pelajaran dari kontroversi ini, bahwa tuntutan penolakan revisi UU pada dasarnya tidak cukup, sebab kesengsaraan yang dialami rakyat Indonesia saat ini bukan sekadar diakibatkan oleh sejumlah aturan tersebut. Lebih dari itu, penerapan sistem demokrasi yang berasal dari ideologi sekuler-kapitalisme adalah akar masalah di negeri ini.
RKUHP yang Kontroversial
RKUHP adalah rancangan yang dibuat untuk mengatur perbuatan-perbuatan pidana atau apa saja yang dianggap sebagai perbuatan jahat, dan mengatur berat ringannya hukuman tersebut. Namun, banyak pihak yang menilai bahwa banyak pasal di dalam RKUHP bermasalah. Mulai dari masalah potensi pelanggaran HAM, hingga mengancam kebebasan berpendapat rakyat. Adapun pasal-pasal yang dinilai kontroversi, antara lain:
Pertama, misalnya pada pasal 431, dinyatakan bahwa gelandangan akan terkena denda maksimal Rp1 juta. Padahal, berdasarkan catatan Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta, hingga Januari 2021 terdapat 4.623 orang berstatus PMKS (penyandang masalah kesejahteraan sosial). Dari data tersebut, 1.044 orang berstatus sebagai gelandangan. Sementara di seluruh Indonesia, sebanyak 77.000 jiwa berstatus sebagai gelandangan dan pengemis.
Namun anehnya, demi mengatasi masalah tersebut, pemerintah akhirnya menggodok draf RKUHP mengenai pembahasan gelandangan. Padahal, jelas-jelas banyaknya gelandangan di negeri ini akibat gagalnya pemerintah dalam mengayomi dan memenuhi kesejahteraan rakyatnya.
Kedua, pasal 218 ayat 1 berbunyi, “Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori 1V.” Hukuman penjara tersebut bisa meningkat menjadi 4 tahun 6 bulan, jika penghinaan dilakukan melalui media elektronik.
Bukankah pemberlakuan pasal penghinaan Presiden ini sangat tidak sesuai dengan posisi Indonesia sebagai negara demokrasi, yang katanya menganut kebebasan? Hal ini jelas sangat menimbulkan kecurigaan di benak masyarakat. Pasalnya, selama ini sudah ada pasal pencemaran nama baik di dalam KUHP atau UU ITE, namun mengapa perlu dibuat pasal khusus untuk presiden dan wakil presiden?
Ketiga, pasal 252 mengenai santet. Menurut draf RKUHP, pasal tersebut dimaksudkan untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh black magic (ilmu hitam). Yang jadi pertanyaan, bagaimana pembuktian terhadap pelanggaran pasal santet, karena hingga sekarang belum ada alat ukur untuk bisa membuktikan praktik semacam itu. Hal ini jelas akan menyulitkan para penegak hukum sendiri.
Sebenarnya, berdasarkan draf versi 2019, disinyalir terdapat 24 isu krusial yang berpotensi diskriminatif dan overkriminalisasi, namun tidak ada sikap menonjol dari DPR yang berusaha untuk mengkritik. Kontroversi ini membuktikan ketidaklayakan hukum buatan manusia untuk mengatur masalah negara, sebab hukumnya akan selalu berbeda-beda sesuai perspektif dan kepentingan masing-masing orang, dan akan selalu diubah sesuai konteks waktu dan tempat. Intinya, KUHP yang berlaku sejak zaman penjajahan Belanda maupun revisinya sekarang, sama-sama batil dan tidak mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi negara saat ini.
Perlu Kita Cermati!
Tampak jelas bahwa RKUHP hanya menyasar rakyat sebagai objek hukum. Sebaliknya, tidak ada satu pun pasal terkait dengan tindakan kezaliman penguasa terhadap rakyatnya. Jika rakyat menghina penguasa akan dipidana, namun bagaimana jika penguasa yang menghina, menipu, bahkan menzalimi rakyatnya?
Padahal, pembohongan dan kezaliman penguasa kepada rakyat sudah menjadi rahasia umum, namun tidak ada hukum yang bisa menjangkaunya. Sebab, tidak tertuang secara jelas dalam sistem hukum yang ada.
Menjadi bukti bahwa RKUHP ini disusun masih menggunakan paradigma penjajah atas kaum yang terjajah. Sehingga, penguasa tidak boleh salah, dan yang salah adalah rakyatnya saja. Banyak pihak menilai bahwa semua ini dianggap sebagai bentuk lari tanggung jawab penguasa, apalagi ada upaya pemerintah untuk menghentikan perlawanan masyarakat yang kerap mengkritisi kebijakan rezim.
Kelemahan Hukum Buatan Manusia
Dalam sistem demokrasi, UU didominasi syahwat penguasa agar hukum bisa menjadi sarana dalam melegitimasi kekuasaan rezim. Akhirnya, penggunaan UU jauh dari tujuan menyejahterakan rakyat. Sebaliknya, hukum digunakan rezim untuk membungkam suara rakyat, serta dipakai untuk menyingkirkan lawan-lawan politik.
Lebih dari itu, hubungan pemerintah dengan rakyat ibarat hubungan antara penjajah dengan bangsa yang dijajah. Rakyat akan diperas dan dijadikan musuh, bahkan dijadikan sebagai common enemy (musuh bersama) bagi para petinggi negeri ini.
Kontroversi dalam setiap pembuatan aturan dalam sistem demokrasi sudah menjadi hal yang biasa kita saksikan. Bagaimana tidak, hukum yang dibuat hanya mengandalkan akal manusia. Inilah kelemahan mendasar dalam sistem sekuler karena akal atau isi kepala setiap manusia berbeda, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dan perubahan. Oleh karena itu, wajar jika produk hukum yang dihasilkan dari sistem demokrasi menimbulkan kegaduhan, perselisihan, dan pertentangan.
Keunggulan Hukum Pidana Islam
Dalam sistem pemerintahan Islam yang berhak membuat hukum adalah Allah Swt., Sang Pencipta manusia dan bumi ini. Sedangkan pemerintah dan rakyat hanya menjalankan ketentuan dan peraturan yang sudah ditetapkan dalam syariat-Nya. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surah Al-An’am ayat 57, “…Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik.”
Allah adalah Zat yang Maha Mengetahui perihal manusia secara sempurna, termasuk gerak-gerik hati dan kecenderungan naluriah manusia. Sehingga, semua sistem, termasuk sistem pidana bersumber dari wahyu Allah Swt. Inilah perbedaan mendasar, di mana sistem sekuler hanya mengandalkan akal manusia yang lemah dan serba terbatas jangkauan pandangannya.
Adapun keunggulan-keunggulan sistem pidana Islam yang berasal dari wahyu Allah, antara lain; pertama, sistem pidana Islam bersifat tetap (dawam), konsisten, dan tidak berubah-ubah mengikuti situasi, kondisi, waktu dan tempat.
Kedua, sanksi dalam pidana Islam bersifat zawajir (membuat jera di dunia) dan jawabir (menghapus dosa di akhirat). Oleh karena itu, sistem pidana Islam berdimensi dunia dan akhirat. Bersifat zawajir, artinya dapat membuat masyarakat takut untuk melakukan kejahatan serupa. Misalnya, dengan menyaksikan kisas bagi pelaku pembunuhan, akan membuat anggota masyarakat enggan untuk membunuh. Akibatnya, nyawa manusia di tengah masyarakat akan dapat terjamin dengan baik.
Sedangkan jawabir, artinya hukum pidana Islam akan menggugurkan dosa seseorang muslim di akhirat nanti. Oleh karena itu, jika orang mencuri lalu dihukum potong tangan, maka di akhirat Allah Swt. tidak akan menyiksanya lagi akibat dosa mencurinya. Artinya, hukum potong tangan sudah menebus dosanya itu.
Ketiga, dalam hukum pidana Islam, peluang permainan dan peradilan sangat kecil. Hal ini karena sistem pidana Islam bersifat spiritual, yakni menjalankannya berarti bertakwa kepada Allah. Selain itu, seorang hakim yang curang dalam menjalankan hukuman atau menerima suap dalam mengadili, akan diancam hukuman yang berat. Sebagaimana dalam riwayat Imam Ahmad, Rasulullah Muhammad saw. bersabda, “Hadiah yang diterima oleh seorang penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima oleh hakim adalah kufur.”
Keempat, dalam sistem pidana Islam, seorang hakim (qadhi) memiliki independensi tinggi, yaitu vonis yang dijatuhkannya tak bisa dibatalkan, kecuali jika vonis itu menyalahi syariat Islam. Artinya, vonis yang dijatuhkan seorang hakim sebagai hasil ijtihadnya tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad yang dihasilkan oleh hakim lainnya. Maka dalam peradilan Islam tidak dikenal sistem banding, yakni mengajukan peninjauan vonis pada tingkat peradilan yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, tampak jelas bahwa sistem pidana Islam jauh lebih unggul, jika dibandingkan sistem pidana sekuler yang diterapkan saat ini. Sehingga, sudah saatnya sistem pidana sekuler warisan penjajah kafir dihapuskan, sebab bertentangan secara total dengan syariat Islam dan hanya menimbulkan dosa, serta kerusakan di dunia dan di akhirat.
Khatimah
Munculnya berbagai UU dalam RKUHP yang tidak prorakyat, semakin menambah fakta dilema dan buruknya sistem demokrasi. UU sangat rentan ditunggangi oleh kepentingan para pembuatnya. Semacam simbiosis mutualisme antar elite politik dari pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sehingga, slogan bahwa demokrasi adalah perwujudan kehendak rakyat, sesungguhnya hanyalah ilusi yang sulit terealisasi dalam kenyataan. Terbukti, banyak UU yang disahkan di tengah badai kritik rakyat, termasuk RKUHP yang masih ditunda pengesahannya.
Sebaliknya dalam Islam, hukum secara prinsip dibersihkan dari kepentingan para elite pembuatnya. Sebab yang berhak membuat dan menentukan hukum hanyalah Allah Swt. Sehingga, semua hukum syariat dibuat untuk melindungi kepentingan manusia secara adil dan menyeluruh. Jadi, siapa pun yang berpikir jernih, pasti mengakui dan tergugah. Sebagaimana dalam surah Al-Maidah ayat 50, Allah Swt. berfirman, “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?” Wallahu a’lam.[]