”Pandangan Afkar dan Husna bertemu untuk sesaat. Afkar merasakan gemuruh yang hebat di dalam dadanya. Wajah yang begitu dirindukan hari-hari ini, kini tampak jelas di hadapannya. Wanita yang tiba-tiba menyelinap ke dalam hatinya, Allah berikan jalan untuk bisa dijadikan belahan jiwanya.”
Oleh.Ghumaisha Gaza
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Matahari sesaat lagi akan tergelincir. Cahayanya akan tergantikan gelap malam. Sayup-sayup terdengar selawat berkumandang di beberapa masjid. Afkar melirik jam dinding di kamarnya. Ia lantas menyimpan Kitab Daulah Islamiyah karya Syekh Taqiyuddin An-Nabhani di atas meja belajarnya. Sudah satu jam lebih ia membaca kitab tersebut. Setelah berganti pakaian ia lalu keluar dari kamarnya.
"Pulang jam berapa, Mi?" Tanya Afkar kepada uminya yang sedang menyiapkan makan malam.
"Belum lama," jawab Ustazah Aisha sambil meletakkan salad buah di hadapan anak semata wayangnya itu. "Nih, oleh-oleh Umi mengisi kajian di masjid Al-Munawaroh. Ibu-ibu di sana suka sekali membekali Umi berbagai olahan buah. Alhamdulillah!"
Afkar mengangguk lalu menyantap salad buah tersebut. Ustazah Aisha tiba-tiba duduk lalu menatapnya serius, "Sayang, menikah itu hukumnya sunah bagi seseorang yang telah memiliki keinginan dan memiliki kemampuan untuk menikah."
"Iya, betul!" Sahut Afkar setuju.
"Terus, sampai kapan kamu mau begini?"
"Begini?" Afkar keheranan. "S2-ku baru mau selesai Mi, aku juga masih 25 tahun. Terus tidak ada kekhawatiran terjatuh pada zina, dan…" Afkar menggantung kata-katanya. "Aku rasa keinginan itu belum begitu kuat."
Ustazah Aisha menyandarkan tubuhnya lalu menghela nafas. "Ada seorang ibu di pengajian berbicara khusus kepada Umi, melihat kamu sama Husna berdua di toko jus buah dekat kampus saat hujan deras minggu lalu."
Afkar tersedak, tangannya dengan cepat menuangkan air putih. Setelah minum beberapa teguk, ia kemudian beristigfar. "Astaghfirullah, aku tak melihat wajahnya sama sekali. Kita juga berjauhan." Afkar terdiam sejenak. "Aku memang mengenal suaranya, tapi aku terus memalingkan wajahku. Tidak ada kontak apa pun, hanya sama-sama membeli jus dan berteduh sesaat."
"Tapi kenapa harus di sana? Kenapa tidak menghindarinya sejak awal?"
"Aku belum selesai cerita Mi!" Afkar hendak melanjutkan perkataannya, namun tak lama azan magrib berkumandang. Ia hanya menghela nafas dan terdiam. Kemudian pergi ke kamarnya, meraih tas, memasukkan beberapa barangnya dan sebuah kitab yang sejak tadi dibacanya.
"Habis salat magrib aku harus mengisi kajian. Aku makan malam nanti saja ya!" Ucap Afkar menghampiri uminya kembali, "Umi harus percaya padaku! Tidak ada yang terjadi di toko jus itu, selain transaksi jual beli."
Ustazah Aisha menatap wajah di hadapannya. "Ya sudah jangan terlalu dipikirkan. Maafkan Umi! Umi hanya khawatir saja, mengingat usia kalian sekarang dan sama-sama belum menikah." Meski anak laki-lakinya telah tumbuh dewasa, tapi tatapannya tak jauh berbeda dengan dua puluh tahun lalu. Matanya sedang mengungkapkan bahwa ia memang tidak berbohong. Tapi Ustazah Aisha merasa seperti ada kegelisahan yang sangat mendalam pada anaknya itu.
Setelah makan malam Afkar mengambil laptop dari kamarnya, kemudian pergi ke perpustakaan pribadi milik umi dan abinya. Berupa kamar yang luasnya lebih dari dua puluh meter persegi. Terdapat lemari buku yang tinggi dan hampir memenuhi setiap sisi ruangan. Ada pula kursi dan meja tempat umi ataupun abinya belajar, beberapa sofa dan karpet yang tebal.
Setelah mengambil beberapa buku, Afkar kemudian duduk di atas karpet lalu memasang meja lipat. Membuka laptopnya dan tampak menulis sebuah tulisan sambil sesekali membuka buku. Setelah satu jam ia merasa pegal lantas membaringkan tubuhnya di atas sofa.
Tak lama Ustazah Aisha datang menuju meja belajarnya. Membuka laptopnya yang sudah tersimpan di sana sejak sore. Sambil menyalakan laptop ia kemudian berkata, "Apa ada kendala dengan ujian tesis kamu?"
"Enggak!" Jawab Afkar lirih. Kemudian memiringkan tubuhnya melihat ke arah uminya. Tak lama kemudian memejamkan matanya sambil berkata, "Bangunkan aku setelah 15 menit ya!"
Ustazah Aisha memandangi Afkar dari kejauhan. Anak laki-lakinya itu benar-benar terlelap. Sudah beberapa bulan terakhir Afkar memang sering tertidur hingga larut malam untuk menyelesaikan tesisnya. Saat lelah ia akan istirahat sejenak, lalu melanjutkan kembali tugasnya.
"Padahal penelitian dan penulisan tesis sudah selesai, tinggal dua tahapan ujian yang harus dijalani." Kata Ustazah Aisha dalam hati sambil terus memandangi Afkar. "Tapi mengapa akhir-akhir ini ia tampak tak bersemangat?"
Ustazah Aisha perlahan mendekati Afkar. Kemudian duduk di dekatnya. Dipandangi anak laki-lakinya itu sambil diusap punggungnya. Afkar belum terbangun. Tak lama ponsel yang ada di dekat laptop Afkar bergetar. Notifikasi pesan Whatsapp. Pesan dari nomor kontak telepon bernama Shafiyyah Husna T., meski ponselnya terkunci tapi ustazah Aisha dapat melihatnya dengan jelas.
Setelah memandangi Afkar dengan rasa kecewa, Ustazah Aisha lalu meraih ponsel yang masih menyala itu. Mengusap sedikit layarnya ke bawah kemudian beberapa kalimat bisa terlihat.
[Maaf jika harus menunggu sampai 1
bulan lamanya]
[Balasan ini mungkin pesan terakhir saya]
[Saya tidak bisa menjawab pertanyaan akhi]
[Namun, satu yang perlu akhi tahu, saya telah
dijodohkan oleh kedua orang tua saya]
Afkar telah terbangun dan menyandarkan tubuhnya ke sofa. Matanya yang lelah menatap langit-langit dengan gelisah. "Husna adalah teman sekelasku saat kuliah S1. Bagaimana mungkin aku tidak mengetahuinya? Tapi selama itu pula, aku tidak pernah menghubunginya kecuali satu kali saat ada agenda dakwah, yang mengharuskan aku sebagai ketua acara menghubungi divisi nisa."
Afkar berhenti sejenak, "Aku hanya mengenal Husna dari apa yang tampaknya saja. Tak pernah mencari tahu lebih jauh. Ia adalah mahasiswa paling muda di kelas karena mengikuti program akselerasi saat SMP dan SMA. Selain itu, yang aku ketahui tentang Husna adalah anak dari seorang ulama yang disegani di kota ini!"
Ustazah Aisha yang duduk di samping Afkar hanya terdiam. Sambil sesekali melihat kembali sebuah percakapan di whatsapp yang tidak pernah dihapus Afkar sejak beberapa tahun lalu.
Setelah menghela nafas cukup panjang Afkar kembali bercerita. Kini ia sedikit menegakkan tubuhnya. "Tepatnya dua bulan lalu ada agenda dakwah di pesantren milik Kiai Abdullah, ayahnya Husna. Umi masih ingatkan?" Afkar terdiam sejenak. "Meski acara khusus ulama, tapi aku tetap diminta menjadi panitia di sana. Acara saat itu acara tingkat nasional, banyak para ulama yang akan datang dari luar kota. Akhirnya sebagian panitia bermalam di pesantren untuk menyiapkan segala kebutuhan acara."
"Dan di sana, kamu bertemu Husna?" Tebak Ustazah Aisha.
Afkar menggeleng. "Aku hanya tiba-tiba teringat dengan Husna dan berharap bisa melihatnya walau sebentar. Tapi hingga pulang aku tidak pernah melihatnya. Semalaman menginap di sana aku tidak bisa tidur nyenyak. Hingga jam dua malam, aku memutuskan pergi ke masjid yang masih sepi. Salat beberapa rakaat di sana. Ingatan pada Husna saat itu terasa sangat mengganggu."
Ustazah Aisha hanya mengangguk. Ia masih menunggu Afkar menuntaskan ceritanya.
"Aku tidak ingat persis kapan ketiduran di masjid, aku hanya kaget ketika para santri sudah memenuhi masjid. Salah seorang dari mereka membangunkanku, semua mata tertuju padaku saat itu. Aku sendiri kaget, aku tertidur di masjid berselimut serban. Ada seorang santri yang berkata kalau itu serban milik Kiai Abdullah."
Afkar kembali menyandarkan tubuhnya. "Selepas salat subuh aku kesulitan menemui Kiai Abdullah, karena beliau selalu dikelilingi orang-orang. Hingga selesai acara akhirnya aku menemui Abi yang juga hadir di sana. Aku bercerita sekilas tentang serban itu, tanpa bercerita tentang Husna. Abi kemudian meminta serban itu dan membolehkanku pulang lebih dulu. Semenjak kejadian itu, entah mengapa aku tidak bisa berhenti memikirkan Husna. Aku selalu berharap bisa melihatnya. Tapi sampai satu bulan lamanya aku tidak pernah melihatnya dalam kesempatan apa pun. Aku sempat kesal dengan diriku sendiri, tapi mungkin aku telah jatuh cinta."
Afkar melirik ponsel yang dipegang uminya. "Aku teringat masih menyimpan nomor teleponnya, aku beranikan diri untuk mengirimkan pesan itu. Karena seingatku Husna memang belum menikah."
Ustazah Aisha kembali membaca sebuah percakapan di Whatsapp. Hanya ada satu pesan dari Afkar.
[Assalamualaikum. Husna, ini saya Afkar.
Apa kamu ada rencana menikah dalam waktu dekat ini?]
Ustazah Aisha merasa heran dengan pesan yang disampaikan Afkar kepada Husna.
"Mengapa hanya bertanya seperti ini, bagaimana pun Husna akan kebingungan, maksud kamu bertanya itu apa memang kamu yang ingin menikahinya atau bukan?"
Afkar mengangkat bahu, "Aku harus tanya apalagi?"
"Mengapa tak langsung ungkapkan kalau kamu mau melamarnya? Atau mengapa tidak meminta bantuan Umi, Abi, atau siapa yang bisa membawa pesan kamu ke keluarga Husna?"
"Entahlah!" Afkar menunduk lesu. "Sudahlah Mi, lupakan! Aku baik-baik saja. Jawaban Husna juga sudah sangat jelas! Aku bisa melupakannya dengan tenang."
"Dan di toko jus itu?"
"Ah, Umi masih penasaran? Aku yang datang lebih awal. Husna yang tidak menyadari keberadaanku. Kita sama-sama tak enak membatalkan pesanan."
"Kamu senang akhirnya bisa bertemu Husna?"
Afkar tampak berpikir, "Aku tak melihat wajahnya. Saat itu aku hanya merasa takut, malu, dan entahlah Mi, aku tak ingin membicarakannya lagi. Aku mau fokus sidang tesis sekarang!"
Ustazah Aisha hanya mengangguk. Ia pun akhirnya bangkit meninggalkan anak laki-lakinya yang masih terdiam. Tak lama, Afkar kembali membaringkan tubuhnya lalu terlelap. Ustazah Aisha mengambil selimut lalu menyelimutinya.
Setelah salat tahajud Ustazah Aisha hendak membangunkan Afkar di kamarnya. Namun, pintu kamar Afkar tampak telah terbuka dan anak laki-lakinya itu ternyata sedang salat di kamarnya. Ustazah Aisha kemudian duduk di sampingnya setelah Afkar menyelesaikan salatnya.
"Jam tujuh sudah siap ya?" Ucap ustazah Aisha sambil mengusap punggung Afkar. "Pakai pakaian yang rapi, jangan lupa pakai jas!"
Afkar menghela nafas. "Aku sudah mencoba melupakan Husna, tapi apa maksud Abi dan Kiai Abdullah hari ini?" Kata Afkar lirih. "Apa Umi tahu siapa wanita yang ingin dikenalkan Kiai Abdullah kepadaku, siapa wanita yang sedang mencari calon suami itu?" Tanyanya retoris, "Aku jadi berharap kalau wanita itu Husna. Tapi Umi juga 'kan tahu jawaban Husna waktu itu?"
Sambil terus mengusap punggung Afkar Ustazah Aisha berkata, "Baik Umi ataupun Abi sampai hari ini juga tidak tahu. Kiai Abdullah hanya mengundang Abi, untuk membawa kamu saat kamu sudah siap menikah. Kiai Abdullah hendak mengenalkan seorang wanita yang mungkin bisa kamu nikahi. Untuk menghormati beliau, Abi juga tidak bertanya tentang siapa wanita itu, dan berjanji akan membawa kamu kalau kamu sudah siap. Permintaan Kiai Abdullah itu bahkan setelah acara ulama yang kamu menginap di sana. Tapi Abi ingin kamu selesaikan sidang tesis dulu."
Ustazah Aisha menghela nafas, "Hari ini, kita hanya memenuhi undangannya, Umi yakin Kiai Abdullah juga tidak akan memaksa kamu untuk menikahi wanita itu jika memang kamu tidak mau. Kita paham betul, Kiai Abdullah memang memiliki enam anak laki-laki dan satu anak perempuan saja. Tapi sangat memungkinkan beliau memiliki banyak kerabat atau kenalan, yang akan dikenalkan pada kita nanti."
Afkar mengangguk, "Dan akan sulit juga bagiku untuk menolak wanita itu, karena mungkin sama dengan menolak keinginan Kiai Abdullah."
"Lagi pula, wanita itu juga belum tentu mau sama kamu, 'kan?"
"Iya juga, Mi!" Afkar tampak merenung. Ia kemudian meminta waktu untuk salat kembali. Dalam sujud panjangnya ia berdoa dan meminta kepada Allah Swt., untuk menganugerahkan kepadanya pasangan terbaik yang mampu menjadi sahabat serta penyejuk dalam hidupnya.
"Bagaimana, apa kamu mau melihat wanita itu terlebih dahulu?" Pertanyaan Kiai Abdullah semakin membuatnya tak karuan. Suasana saat ini terasa jauh lebih menegangkan dibandingkan dengan sidang tesisnya beberapa hari yang lalu. Sudah satu jam lebih baik Afkar ataupun Umi dan Abinya terasa sulit menebak siapa gerangan wanita itu. Kiai Abdullah bercerita dengan sangat baik tanpa mengarah pada nama seorang wanita. Beliau hanya menggambarkan kebaikan agama pada seseorang yang hendak dikenalkannya. Dan Kiai Abdullah berharap ada laki-laki yang segera meminangnya.
Pertanyaan tersebut sebenarnya kesempatan untuk Afkar mengenali wanita yang diceritakan Kiai Abdullah sebelum ia memutuskan bersedia menikahinya atau tidak. Tapi Afkar kemudian menggeleng, menolak tawaran Kiai Abdullah. Semua mata pun tertuju padanya.
Afkar yang banyak menunduk mulai mengangkat kepalanya. Ia melihat sekilas pada empat laki-laki yang ada di hadapannya, kemudian melihat ke arah Kiai Abdullah. Kini Afkar telah sampai pada keikhlasan untuk siap menikahi wanita selain wanita yang pernah dicintainya. Kemudian dengan sedikit bergetar Afkar berkata, "Tidak perlu Kiai, insyaallah saya siap menikahi wanita itu!"
"Masyaallah, Alhamdulillah!" Tampak kebahagiaan pada wajah Kiai Abdullah. Tak lama datang dua orang wanita dan duduk di dekat Kiai Abdullah. "Bagaimanapun kamu tetap perlu melihatnya, ini anak bungsu saya. Keenam kakak laki-lakinya telah menikah. Empat orang tinggal di sekitar pondok membantu saya mengelola pesantren. Dua orang lagi bersama anak istrinya tinggal di Kairo untuk sementara waktu dalam rangka menuntut ilmu. Dan Husna satu-satunya anak perempuan saya, semoga kamu bisa menjadi pemimpin yang baik untuknya."
Pandangan Afkar dan Husna bertemu untuk sesaat. Afkar merasakan gemuruh yang hebat di dalam dadanya. Wajah yang begitu dirindukan hari-hari ini, kini tampak jelas di hadapannya. Wanita yang tiba-tiba menyelinap ke dalam hatinya, Allah berikan jalan untuk bisa dijadikan belahan jiwanya.
Kiai Abdullah kemudian berkata kepada Husna, "Ini Pemuda Berselimut Serban yang Abi maksud!" Kiai Abdullah kemudian membacakan sebuah hadis, "Apabila seseorang yang kalian ridai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk melamar (wanita kalian), maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut (dengan wanita kalian)."
Afkar tertegun, lalu memandang Kiai Abdullah yang kembali berbicara. "Setelah berdoa kepada Allah meminta yang terbaik, lalu mempertimbangkannya, Abi insyaallah sudah rida Nak, dan hari ini kita telah mendengar kalau Afkar juga mau menikahi kamu. Siap kalau dilakukan akad nikah ba'da zuhur ini?"
Tak hanya Husna yang terperanjat mendengar pertanyaan Kiai Abdullah. Afkar refleks melirik jam tangannya. Kurang lebih dua jam lagi menuju waktu zuhur. Afkar kemudian kembali memandang Husna yang tengah menunduk tapi tampak mengangguk beberapa kali. Afkar kemudian melirik abinya yang tampak tak percaya juga. Tapi tak lama abinya menepuk pundaknya pelan. Uminya juga hanya mengusap punggungnya.
"Alhamdulillah!" Kiai Abdullah kemudian kembali bertanya pada Afkar, "Bagaimana, siap kita melakukan akad nikah siang ini? Untuk walimahnya bisa kita lakukan besok atau lusa."
Afkar merasakan peluh menetes di sekujur tubuhnya. Jantungnya berdegup begitu kencang. Ia sangat bahagia mengetahui bahwa wanita itu adalah Husna, wanita yang memang dicintainya. Namun, Afkar sendiri tidak pernah membayangkan akan secepat ini melangsungkan sebuah perjanjian agung hanya sesaat setelah ia baru menyatakan bersedia menikah. Dengan berserah diri kepada Allah Al-Mudabbir, akhirnya Afkar pun menjawab,
"Insyaallah, Kiai!"
Selesai.[]