"Jika kita melihat realita yang terjadi hari ini, perilaku pamer memang tak hanya menjangkiti anak kecil, tetapi juga orang dewasa. Apalagi ada media sosial yang sangat efektif menjadi wadah untuk pamer. Makanya beberapa waktu lalu muncul istilah flexing yang cukup populer di kalangan pengguna medsos."
Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Suatu hari anakku yang nomor tiga, berusia 5 tahun, menyampaikan kepadaku tentang apa yang didengarnya dari teman sebayanya di komplek perumahan kami. “Bunda, si Melati (nama samaran) dia pamer banget tau, waktu aku ke luar, eh dia ngomong sama si Luna (nama samaran) punya mainan terbaru ada lima, disebutin warnanya dan harganya mahal-mahal katanya.”
Aku yang mendengar cerita anakku hanya tersenyum. Sepertinya memang seperti itulah kebiasaan anak kecil, suka ‘pamer’ apa yang dimiliki. “Yaudah nggak apa-apa, dengerin aja…” jawabku.
“Tapi kan pamer itu nggak boleh ya Bun, itu kan sombong!” kata anakku dengan wajah polosnya.
“Iya, mungkin si Melati belum ngerti. Jadi ya biarin aja, tapi kalau kamu berani boleh tuh dinasihatin supaya jangan begitu lagi.” jawabku kemudian. Aku mencoba mendudukan persoalan dengan sudut pandang benar-salah menurut timbangan syariat, bukan pemakluman atas anak kecil.
“Padahal kalau mau pamer, aku juga punya mainan banyak ya Bun, bagus dan mahal juga.” kata anakku sambil terkekeh.
“Hus! Nggak boleh gitu…kita harus tetap rendah hati, Nak.” ujarku. Anakku mengangguk.
Jika kita melihat realita yang terjadi hari ini, perilaku pamer memang tak hanya menjangkiti anak kecil, tetapi juga orang dewasa. Apalagi ada media sosial yang sangat efektif menjadi wadah untuk pamer. Makanya beberapa waktu lalu muncul istilah flexing yang cukup populer di kalangan pengguna medsos. Flexing artinya memamerkan harta benda lewat media sosial.
Bukan hal yang langka jika kita menemukan di media sosial orang-orang yang memposting gambar atau tulisan berupa benda atau kekayaan yang dimiliki. Misalnya, “Alhamdulillah, akhirnya bisa juga nih kebeli tas Hermes yang selama ini diimpikan.” Disertai gambar tas branded di tangan.
Atau ada juga caption berupa cerita yang menggambarkan aset kekayaannya. Pertanyaannya? Buat apa? Agar dipandang orang sebagai kaum borjuis? Big No! bukan karena iri aku menulis demikian, namun hanya sebagai renungan agar kita tidak terperosok ke dalam sesuatu yang Allah murkai. Karena sangat tipis batas antara riya dengan tahaddus binni'mah. Maka, niat pelakunya di sini sangat menentukan. Riya itu berarti ada keinginan di dalam hati untuk mendapatkan pujian dari manusia alias mengharap rasa takjub dari manusia. Ini dilarang oleh Allah karena akan menjerumuskan pelakunya ke dalam penyakit hati.
Sedangkan tahadus binni’mah adalah sesuatu yang dianjurkan Allah untuk dilakukan, yakni menyebutkan nikmat yang kita peroleh. Hal itu semata-mata dalam rangka bersyukur kepada Allah Swt. Sebagaimana Allah firmankan, "Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan.” (QS. Ad-Duha [93]: 11)
Menurut Imam Al-Ghazali di dalam kitab Ihya Ulumuddin yang terkategori tahaddus binni’mah adalah bersedekah secara terang-terangan agar orang lain termotivasi melakukan hal serupa. Jadi, jelaslah bahwa motivasi pelaku flexing ini harus diluruskan, jangan sampai menjadi sesuatu yang Allah benci karena amalnya sekadar mengharap pujian dan penghormatan manusia, bukan dalam rangka menyempurnakan syukur atas nikmat. Allah Swt telah menegaskan dalam firman-Nya di surat An-Nisa ayat 38, “Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barangsiapa yang mengambil seitan itu menjadi temannya, maka setan itu adalah teman yang seburuk-buruknya.”
Aku pribadi lebih sepakat jika seorang muslim tidak banyak mengumbar harta kekayaan yang dimiliki, karena selain khawatir akan menjebloskan kita pada riya’, juga menghindari diri kita untuk senantiasa merasa perlu disanjung oleh manusia alias gila pujian. Sungguh, tipu daya setan amat nyata, dia senantiasa mengembuskan bisikan kepada hati kita agar bergeser dari ketaatan dengan cara yang mungkin tidak kita sadari.
Cukuplah Allah yang kita damba rida-Nya, bukan sanjung puji manusia. Tetapi memang tak dimungkiri bahwa di sistem kehidupan hari ini, sifat matrealistis sudah menjangkiti hampir semua benak kaum muslimin. Kaum ‘berada’ akan lebih dihargai eksistensinya ketimbang kaum papa. Mereka yang berpunya akan lebih dihormati, ketimbang yang jelata akan mudah diremehkan. Beginilah kejamnya sistem kapitalisme, membentuk mindset mulia-terhina berdasarkan timbangan materi semata.
Aku pernah mendapat cerita dari seorang teman, bahwa dirinya ditolak oleh seorang tokoh ketika berkunjung ke rumahnya untuk melakukan kontak dakwah dengannya. Ketika itu, temanku berboncengan motor berdua. Namun, di lain kesempatan, temanku datang sendiri-sendiri, yang satu naik motor dan yang satunya naik mobil pribadi. Tak disangka, si tokoh langsung menyambutnya dengan semringah dan penuh antusias. “Ibu bawa mobil sendiri?” tanyanya saat menyambut di halaman. Binar matanya kian menyala tatkala tahu tempat tinggal temanku yang membaw mobil pribadi berada di lingkungan elite. Ya Rabbi….sungguh miris aku mendengarnya. Tetapi memang demikianlah faktanya. Ah, dari percakapan seorang anak TK, aku jadi banyak mengambil hikmah tentang kehidupan. Dan membuatku kian bermuhasabah bahwa kehidupan ini layaknya fatamorgana, banyak menggoda kita dengan sanjung puji, namun kita lupa bahwa sesungguhnya apa yang kita punya adalah titipan dan amanah dari-Nya saja.Wallahu'alam bis shawab[]