Rumah Tanpa Ayah

“Meskipun kehilangan dan kesedihan akan menghiasi hari-hari, tetapi itu hanya sesaat. Waktu yang akan membiasakannya hingga rasa itu bisa diterima dengan lapang dada. Wajar dan boleh saja kita merasa berduka dengan kepergian ayah. Namun, jangan sampai membuat diri terpuruk. Kesempatan hidup masih diberikan-Nya untuk kita. Isi buku perjalanan hidup yang tersisa dengan torehan amal yang diridai-Nya.”

Oleh. Deena Noor
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Mataku tertambat pada sebuah postingan di IG. Judulnya Rumah Tanpa Ayah. Ada sedih dan nelangsa yang tiba-tiba merayapi hati. Membawaku pada perenungan. Membayangkan seperti apa sebuah rumah tanpa ayah.

Tak ada sosok yang dinanti kepulangannya selepas senja sambil membawa segenggam oleh-oleh yang telah dingin karena lamanya perjalanan pulang. Tak ada sosok yang membangunkan di awal hari dan mengajak anak-anaknya salat subuh berjemaah. Tak ada sosok yang kita cium tangannya di depan gerbang sekolah sembari memintanya untuk menjemput kembali nanti. Tak ada sosok yang saling kita banggakan saat bercerita bersama teman-teman. Banyak hal akan sangat berbeda tanpa ayah dalam hidup kita.

Ayah adalah sang pemimpin yang mengayomi. Jika terjadi sesuatu, ayahlah yang pasang badan untuk keselamatan keluarga. Bila ada suatu permasalahan di dalam rumah, ayahlah yang menentukan solusi terbaiknya. Ketika ada yang sakit di rumah, ayah yang dengan sigap mengantarkan ke rumah sakit atau dokter. Ayah adalah tempat bernaung dari segala macam keadaan.

Ayah juga merupakan sang teladan. Sosoknya disegani dan dijadikan contoh bagi keluarganya. Sikapnya, perkataannya, dan pemikirannya sangat mempengaruhi seluruh anggota keluarga. Anak-anak melihat dan mendengar setiap apa yang keluar dari sang ayah. Bagaimana ayah, begitulah anaknya. Like father, like son.

Bagaimana rasanya rumah tanpa ayah, sedangkan ia adalah tokoh utama? Ibarat dalam sebuah drama, ayah adalah tokoh sentral yang harus ada dan tidak bisa digantikan dengan yang lainnya. Lalu, bagaimana jalannya cerita jika sosok penting itu tiba-tiba tak ada? Tentu pemain lainnya akan kelabakan. Mereka akan kebingungan bagaimana melanjutkan cerita.

Ayah menjadi pengatur jalannya sebuah keluarga. Di tangannyalah, cerita keluarga ditata supaya bisa berjalan hingga akhir. Ayah yang mengarahkan hendak ke mana keluarga menuju. Dengan pengetahuan dan kebijaksanaannya, ayah menuntun keluarga agar mampu mencapai titik yang dicita-citakan. Sebuah keselamatan dan kebahagiaan hakiki yang diupayakan untuk keluarganya.

Ayah adalah kepala rumah tangga. Bagaimana jadinya jika kepala itu tak ada? Rumah dan penghuninya akan limbung dan kesusahan. Kehilangan arah dan tanpa perlindungan. Tak ada yang menunjukkan keluarga bagaimana seharusnya dalam bertindak. Tak ada yang mengarahkan supaya sesuatu hal bisa berjalan dengan baik. Tak ada yang menolong saat anak-anak membutuhkan. Tak ada yang membela jika ada ancaman datang.

Pembimbing keluarga. Itulah ayah. Dialah yang mengajarkan ilmu agama. Ayah menjadi guru yang menuntun pada perintah-Nya. Dialah yang senantiasa harus memastikan keluarganya tidak menyimpang dari syariat-Nya. Di pundak ayahlah keselamatan dunia dan akhirat keluarga berada, sebagaimana perintah Allah dalam surah At-Tahrim ayat 6: “Hai, orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Begitu pula, ayah mendidik anak-anaknya untuk menjadikan akidah Islam sebagai landasan kehidupan. Meskipun sibuk bekerja, ayah tetap memperhatikan pendidikan buah hatinya. Tanpa lelah, ayah mengingatkan anak-anaknya agar selalu menaati perintah Allah taala. Memberikan nasihat kepada mereka supaya senantiasa berada dalam jalan kebaikan, seperti yang disebutkan dalam surah Luqman ayat 17: “Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu; sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah.”

Namun, manusia hanyalah makhluk yang lemah dan terbatas. Ada ranah yang tak bisa dijamah manusia. Bila takdir telah berbicara, maka tak ada satu pun yang bisa menghindarinya. Ketetapan-Nya adalah pasti. Jika Dia menetapkan bahwa ayah harus kembali saat ini atau nanti, maka tak ada yang bisa menolaknya. Dia yang menggenggam ajal setiap insan. Kapan, di mana, dan seperti apa ayah harus pulang ke haribaan-Nya, tidak ada seorang pun yang tahu. Tidak pula satu manusia yang bisa mengatur dan mencegahnya. Meskipun seluruh keluarga menangisi kepergiannya, ia tak akan pernah kembali ke semula.

Tak ada lagi ayah di rumah. Memang akan terasa pahit dan sakit di awal, tetapi tetap harus dijalani. Itulah kehidupan. Ada yang datang dan pergi. Yang masih hidup harus melanjutkan kehidupannya. Dunia tak berhenti selama ajal belum menghampiri. Kepergiannya, cepat atau lambat, hanya menurut perasaan kita sebagai manusia. Namun, Allah Maha Mengetahui yang terbaik bagi setiap insan. Ada hikmah dan kebaikan di balik setiap peristiwa.

Meskipun kehilangan dan kesedihan akan menghiasi hari-hari, tetapi itu hanya sesaat. Waktu yang akan membiasakannya hingga rasa itu bisa diterima dengan lapang dada. Wajar dan boleh saja kita merasa berduka dengan kepergian ayah. Namun, jangan sampai membuat diri terpuruk. Kesempatan hidup masih diberikan-Nya untuk kita. Isi buku perjalanan hidup yang tersisa dengan torehan amal yang diridai-Nya.

Banyak yang harus dikerjakan setelah ayah pergi. Di antaranya adalah meneruskan perjuangannya, tetap menjalin silaturahmi dengan saudara, kerabat, dan temannya, melaksanakan wasiatnya bila ada, menjaga nama baik dan kehormatannya, menunaikan kewajibannya yang tak sempat diselesaikan seperti utang dan janji, dan meneladani kebaikannya. Satu hal yang juga amat penting dan tak boleh dilupakan adalah selalu mendoakannya. Sebab, doa anak yang saleh adalah amal yang tidak terputus pahalanya bagi orang tua yang telah tiada, sebagaimana sabda Rasulullah: “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang saleh.” (HR. Muslim)

Rumah tanpa ayah memang sebuah takdir dari Yang Maha Kuasa. Menerimanya dengan ikhlas dan sabar adalah yang terbaik meskipun tak mudah. Menjalaninya dengan tawakal dan iman di dada adalah sebaik-baik upaya. Berharap, berikhtiar, dan berdoa agar hidup kita selalu dalam petunjuk-Nya. Kesedihan di dunia sungguh hanya sementara. Kebahagiaan abadi adalah dalam rida-Nya. Cita-cita ayah sejati adalah bisa bersama-sama dengan keluarga menempati sebuah rumah indah di surga-Nya.
Wallahu a'lam bishshawwab[]


Photo : Pinterest

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Deena Noor Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
Islamisasi Piala Dunia Qatar, Demi Persatuan atau Cuan?
Next
Berharap Untung, Dapatnya Buntung
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram