"Bayangan masa lalu saat Mas Firman meninggalkanku menjadi siluet tajam yang mengiris hati. Laki-laki muda yang kupanggil Mas Firman itu menatapku kembali. Tiba-tiba saja dia memegang tanganku, tetapi aku segera menepisnya."
Oleh. Atien
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Jam dinding menunjukkan pukul 16.30 saat terdengar suara sepeda motor berhenti di depan rumah. Itu pasti Mas Rendi, suamiku.
"Cin … Cintaaa …"
Tanpa mengetuk pintu, suamiku langsung berteriak-teriak memanggilku. Sambil merapikan jilbab dan kerudung, aku tergopoh-gopoh membukakan pintu.
"Iya, Mas, sebentar. Kalau masuk rumah, ucap salam dulu dong, Mas! Biar dapat berkah," ucapku sambil mencium tangannya.
"Iya, iya. Aku lupa. Lagian aku capek banget. Jadi isteri itu enggak usah bawel. Pusing kepalaku mendengar omelanmu," balas Mas Rendi cuek.
Begitulah sifat Mas Rendi, suamiku. Cuek, datar, dan dingin. Nama lengkapnya Rendi Prayoga. Umurnya 26 tahun. Aku sendiri bernama Cinta Aulia Rahma. Usiaku 23 tahun.
Aku hanya bisa mengelus dada mendengar jawaban Mas Rendi. Mas Rendi adalah pria pilihan orang tuaku. Ya, kami menikah karena dijodohkan. Pernikahan kami baru berjalan satu tahun. Itulah mengapa kami sering berbeda pendapat. Mungkin karena belum terbiasa dengan sifat dan karakter masing-masing. Makanya, aku berusaha untuk sabar dalam menjalani pernikahan ini.
"Cinta, buatin aku teh manis!" Suara Mas Rendi membuyarkan lamunanku.
"Ya, Mas," jawabku sambil membawa masuk tas kerjanya ke kamar.
Hari Minggu yang cerah. Begitu pekerjaan rumah selesai, aku segera mandi. Setelah itu, aku sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan pagi. Kebetulan suamiku juga libur karena tidak ada tugas lembur. Oh, ya, suamiku bekerja di sebuah perusahaan konveksi. Aku juga pernah bekerja di tempat yang sama. Hanya saja kita beda divisi. Setelah menikah, aku memutuskan untuk berhenti agar bisa fokus mengurus suami.
Aku bergegas menyiapkan sarapan pagi untuk Mas Rendi.
"Mas, sarapan dulu, yuk! Aku sudah buatin nasi goreng kesukaan kamu lho," ajakku sambil menyiapkan piring untuknya.
"Kamu makan saja dulu! Aku belum lapar," jawab suamiku yang sedang duduk di kursi ruang tamu. Aku lalu menghampirinya.
"Nanti keburu dingin lho, Mas. Lagian kalau kamu telat makan, nanti bisa sakit. 'Kan kamu sendiri yang susah," ucapku mengingatkan.
"Udah enggak usah cerewet. Aku lagi malas sarapan dan enggak mau diganggu," balas Mas Rendi.
"Ya, sudah kalau kamu tidak mau, Mas," ucapku pasrah.
Untuk menghilangkan rasa bosan, aku memutuskan untuk belanja. Kebetulan stok makanan di kulkas juga sudah habis.
"Mas, aku izin keluar, ya. Ini mau beli kebutuhan dapur," ucapku hati-hati.
Mas Rendi yang sedang asyik main HP hanya menoleh sesaat.
"Hemm. Kalau mau pergi, pergi saja! Enggak usah minta izin segala."
"Ya, Allah, Mas. Kok kamu ngomongnya begitu? Kita 'kan suami isteri. Jadi, wajar dong kalau aku izin dulu kalau mau pergi," ucapku lirih.
Mataku sudah dipenuhi butiran-butiran embun bening yang siap tumpah saat itu juga.
Sambil meletakkan HP-nya, Mas Rendi menatapku tajam. Ada rasa tidak suka di matanya yang terlihat olehku.
"Dengar Cinta, aku nikahin kamu hanya untuk menyenangkan hati orang tuaku. Itu saja. Jadi, kamu enggak usah lebay dan jangan berharap lebih!" sambung Mas Rendi dengan nada ketus.
Lagi-lagi aku harus maklum dengan jawaban suamiku. Bersabarlah Cinta, batinku menguatkan.
"Mas, bagiku, pernikahan itu bukan hanya sebuah janji. Pernikahan juga bukan akad di atas kertas atau sekadar formalitas. Pernikahan itu ibadah. Pernikahan juga peristiwa yang sakral karena Allah menjadi saksinya. Di dalamnya ada ikrar dua insan untuk saling mencintai, menyayangi, dan menjaga satu sama lain. Semua itu akan kupegang sampai maut memisahkan kita," ucapku dengan suara parau.
Mas Rendi terkejut mendengar ucapanku. Namun, itu hanya sebentar. Tanpa berkata-kata lagi, dia beranjak meninggalkan aku.
Akhirnya aku tidak jadi pergi. Dengan wajah sedih, aku masuk kamar untuk membereskan baju-baju Mas Rendi yang belum sempat kumasukkan ke lemari pakaian.
Tiba-tiba, aku melihat sebuah catatan kecil terjatuh di antara tumpukan baju. Aku juga menemukan sebuah foto seorang wanita berusia sekitar 30 tahun. Sayang, warnanya sudah pudar. Sepertinya foto itu dicetak sudah cukup lama.
Apa ini? Aku bicara sendiri. Sepertinya lembaran-lembaran catatan buku harian yang tidak utuh lagi. Dengan hati berdebar aku membacanya.
Semarang, 1 Oktober 2021
Apa kabar, Ma? Semoga Mama baik-baik saja di mana pun engkau berada. Ma, sebentar lagi aku akan menikah dengan seorang gadis pilihan Papa. Namanya Cinta. Aku merasa nyaman dengannya sejak pertama kali kita ketemu.
Ya, Allah, ternyata wanita dalam foto itu adalah ibu kandungnya Mas Rendi. Aku juga baru tahu karena beliau tidak hadir dalam pernikahan kami. Dengan rasa penasaran, aku beralih ke lembar berikutnya.
Namun, aku bingung, Ma. Apakah aku akan bahagia dengan pernikahan ini. Aku takut, Ma. Aku takut setelah aku berikan cintaku padanya, dia akan meninggalkan aku. Sama seperti Mama yang meninggalkan aku dan Papa tanpa alasan yang jelas. Aku takut nantinya anakku akan mengalami hal yang sama denganku, Ma, kehilangan kasih sayang seorang ibu.
Aku terduduk lemas setelah membaca tulisan Mas Rendi. Jadi, ini yang menyebabkan suamiku bersikap tidak peduli kepadaku. Tak terasa air mataku jatuh menetesi lembaran kertas itu. Aku segera melipatnya beserta foto yang tadi kutemukan dan menaruhnya di tempat semula.
Ya, Allah. Ternyata Mas Rendi trauma dengan pernikahan ini. Dia takut aku akan bertindak seperti ibunya. Rasa takut itu muncul karena dia kehilangan kasih sayang seorang ibu di masa kecilnya. Andai saja Mas Rendi tahu, aku pun pernah terluka di masa lalu. Luka itu masih belum sembuh sampai sekarang. Ternyata kita sama-sama pernah terluka di masa lalu.
Aku sedang menunggu Mas Rendi pulang saat terdengar deru suara mobil di depan rumah. Mungkin itu tamu tetangga sebelah rumah, batinku.
Tok… tok … tok …
"Assalamu'alaikum …"
Terdengar suara laki-laki. Siapa dia? Aku jadi penasaran. Mungkin temannya Mas Rendi. Aku segera menuju ruang depan untuk membuka pintu.
"Wa'alaikumussalam. Maaf, Anda mencari sia-?" aku belum sempat melanjutkan pertanyaanku saat mataku bertatapan dengan seseorang.
Seorang laki-laki muda berpakaian rapi menatapku tanpa berkedip. Sosok itu tidak asing bagiku.
"Mas Firman, kamu …." aku tidak sanggup meneruskan kalimatku setelah aku berhasil mengingatnya.
"Akhirnya aku bisa bertemu denganmu, Cinta," ucap Mas Firman.
Mas Firman adalah laki-laki yang pernah hadir dalam hidupku sebelum aku mengenal Mas Rendi.
"Dari mana kamu tahu rumahku, Mas? Untuk apa kau menemuiku? Apa belum cukup kamu menyakiti aku dan keluargaku?" tanyaku bertubi-tubi.
"Itu tidak penting, Cinta. Aku ke sini karena aku merindukanmu," jawab Mas Firman.
Bayangan masa lalu saat Mas Firman meninggalkanku menjadi siluet tajam yang mengiris hati.
Laki-laki muda yang kupanggil Mas Firman itu menatapku kembali. Tiba-tiba saja dia memegang tanganku, tetapi aku segera menepisnya.
"Maaf, Mas. Aku sudah bersuami. Jadi, tolong jangan ganggu aku!!" ucapku dengan suara tertahan.
"A- aku … aku minta maaf sebelumnya, Cinta. Aku datang tiba-tiba. Aku ingin kita kembali seperti dahulu. Aku ingin memperbaiki semuanya. Kita … kita mulai dari awal lagi, Cin …." ucap Mas Firman dengan terbata-bata.
"Aku tahu aku salah. Aku meninggalkanmu di hari pernikahan kita. Ada tugas mendadak yang harus segera aku selesaikan. Itu semua juga untuk masa depan kita berdua, Cin," lanjutnya.
Aku terdiam sesaat untuk mengumpulkan kekuatan dan ketegaranku. Dengan suara gemetar aku mematahkan alasan Mas Firman.
"Maaf, katamu, Mas. Mudah sekali kau umbar kata maaf setelah apa yang kau lakukan kepadaku dan keluarga besarku. Seenaknya saja kamu pergi meninggalkanku di hari pernikahan kita. Kamu anggap pernikahan kita seperti permainan. Kamu biarkan aku dan keluargaku menanggung rasa malu karena pengantin pria tidak kunjung datang. Aku jadi bahan gunjingan dan hinaan. Aku malu, Mas. Maluuu! Perlu kau tahu, Mas, rasa itu harus aku tanggung selama hidupku! Sekarang kamu datang tanpa rasa bersalah. Seolah-olah aku ini batu yang tidak punya perasaan. Kamu benar-benar tak punya hati. Teganya kamu lakukan itu, Mas!" ucapku histeris.
Aku benar-benar sudah tidak mampu menguasai diri. Aku bahkan tidak menyadari ada sepasang mata yang memperhatikan aku dan Mas Firman dari kejauhan.
"Mas, lebih baik kamu pergi dari sini! Aku tidak ingin bertemu lagi. Biarkan aku tenang dengan kehidupanku yang sekarang. Aku sudah melupakan semua tentang kita."
Aku kira Mas Firman akan pergi setelah mendengar penjelasanku. Namun, ternyata dugaanku salah. Tiba-tiba dia memegang tanganku dengan kasar. Tentu saja aku kaget bukan main.
"Tidak, Cinta. Aku tidak akan pergi sebelum kau ikut denganku. Aku tidak ingin kehilangan kamu lagi!" ucapnya berapi-api.
Aku tidak menyangka Mas Firman akan berbuat nekat. Sekuat tenaga aku coba melepaskan cekalan tangannya. Namun, apa dayaku sebagai seorang wanita. Aku hanya bisa menangis. Tiba-tiba terdengar suara yang tidak asing di telingaku.
"Hai, kamu! Cepat lepaskan istriku!" ucapnya dengan suara keras.
Mas Firman yang terkejut, menoleh ke arah suara itu. Pegangan tangannya yang sedikit kendur tidak aku sia-siakan. Dengan sekali entakan, tanganku terlepas darinya. Aku langsung berlari menuju arah suara yang ternyata Mas Rendi, suamiku.
"Mas Rendi, tolong aku, Mas! Aku … aku takut," ucapku dengan wajah pucat pasi.
Mas Rendi segera memelukku. "Tenangkan dirimu, Cinta!" ucapnya lembut.
Aku hanya bisa mengangguk. Entah mengapa bibirku tidak bisa bersuara. Aku masih tidak percaya dengan semua yang terjadi.
Mas Firman yang terkejut dengan kedatangan Mas Rendi hanya diam membisu. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Mas Rendi untuk menggertaknya.
"Maaf, Saudara Firman. Tolong kamu pergi dari sini atau aku akan memanggil warga untuk menangkapmu," ancam Mas Rendi dengan serius.
Untuk beberapa saat Mas Firman masih diam sambil menatap kami berdua. Pandangan matanya aneh dan membuat aku bergidik saat melihatnya.
"Sudah kubilang, aku ingin membawa Cinta bersamaku. Aku masih sangat mencintainya. Tolong serahkan Cinta kepadaku!!" ucapnya dengan nada memaksa.
"Kamu sudah tidak waras, Firman. Terpaksa aku harus berbuat ini. Aku tidak main-main dengan ucapanku," kata Mas Rendi sambil memberi kode kepada warga yang sudah dihubungi.
"Tolong bawa dia, Pak! Orang ini sudah tidak waras. Dia bisa membahayakan isteri saya."
Dengan bantuan warga, Mas Firman akhirnya bisa diamankan. Aku merasa lega. Mas Rendi segera meminta beberapa orang untuk membawa Mas Firman ke kantor polisi. Sedangkan yang lain diminta untuk pulang ke rumah masing-masing.
Matahari telah kembali ke peraduannya saat Mas Rendi mengajakku masuk rumah. Kebisuan menyelimuti kami berdua setelah peristiwa tadi.
Selepas salat Isya, aku menyiapkan makan malam untuk Mas Rendi. Tanpa aku panggil, Mas Rendi menghampiriku. Dengan antusias, dia mengomentari menu yang aku sajikan. Kali ini aku masak sayur asem dan tempe goreng dengan sambal terasi.
"Wah, sepertinya masakannya enak nih!" ucapnya sambil tersenyum riang. Aku hanya menoleh dan tersenyum sekadarnya sambil mengambilkan piring untuknya.
"Cin, kamu kenapa? Aku perhatikan dari tadi kamu diam saja. Kamu sakit?" tanya Mas Rendi dengan nada khawatir.
"Aku … aku enggak apa-apa kok, Mas. Aku cuma syok saja dengan peristiwa sore tadi. Untung kamu cepat datang. Kalau tidak, mungkin kita tidak bisa bersa-" Belum selesai aku bicara, jari telunjuk Mas Rendi sudah ada di bibirku.
"Sstt. Kita akan selalu bersama-sama selamanya, Cinta. Sampai maut memisahkan kita. Aku benar-benar minta maaf. Aku sadar, selama kita menikah, aku tidak begitu peduli sama kamu. Sikapku datar dan dingin."
Aku tersenyum mendengar kata-kata Mas Rendi. Ucapannya yang tulus membuatku merasa nyaman.
"Aku sudah memaafkan semua sikapmu, Mas. Aku maklum kok. Itu karena kamu trauma dengan pernikahan orang tuamu," ucapku kalem.
Mas Rendi terkejut mendengar ucapanku. Dengan hati-hati, aku menceritakan tentang catatan dan foto yang kutemukan di lemari pakaiannya.
Wajah Mas Rendi memerah untuk beberapa saat. Namun, setelah itu wajahnya ceria kembali.
"Syukurlah kalau kamu sudah tahu, Cin. Aku harap tidak ada lagi rahasia di antara kita. Sekarang hatiku merasa lega. Kamu sudah membuktikan kesungguhan dan kesetiaanmu sebagai seorang istri. Aku juga yakin kalau kamu benar-benar mencintaiku. Untuk kali ini, aku harus berterima kasih kepada papaku. Aku bersyukur dengan perjodohan kita. Namun, aku tak menyangka, kamu menanggung beban berat selama bertahun-tahun karena perbuatan laki-laki itu. Kamu benar-benar perempuan yang luar biasa, Cin," ucapnya serius.
Aku terkejut mendengar ucapan Mas Rendi. Berarti dia tahu apa yang aku bicarakan dengan Mas Firman sore tadi. Aku baru saja mau menjelaskan, tetapi Mas Rendi kembali meletakkan jari telunjuknya di bibirku.
"Dengarkan aku, Cinta. Aku tidak peduli dengan masa lalumu. Sekarang yang paling penting adalah masa depan kita berdua," ucap Mas Rendi lembut.
Tiba-tiba Mas Rendi memegang tanganku dengan penuh kasih sayang.
"Aku akan memperbaiki semuanya, Cin. Selama ini aku hanya menorehkan luka di hatimu. Sikap dan kata-kataku selalu membuatmu bersedih. Namun, aku janji, mulai sekarang aku akan menghapus awan mendung di matamu. Akan kubuat hari-harimu cerah secerah sinar mentari pagi," ucap Mas Rendi dengan mata berkaca-kaca.
Aku terdiam dan tak mampu berkata-kata. Hatiku begitu bahagia dengan semua perubahan yang terjadi pada diri Mas Rendi. Terima kasih, ya, Allah. Semua ini terjadi atas izin-Mu.
Selesai[]
Photo : Pinterest