"Alhamdulillah, Hanun. Meski dibesarkan di keluarga yang sangat sederhana, tetapi ibu selalu berusaha memahamkanku arti kebahagiaan yang sesungguhnya. Yaitu bahwa bahagia kita itu sejatinya bukan karena penilaian mereka, manusia, tetapi karena ketaatan kita kepada Allah Swt."
Oleh. Ratih FN
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-"Braaakkk!!"
"Hei, Cupu, ngapain kamu duduk di sini, hah!? Kamu enggak tahu ini tempat dudukku?" Vanesa menggebrak meja sembari berkacak pinggang. Ia kesal melihat bangku yang baru dua menit ditinggalkannya sudah diduduki oleh Hanun.
"Maaf, maaf, Van. Aku enggak tahu kalau kamu tadi duduk di sini. Tadi bangku ini kosong." Hanun segera beranjak sembari meminta maaf ke Vanesa.
Kini Vanesa menjadi pusat perhatian di kantin karena tingkah kasarnya. Merasa banyak yang memperhatikan, bukannya malu, tetapi dia justru semakin menjadi-jadi. Entah kenapa, belakangan sikap Vanesa memang seperti sok preman.
"Lagian, anak tukang rongsok kayak kamu tuh enggak pantas makan di kantin bareng kita-kita. Bisa-bisa makanan di sini penuh lalat gara-gara mencium aroma badan kamu." Vanesa dan gengnya tertawa terbahak-bahak.
Bulir-bulir air hangat mengalir di pipi Hanun. Setengah berlari, dia menyusuri koridor kelas meninggalkan kantin mewah di sekolah elit itu menuju toilet perempuan di samping kelasnya.
Tiba-tiba …
"Bruuugh!"
"Astagfirullah … Maaf, maaf. Aku enggak lihat. Eh, Hanun? Kenapa nangis?" Fathiya terheran mendapati teman sekelasnya sudah berurai air mata.
"Enggak apa-apa, Fath. Kamu jangan dekat-dekat aku, nanti dihinggapi lalat-lalat karena kena aroma badanku." Terisak Hanun menjawab pertanyaan sembari menyingkapkan tangan Fathiya yang memegang bahunya.
"Haisssh?! Kenapa kamu bilang begitu? Ada yang ngatain kamu? Siapa orangnya? Biar aku laporkan ke guru BK."
"Jangan, Fathiya. Nanti aku malahan semakin dibully."
"Enggak bisa gitu, Hanun. Mereka harus paham bahwa yang mereka lakukan itu salah. Lagi pula, Allah saja, Sang Pencipta Manusia, kehidupan dan alam semesta, tidak menilai hambaNya dari penampilan atau materi. Siapa mereka berani menilai kita?"
"Apa kamu bilang tadi, Fathiya?!" Suara lantang dan kasar Vanesa mengagetkan Fathiya dan Hanun yang sedang berbincang di depan pintu toilet perempuan.
"Berani kamu mau melaporkan aku ke guru BK? Mau sok jagoan kamu, membela anak tukang rongsok itu? Tetapi memang cocok sih kalian. Satu anak tukang rongsok, satu anak penjual kue keliling. Sama-sama kere! Hahaha …" Vanesa tertawa puas diikuti oleh gengnya.
"Astagfirullah. Jaga bicara kamu, Van. Tukang rongsok ataupun penjual kue keliling juga yang penting halal, tidak mengambil hak orang lain. Yang jadi pejabat, jika tidak Amanah, apa lagi kalau sampai korupsi, justru zalim dan berdosa besar!" Fathiya berusaha menjawab setenang mungkin. Hal itu justru semakin membuat Vanesa geram.
"Kamu menghina papaku, Fath? Berani banget anak tukang kue keliling menghina keluargaku!" Vanesa naik pitam, didorongnya badan Fathiya hingga membentur pintu toilet.
"Astagfirullah, ada apa ini?!" Suara Bu Marsini, guru BK yang terkenal tegas, mengagetkan Fathiya, Hanun, Vanesa dan teman-temannya.
"Tidak ada apa-apa, Bu. Hanya salah paham kecil." Fathiya berusaha menutupi apa yang sebenarnya terjadi. Bukan karena mau sok-sokan, melainkan dia juga merasa bersalah karena tadi sudah berkata-kata yang menyindir dan menyakiti hati Vanesha.
"Vanesha?"
"Tidak ada apa-apa, Bu. ‘Kan tadi Fathiya juga sudah menjawab. Jika Bu Marsini tidak percaya dengan saya, minimal Ibu percaya kepada Fathiya, ‘kan?"
Vanesa tampak begitu gugup memandang tatapan tajam guru BK-nya itu. Sudah dua kali dia dipanggil oleh Bu Marsini atas kasus yang berbeda, perundungan dan perkelahian dengan siswi lain.
Belakangan, Vanesha memang berubah menjadi kasar dan sok preman. Terutama setelah kasus ayahnya yang terlibat korupsi di instansi tempatnya bekerja.
"Ini peringatan terakhir dari Ibu, ya, Vanesha. Jika ibu mendengar sekali lagi laporan bahwa kamu merundung siswi lain, Ibu akan men-scores kamu!"
"Iya, Bu." Vanesha menunduk dan berlalu menuju kelasnya. Di toilet, tinggal Hanun dan Fathiya berdua.
"Terima kasih, ya, Fathiya. Aku enggak tahu bagaimana caraku menghadapi ulah Vanesha."
"Tak apa, Hanun. Memang sudah semestinya sesama muslim harus saling membantu. Sebenarnya, aku kasihan juga dengan Vanesha. Dia menjadi seperti itu gara-gara kasus ayahnya."
"Iya, tetapi aku jadi mengkhawatirkan kamu, Fathiya."
"Khawatir kenapa, Nun?"
"Aku takut kamu juga ikut jadi sasaran bully-an Vanesha karena membelaku tadi."
Tampak sekali raut muka Hanun menunjukkan rasa khawatir yang sangat. Sudah dua kali ini dia menjadi sasaran perundungan Vanesha, kemarin di depan gerbang sekolah dan hari ini di kantin.
"Hanun, jika kita yakin bahwa kita tidak melakukan kesalahan, kita harus berani. Lagi pula, tidak benar itu menilai manusia dari status sosialnya. Bukankah Allah Swt. menilai manusia dari ketakwaannya, bukan dari kekayaan atau status sosialnya?"
"Iya, Fath, tetapi … Kadang aku juga berpikir kalau aku memang tidak pantas bersekolah di sini. Sekolah ini terlalu elit untuk seorang anak tukang rongsok seperti aku."
"Hanun, dengar, ya … Kita tidak bisa memilih dari orang tua seperti apa kita dilahirkan. Lagi pula, kamu itu cerdas, jadi tak perlu minder hanya karena kamu terlahir sebagai anak tukang rongsok. Prestasi kamu sudah membuktikan bahwa kamu memang layak bersekolah di sini."
"Kamu juga cerdas, Fathiya, dan sangat bijaksana. Kamu juga terlihat selalu ceria dan bahagia, meski ibu kamu hanya penjual kue keliling."
"Alhamdulillah, Hanun. Meski dibesarkan di keluarga yang sangat sederhana, tetapi ibu selalu berusaha memahamkanku arti kebahagiaan yang sesungguhnya. Yaitu bahwa bahagia kita itu sejatinya bukan karena penilaian mereka, manusia, tetapi karena ketaatan kita kepada Allah Swt."
"Masyaallah, bolehkah aku menjadi sahabat kamu, Fathiya?"
"With my pleasure, My Salihah Sista!" Fathiya memeluk bahu Hanun. Bahagia rasa hatinya bisa menularkan energi positif kepada saudaranya sesama muslim.[]