“Sesungguhnya jawaban orang-orang yang beriman bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar dia menghukumi di antara mereka adalah ucapan: ‘Kami dengar dan kami taat.’ Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (TQS. An-Nur: 51)
Oleh. Deena Noor
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Dua hal yang penting dimiliki oleh seorang pengemban dakwah adalah keberanian dan ketegasan. Jalan dakwah adalah jalan yang tak mudah, bahkan penuh dengan cobaan dan rintangan. Karena itulah dibutuhkan sikap berani dan tegas agar tak tergilas oleh beragam tantangan yang hilir mudik tiada henti. Dengan keyakinan yang kuat bahwa Allah akan selalu melindungi setiap hamba yang istikamah berada di jalan-Nya seperti yang termaktub dalam surah An-Nisa’ ayat 45: “Dan Allah lebih mengetahui daripada kamu tentang musuh-musuhmu; dan cukuplah Allah menjadi pelindung, dan cukuplah Allah menjadi penolong bagimu.”
Sikap berani dan tegas dalam berdakwah ini juga telah dicontohkan oleh salah seorang sahabat Rasululullah yang bernama Sa’ad bin Mu’adz. Ia adalah seorang pemimpin dari Bani Asyhal di Madinah. Sa’ad memiliki julukan Abu Amr. Sa’ad bin Mu’adz merupakan putra dari Mu’adz bin Nu’man dan Kabsyah binti Rafi’. Ia masuk Islam setahun sebelum hijrahnya Rasulullah ke Madinah.
Sebagai seorang tokoh, Sa’ad bin Mu’adz memiliki pengaruh yang sangat besar di tengah-tengah kaumnya. Ia sangat dihormati oleh kaum Bani Asyhal.
Keberanian
Sa’ad bin Mu’adz juga terkenal sebagai sosok pemuda yang jago menunggang kuda dan pemberani. Keberaniannya tampak tatkala ia yang waktu itu baru saja memeluk Islam berani menunjukkan keislamannya. Setelah mengucap syahadat dengan dibimbing oleh Mush’ab bin Umair, Sa’ad lalu mendatangi kaumnya dan berkata, “Wahai, Bani Asyhal, bagaimana kedudukanku di tengah-tengah kalian?” Mereka lantas menjawabnya, “Engkau adalah orang yang kami hormati.”
Sa’ad kemudian mengatakan, “Ketahuilah oleh kalian, mulai hari ini, aku tidak akan mau bercakap-cakap dengan kalian, baik lelaki maupun perempuan, sebelum kalian memeluk Islam seperti diriku.”
Mendengar hal itu, seluruh anggota keluarga Bani Asyhal pun memeluk Islam.
Sikap berani dan terang-terangan Sa’ad bin Mu’adz dalam menunjukkan keislamannya mampu membawa kaumnya mengikuti langkahnya menjadikan Islam sebagai akidah. Ia tak takut kehilangan jabatan dan kedudukannya di tengah manusia karena memperlihatkan identitasnya sebagai muslim. Ini juga sebagai salah satu bentuk dukungannya terhadap perjuangan dakwah Islam.
Sa’ad bin Mu’adz tak ragu sama sekali dengan Islam yang baru dipeluknya saat itu. Ia meyakini bahwa Islam sebagai yang benar. Karena itulah, ia kemudian mengajak kaumnya untuk memasuki Islam sebagai jalan kehidupan yang membawa keselamatan.
Sikap berani dan terbuka Sa’ad akan Islam yang menjadi akidahnya sangat patut dicontoh oleh kaum muslim, khususnya para pemimpin dan tokoh masyarakat. Mereka yang memiliki kedudukan dan status tinggi di tengah masyarakat harusnya tak ragu menunjukkan identitas keislaman dan dukungannya terhadap perjuangan Islam. Justru, dengan kelebihan yang dipunyai, mereka bisa menggunakannya untuk kemajuan dakwah Islam. Manfaatkanlah kekuasaan yang dimiliki untuk membantu perjuangan Islam. Bukan malah sebaliknya, malu mengakui sebagai muslim karena terpapar sekularisme akut. Bahkan, sampai benci dengan agamanya sendiri karena terkena racun islamofobia sehingga ikut-ikutan menghalangi dakwah Islam di tengah masyarakat.
Dari Sa’ad bin Mu’adz, kita belajar untuk tidak menjadikan kedudukan sebagai penghalang dalam dakwah Islam. Tak perlu takut kehilangan jabatan saat kita memperjuangkan Islam. Walau banyak cemoohan, gangguan, ancaman, godaan, dan bermacam intrik, dakwah Islam harus terus melaju. Posisi duniawi tak boleh menghambat langkah-langkah dakwah yang kita tempuh.
Ketegasan
Satu lagi sikap yang patu diteladani dari Sa’ad bin Mu’adz adalah ketegasannya dalam menegakkan hukum Allah. Saat itu, Perang Khandaq baru saja usai. Rasulullah dan kaum muslimin hendak kembali pulang, ketika datang perintah melalui malaikat Jibril untuk melanjutkan perjalanan menuju Bani Quraidzah dan memerangi mereka. Salah satu suku Yahudi itu telah berkhianat dengan sengaja melanggar Piagam Madinah. Mereka bersekongkol dengan pasukan Ahzab untuk menyerang kaum muslim, padahal sebelumnya telah mengadakan perjanjian dengan Rasulullah.
Sesampainya di benteng milik Bani Quraidzah, tempat kaum Yahudi bersembunyi, pasukan kaum muslimin melakukan pengepungan selama 25 hari. Kaum Yahudi pun akhirnya menyerah. Mereka meminta agar urusan mereka diputuskan oleh Sa’ad bin Mu’adz. Mereka beranggapan bahwa Sa’ad yang berasal dari Kabilah Aus yang merupakan sekutu mereka di masa sebelum kedatangan Islam di Madinah akan cenderung terhadap Yahudi Quraidzah.
Sa’ad bin Mu’adz yang saat itu tengah terluka akibat pertempuran Khandaq dan masih dalam masa perawatan, lalu mendatangi Rasulullah. Melihat Sa'ad, Rasulullah kemudian berkata, “Sambutlah pemimpin kalian.”
Orang-orang Anshar berkata kepada Sa’ad, “ Wahai, Abu Amr, sesungguhnya Rasulullah saw. telah memberikanmu otoritas dalam perkara ini untuk menetapkan hukumnya.”
Dalam rasa sakitnya yang terus memburuk, Sa’ad memanjatkan doa, “Ya, Allah, janganlah Engkau cabut nyawaku sampai aku menyelesaikan urusanku dengan Bani Quraidzah.”
Lalu, dengan penuh ketegasan, Sa’ad berkata, “Sesungguhnya aku menghukum mereka, yaitu laki-lakinya dibunuh, harta mereka diambil dan dibagi-bagi; sedangkan wanita dan anak-anak mereka dijadikan sahaya.”
Mendengar keputusan Sa’ad, Rasulullah berkata, “Engkau telah menetapkan hukum berdasarkan hukum Allah yang berada di atas langit ketujuh.”
Sejak itu, kaum Yahudi tidak lagi berada di sekitar Kota Madinah. Selanjutnya mereka berpencar ke arah utara Jazirah, di Khaibar maupun perbatasan Syam. Berkat ketegasan Sa'ad, kaum Yahudi itu tidak berani lagi mengusik Islam.
Apa yang dilakukan Sa’ad harus menjadi teladan bagi seluruh kaum muslim. Ketegasannya dalam menerapkan hukum Allah menjadikan Islam tetap tegak dan tidak ada yang berani meremehkannya. Sikap tegas itu sangat dibutuhkan agar eksistensi Daulah Islamiah yang melindungi seluruh kaum muslim bisa terus berdiri untuk menerapkan syariat-Nya secara kaffah. Sikap tegas Sa’ad yang menghukumi perkara sesuai dengan perintah Allah merupakan gambaran bagaimana sikap muslim seharusnya. Ini seperti yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an surah An-Nur ayat 51: “Sesungguhnya jawaban orang-orang yang beriman bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar dia menghukumi di antara mereka adalah ucapan: ‘Kami dengar dan kami taat.’ Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Wafat
Setelah peristiwa itu, sakit Sa’ad bin Mu’adz makin menjadi-jadi. Sa’ad lalu berdoa, “Ya, Allah, sungguh Engkau mengetahui bahwa tidak ada orang yang lebih kusukai untuk kuperangi selain daripada kaum yang mendustakan Rasul-Mu dan mengusirnya. Ya, Allah, sesungguhnya aku yakin bahwa Engkau telah mengakhiri pertentangan antara kami dan mereka. Jika masih ada peperangan melawan orang-orang Quraisy, maka berikanlah kepadaku kesempatan untuk berjihad melawan mereka di jalan-Mu. Jika Engkau telah mengakhiri peperangan, maka parahkanlah lukaku ini dan jadikanlah itu menjadi kematianku.”
Hari-hari berikutnya adalah penantian bagi Sa’ad sampai ajal menghampirinya. Ketika sakitnya bertambah parah, Rasulullah mendatanginya. Sa’ad tentu sangat bergembira didatangi oleh manusia yang sangat dicintainya itu. Sa’ad lalu mengucap salam untuk Rasulullah dan menegaskan kembali keimanannya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah kemudian menjawabnya, “Kebahagiaan atasmu, wahai, Abu Amr.”
Maka, Sa’ad pun meninggal dengan Rasulullah yang berada di sisinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi orang yang terakhir kali dilihat Sa’ad sebelum ia wafat seperti keinginannya selama ini. Inilah Sa’ad bin Mu’adz radhiallahu ‘anhu yang penuh dengan keteladanan. Dialah sahabat yang kematiannya mengguncang arasy, sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Singgasana Allah Azza wa Jalla bergoncang karena wafatnya Sa’ad bin Mu’adz.” (HR. Bukhari)
Wallahu a'lam bishshawwab[]