Jangan Ragu Menjadi Ibu

"Seorang ibu dengan pemahaman Islam akan memiliki kesadaran bahwa dia memiliki tanggung jawab yang besar dalam mendidik putra-putrinya. Dengan kesadaran tersebut, ia akan mengambil segala sesuatu berdasarkan Islam. Begitulah kesadaran yang mengakar dalam benak seorang ibu yang telah memahami Islam."

Oleh. Atien
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.com-"Surga ada di bawah telapak kaki ibu".

Pepatah di atas tentu tidak asing di telinga kalian. Pepatah tersebut menggambarkan betapa mulianya seorang ibu sampai-sampai surga menjadi suatu hal yang disandingkan dengannya.

Pengorbanan seorang ibu sungguh luar biasa. Dari awal mengandung, seorang ibu sudah mempersiapkan yang terbaik untuk buah hatinya. Dengan penuh semangat, seorang ibu membekali diri dengan ilmu dan pengetahuan agar mampu memberikan pendidikan dan bimbingan yang maksimal saat anaknya lahir ke dunia. Rasa kasih sayangnya makin bertambah seiring dengan munculnya naluri keibuan yang memang sudah menjadi fitrahnya.

Kalian tahu tidak? Ternyata perjuangan seorang ibu itu sangat berat saat melahirkan anaknya. Seluruh daya dan upaya dikerahkan agar anaknya lahir ke dunia dengan selamat. Jiwa dan raga sang ibu dipertaruhkan tanpa syarat. Baginya keselamatan sang anak lebih berarti dibanding nyawanya sendiri.

Sosok seorang ibu memang tidak diragukan lagi keberadaannya. Kemampuannya dalam menjalankan tugas rumah tangga juga tidak ada duanya. Dua tugas utamanya sebagai pengatur rumah tangga sekaligus pendidik utama bagi putra-putrinya sanggup dilakukan dalam satu waktu. Pokoknya yang namanya ibu itu sosok yang multitasking.

Di samping itu hati seorang ibu benar-benar seluas samudera. Buktinya tugas-tugas domestik yang begitu banyak tidak membuat senyum di bibirnya menghilang saat harus mengurus dan melayani kebutuhan anak dan suami.

Ketulusan dan keikhlasan seorang ibu dalam mendidik dan membesarkan anak-anak juga tidak ada bandingannya. Apa pun akan dilakukan demi sang anak. Tidak ada keluh kesah yang terdengar meskipun rasa lelah mendera tubuhnya. Tidak ada sumpah serapah saat anaknya rewel dan susah diatur. Nada bicaranya tetap lemah lembut dalam bertutur.

Saat sang anak sakit, dirinya pun ikut merasakan sakit. Rasa panik, khawatir, dan sedih tergambar jelas di wajahnya. Dengan sabar dan penuh rasa cinta sang ibu menjaga dan mendampingi belahan jiwanya. Untaian doa dan harapan selalu dipanjatkan kepada Allah Swt. Semua itu hanya ditujukan untuk buah hati tercinta. Ya Allah, jadi terharu.

Seorang ibu memiliki peran penting dalam mendidik anak-anaknya. Predikat sebagai sekolah pertama (madrasatul ula) menjadikan seorang ibu harus memiliki berbagai pengetahuan dan pemahaman yang berkaitan dengan perannya tersebut. Dengan demikian seorang ibu harus memiliki banyak ilmu agar bisa mendidik putra-putrinya.

Peran sebagai madrasatul ula merupakan tugas utama seorang ibu. Pengetahuan dan pemahaman dari ibu akan berpengaruh kepada pengetahuan dan pemahaman anak. Ibu ibarat cermin bagi anak dalam melakukan berbagai hal. Artinya, anak akan meniru apa saja yang dilakukan oleh ibunya. Makanya seorang ibu harus hati-hati sebelum berbuat sesuatu karena hal itu akan ditiru oleh anaknya.

Seorang ibu yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang benar, tentu akan bisa membawa anak berpikir benar. Namun, harus dilihat lagi definisi benar itu menurut siapa. Sebab kebenaran ada beberapa versi. Versi diri sendiri, masyarakat dan agama. Bila kebenaran yang disandarkan itu menurut diri sendiri, pasti kebenaran menurut masyarakat dan agama dianggap salah. Sedangkan kalau kebenaran diambil dari penilaian masyarakat, sudah barang tentu kebenaran dari diri sendiri dan agama juga salah. Padahal kita semua tahu bahwa diri kita dan anggota masyarakat adalah sama-sama manusia. Kita juga tahu kalau manusia itu lemah dan terbatas karena dirinya adalah mahluk ciptaan Allah Swt.

Kedua versi di atas menjadi sesuatu yang sering digunakan di tengah-tengah masyarakat. Di antara mereka ada yang mengambil kebenaran berdasarkan versi diri sendiri maupun versi masyarakat. Padahal kedua versi tersebut belum tentu sesuai dengan aturan yang benar. Tahu sendiri 'kan kalau manusia yang membuat aturan pasti lebih mementingkan diri mereka sendiri. Begitu juga saat mereka mengambil kebenaran versi masyarakat tentu aturannya sesuai dengan yang biasa terjadi di masyarakat. Mereka mengikuti sesuatu berdasarkan suara terbanyak. Padahal belum tentu suara terbanyak itu bersumber dari aturan yang benar.

Kita bisa mengambil contoh yang terdekat dengan kita. Misalnya anggapan di masyarakat yang menyatakan bahwa seorang perempuan berhak untuk tidak menikah. Menikah atau tidak, itu merupakan hak asasi masing-masing orang. Maka hal itu tidak boleh dilarang. Di samping itu, menikah dianggap sesuatu yang merepotkan. Dengan menikah, diri akan terbelenggu dengan aturan ini itu. Belum lagi kalau nanti punya anak, pasti banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk membesarkan dan mengurus anaknya. Semua itu menjadi sesuatu yang merepotkan sekaligus merugikan. Pemikiran seperti itu menjadi racun yang sangat berbahaya.

Adanya pemahaman di atas memang sengaja dimunculkan di tengah-tengah masyarakat. Hal itu merupakan pemikiran kufur yang juga lahir dari sistem yang kufur. Pemikiran tersebut ternyata buah diterapkannya sistem kapitalisme liberal.

Di sistem kufur ini manusia boleh membuat aturan sesuka hati. Istilah kerennya yang penting happy. Bagi penganut sistem ini, kebebasan menjadi pilar utama. Kalau sudah bicara kebebasan, ujung-ujungnya pasti mencari pembenaran dalam setiap perbuatan. Padahal hal itu hanya sebuah topeng untuk menutupi kesalahan diri. Begitu sifat manusia kalau sudah dikuasai hawa nafsu. Apa pun akan dilakukan meskipun hal itu melanggar aturan.

Berarti hanya tinggal satu versi lagi, yaitu kebenaran menurut agama. Dalam hal ini sebagai umat Islam, seorang ibu tentunya akan menyandarkan kebenaran berlandaskan kepada agamanya, yaitu agama Islam.

Seorang ibu dengan pemahaman Islam akan memiliki kesadaran bahwa dia memiliki tanggung jawab yang besar dalam mendidik putra-putrinya. Hal tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah saw. yang artinya,

"Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang istri adalah pemimpin atas rumah tangga dan anak-anaknya dan akan ditanya perihal tanggung jawabnya." (HR. Muslim)

Dengan kesadaran tersebut, seorang ibu akan mengambil segala sesuatu berdasarkan Islam termasuk dalam mendidik putra-putrinya. Dirinya akan mencurahkan waktu, tenaga, dan kasih sayangnya untuk mendidik dan mengarahkan putra-putrinya. Tidak ada perasaan menyesal dalam dirinya saat harus berkutat dengan kesibukan mengurus rumah tangga, suami dan anaknya. Seorang ibu juga tidak akan merasa rendah diri dengan posisi yang mulia ini. Begitulah kesadaran yang mengakar dalam benak seorang ibu yang telah memahami Islam.

Allah Swt. sebagai Zat Yang Maha Kuasa telah menempatkan seorang ibu dalam posisi yang mulia. Hal itu disampaikan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya yang artinya,

"Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu dan hanya kepada-Ku lah kembalimu." (TQS. Luqman [31]: 24)

Dalam hadis riwayat Abu Hurairah Radiyallahu’annhu, Rasulullah saw. menyuruh kita untuk berbuat baik tiga kali lebih besar kepada ibu dibanding bapak.

"Seseorang datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi saw. menjawab, ‘Ibumu’. Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’, Nabi saw. menjawab ‘Ibumu’. Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’, beliau menjawab ‘Ibumu’. Orang tersebut bertanya kembali, ‘ Kemudian siapa lagi,’ Nabi saw. menjawab ‘Kemudian ayahmu’." (HR. Bukhari dan Muslim)

Perjuangan, pengorbanan, dan segala hal yang dilakukan oleh seorang ibu memang patut untuk dijadikan renungan untuk kita semua. Hal itu tentu membuat kita yakin bahwa menjadi seorang ibu adalah tugas mulia yang berpahala.

Maka tidak berlebihan jika Allah Swt. memberikan balasan terbaik bagi seorang ibu. Dalam sebuah riwayat disampaikan,

"Bahwasanya ia (Mu'awiyah bin Jahimah) datang kepada Rasulullah saw. Lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah, aku ingin berperang dan aku datang untuk meminta petunjukmu." Nabi saw. bersabda, "Apakah engkau memiliki ibu?", "Iya". Rasul saw. bersabda, "Menetaplah dengannya karena sungguh surga di bawah kedua kakinya"." (HR. Ibnu Majah, An-Nasa'i, Ahmad, Ath-Thabrani)

Wallahu a'lam bishawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Atien Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Sepotong Apel
Next
Jagoanku Terlambat Mandiri, Toksikkah Saya dalam Mengarahkannya?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram