Semua ini biang dari sistem demokrasi, yang dianggap kompatibel diterapkan di Indonesia. Padahal, mayoritas penduduknya adalah umat Islam. Umat Islam masih silau dengan janji demokrasi berupa keadilan dan kesejahteraan.
Oleh : Siti Muslikah, Amd.Kes
NarasiPost.Com — Belum lama ini, publik dikejutkan kembali dengan penemuan kasus korupsi pada aparat tinggi negara. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangkap Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Edy Prabowo pada Rabu (25/11) saat berada di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang.
Penangkapan ini diduga terkait kasus suap perizinan eksport benih lobster atau benur. Sebelumnya, benur ini telah menjadi polemik antara Edy Prabowo dengan pejabat menteri sebelumnya, Susi Pudjiastuti.
Diketahui larangan benur ditertibkan di era Susi, lantaran kerap menangkap benur ilegal. Namun, kebijakan iki tidak berlanjut pada kepemimpinan menteri saat ini. Justru sebaliknya, kebijakan tersebut dicabut dengan memberikan kelonggaran dan syarat bagi eksportir penangkapan benih-benih lobster.
Sangat disesalkan, karena pelaku merupakan pejabat tinggi di negeri ini. Semestinya, menjadi pengayom dan teladan bagi rakyat, namun kelakuannya tak ubahnya para mafia yang rakus akan kekayaan harta rakyat.
Edhy bersama 17 orang pejabat lainnya ditahan. Sebab, mereka diduga menerima hadiah dan janji berupa uang. Terkait perizinan tambak dan usaha pengelolaan perikanan, serta komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020.
Ironis, ditengah kondisi pandemi yang hampir seluruh rakyat mengalami kesulitan hidup, namun justru pejabat negara sibuk menikmati kesenangan hidupnya dengan merampok uang rakyat. Mereka bisa liburan keluar negeri bersama keluarganya dengan menggunakan uang rakyat, dan menghambur-hamburkannya dengan membeli barang mewah. Na'udzubillah.
Ini menunjukkan bahwa besarnya bola korupsi di negeri ini kian eksis. Sekaligus menggambarkan betapa rapuhnya pemerintahan digerogoti korupsi. Kata pepatah "ibarat ikan membusuk dari kepalanya." Terbukti, korupsi masih banyak dilakukan para elit politik dan pemerintahan. Dari data penanganan perkara di KPK hingga Mei 2020, menunjukan ada 417 kasus korupsi yang melibatkan politisi. Diantaranya DPR/DPRD sebanyak 274 orang, Gubernur 21 orang dan Walikota, Bupati dan wakil sebanyak 122 orang.
Tak heran jika indeks tingkat korupsi Republik Indonesia tidak pernah membaik. Praktek suap-menyuap masih sering terjadi di negeri ini. Yang menyedihkan lagi, Indonesia menempati peringkat keempat terbawah negara yang paling banyak melakukan suap dalam transaksi bisnis di Luar Negeri.
Publik tidak bisa lagi membantah bahwa korupsi menjadi-jadi dalam sistem demokrasi. Ini bukan tudingan kosong tanpa bukti. Selain itu, akibat sanksi pidana yang terbilang ringan. Sebagaimana catatan kasus Bank Century hingga kini tak ada ujung penyelesainnya. Kasus E-KTP yang menjerat ketua DPR Setya Novanto, belum lagi kasus Jiwasraya juga belum tuntas. Dan masih banyak kasus-kasus korupsi lainnya yang belum terselesaikan hingga kini, yang pastinya banyak merugikan keuangan negara.
Semua ini biang dari sistem demokrasi, yang dianggap kompatibel diterapkan di Indonesia. Padahal, mayoritas penduduknya adalah umat Islam. Umat Islam masih silau dengan janji demokrasi berupa keadilan dan kesejahteraan. Sebaliknya, mereka takut dicap anti-demokrasi. Ada di kalangan umat yang berusaha menyamakan demokrasi dengan Islam, bahkan ada juga yang menuding bahwa demokrasi dengan Islam sebagai tambal sulam dari demokrasi kapitalisme yang gagal.
Diketahui sejak awal kelahirannya, kedaulatan dalam demokrasi ada di tangan segelintir rakyat, yakni pemilik modal. Mereka menipu rakyat dengan menyuarakan seakan-akan kedaulatan ada di tangan rakyat. Namun yang terjadi, apabila perubahan yang dikehendaki adalah daulat rakyat, maka demokrasi tidak memberikan hal itu. Sehingga, yang berdaulat dan berkuasa dalam demokrasi adalah pemilik modal. Siapapun yang menginginkan kekuasaan harus memiliki kekayaan harta untuk membeli kursi jabatan.
Inilah wajah buruk demokrasi, yang merupakan seperangkat gagasan/ide yang berprinsip kebebasan. Lahir dari sebuah ideologi buatan manusia, yang berakidah memisahkan agama dari kehidupan manusia, yakni sekuler. Sangat kontradiksi dengan akidah Islam. Sistemnya juga menyalahi Islam karena tidak bersandar pada wahyu Allah Subahnallahu Wa Ta'aala. Keburukan demokrasi bersandar pada suara rakyat yang mayoritas menentukan kebenaran. Dan ini jelas bertentang dengan Islam, sebagaiman Allah Subahnallahu Wa Ta'aala berfirman :
وَاِ نْ تُطِعْ اَكْثَرَ مَنْ فِى الْاَ رْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗ اِنْ يَّتَّبِعُوْنَ اِلَّا الظَّنَّ وَاِ نْ هُمْ اِلَّا يَخْرُصُوْنَ
"Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan." (QS. Al-An'am 6: Ayat 116)
Alhasil, berharap bahwa demokrasi akan memenuhi aspirasi rakyat banyak dan mensejahterakannya, ibarat pungguk merindukan rembulan; angan-angan kosong yang jauh dari realita. Demokrasi hanya manis dalam teori, tetapi busuk dalam praktik. Perjalanan sejarah bangsa ini telah memberikan pelajaran bahwa demokrasi tak kunjung menuntaskan cita-cita rakyat.
Karena itu, sudah saatnya umat Islam mulai sekarang segera mencampakkannya. Kaum muslim harus kembali pada sistem Islam, kembali pada syariah, kembali dalam naungan Khilafah Islamiyah. Sebagaimana, selama berabad-abad pernah dialami oleh generasi kaum muslim terdahulu. Hanya dengan itulah, kemuliaan Kaum Muslim di dunia maupun di akhirat bisa diraih. Wallahua'alam []