"Betapa banyak kasus tumbuh kembang anak terganggu karena kelalaian orang tua dalam memperhatikan apa saja hak dan kewajiban yang harus dilakukan, serta apa saja hak dan kewajiban yang harus anaknya jalankan"
Oleh. Dila Retta
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Dinukil dari kitab Tuhfah al Maudud, Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu mengatakan, “Didiklah anakmu, karena sesungguhnya engkau akan dimintai pertanggungjawaban mengenai pendidikan dan pengajaran yang telah engkau berikan kepadanya. Dan dia juga akan ditanya mengenai kebaikan dirimu kepadanya serta ketaatannya kepada dirimu.”
Karenanya sebagai orang tua, adalah sebuah kewajiban bagi kita untuk memberikan pendidikan terbaik kepada anak dalam segala hal terutama pendidikan agama yang menjadi fondasi untuk menjalani kehidupan. Namun sayang, tidak semua orang tua paham dengan makna mendidik itu sendiri. Kebanyakan dari orang tua saat ini hanya menganggap jika kewajibannya dalam memberikan pendidikan terbaik adalah dengan menyekolahkan anak-anaknya di sekolah berakreditasi tinggi. Masih banyak dari para orang tua yang menganggap jika keberhasilan dan kesuksesannya dalam mendidik anak adalah saat anak-anaknya mampu menjadi juara dan memiliki prestasi akademis yang bersifat duniawi.
Ustaz Harry Santosa, dalam tausiahnya pernah menyampaikan bahwa persekolahan itu berbeda dengan pendidikan. Sekolah hanyalah tempat untuk tarbiah, untuk pengajaran ilmu pengetahuan. Tapi pengajaran tidak mungkin dapat dilakukan sebelum fitrah dan adab tumbuh dengan baik. Sedangkan fitrah dan adab seorang anak sendiri, seharusnya diajarkan dalam rumah oleh orang tua. Para guru itu berharap jika murid-muridnya sudah saleh saat tiba di gerbang sekolah, sedangkan orang tua berharap anak-anaknya sudah saleh saat tiba di gerbang rumah karena beranggapan telah mengeluarkan banyak biaya untuk sekolahnya. Dan inilah problem kita, terlalu berekspetasi dan menaruh harap cukup tinggi akan kesalehan anak, namun lalai mengenai kewajiban dan pendidikan seperti apa yang harus mereka dapatkan.
Memahami Konsep Pendidikan Islam
Jika belajar ilmu parenting dalam Islam, tentu akan kita temukan banyak sekali konsep pengajaran dari berbagai rujukan yang berlandaskan Al-Quran dan as-sunnah. Namun sejauh ini, mungkin yang cukup dikenal adalah konsep pendidikan ala Ali bin Abi Thalib yang membagi waktu serta kebutuhan pendidikan anak mulai dari usia 7 tahun pertama, 7 tahun kedua di usia remaja, hingga 7 tahun ketiga di usia dewasa.
Dan jika kita mau mengkaji lebih detail mengenai konsep pendidikan Islam, ternyata tujuan dari semua pengajaran yang dilakukan itu sama. Yakni untuk memperkuat akidahnya, memperkenalkan fitrahnya, serta menyempurnakan adab dan akhlaknya agar kelak dapat menjadi sebaik-baik generasi yang mampu memberikan manfaat tidak hanya untuk urusan duniawi namun juga untuk bekal di akhirat nanti.
Namun terkadang, meski kita telah memahami konsep pendidikan seperti apa yang harusnya diterapkan, masih banyak pula dari kita sebagai orang tua yang lupa jika kemampuan tiap anak itu berbeda. Betapa banyak orang tua yang menuntut anaknya agar menjadi seperti keinginannya bukan mengasah kemampuan yang dimilikinya, menuntut anaknya agar senantiasa menjadi juara, bahkan menuntut agar anaknya mampu menguasai semua bidang pengetahuan di sekolahnya. Alhasil, cukup banyak anak yang mengalami frustrasi hingga depresi karena tuntutan-tuntutan yang diajukan orang tuanya. Dan inilah yang harus kita benahi bersama.
Peraturan Pertama, Ojo Dibandingke
Peraturan pertama yang harus diketahui orang tua dalam mendidik adalah “ojo dibandingke” (jangan dibandingkan). Pahami jika setiap anak itu berbeda, maka jangan pernah membandingkan atau menyamakan anak kita dengan anak lain. Karena hal seperti ini dapat membuat anak merasa kesal dan tidak bisa menjadi dirinya sendiri.
Secara psikologi, akan ada banyak dampak yang ditimbulkan apabila orang tua terlampau sering membanding-bandingkan anaknya. Mulai dari tekanan mental, perubahan sikap anak yang menjadi tidak percaya diri, hingga terbentuknya sikap anak yang temperamental karena menyimpan dendam pada orang tuanya namun tidak bisa dilampiaskan. Dan efek jangka panjangnya adalah terbentuknya inner child pada diri mereka ketika sudah mulai dewasa, yang akan berpengaruh dalam rumah tangga dan pola asuh generasi berikutnya seperti mata rantai yang sulit diputuskan.
Maka, hendaklah sebagai orang tua kita memahami bahwa tugas orang tua dalam mendidik anak adalah dengan mengarahkan dan mengasah kemampuan yang mereka miliki, bukan malah membebaninya dengan berbagai tuntunan yang belum tentu bisa kita lakukan sendiri. Karena bagaimanapun juga, anak adalah amanah yang harus dijaga. Bukan benda yang dapat ditempa sesuai kehendak kita.
Dalam salah satu kitab parenting yang dapat menjadi rujukan setiap orang tua, kitab Fiqh Tarbiyah Al Abna’ wa Thaifah min Nashaihi Al Athibbai (Bagaimana Nabi Mendidik Anak) karya Syekh Musthafa Al Adawi, bab pertama yang dibahas di dalamnya adalah tentang sebuah penegasan bahwa hidayah untuk anak mutlak dari Allah. Orang tua hanya menjadi sebab perantara diterimanya hidayah atas usaha didikan yang dilakukan. Karenanya orang tua tidak boleh terlalu percaya diri atas didikan yang diberikan, tapi juga tidak boleh lepas tangan atas tanggung jawab pendidikan terbaik yang menjadi kewajiban yang harus dijalankan.
Tidak hanya itu, sebagai orang tua kita juga harus mempelajari ilmu psikologi mengenai kemampuan dan kecerdasan anak yang berbeda-beda. Agar jangan sampai kita menjadi terlalu keras menuntut anak untuk menguasai seluruh bidang akademis, agar jangan sampai kita berkecil hati jika anak kita tidak pernah menjadi juara kelas. Karena saat kita paham jika kecerdasan anak itu beragam, maka kita tidak akan pernah lagi membandingkan, serta dapat memberikan dukungan penuh atas kemampuan dan hal-hal positif yang anak inginkan.
Peraturan Kedua, Ojo Dilalekke
Selain membanding-bandingkan anak, hal lain yang harus diperhatikan orang tua dalam mendidik anak adalah “ojo dilalekke” (jangan dilupakan). Maksudnya adalah, jangan melupakan apa saja hak dan kewajiban kita sebagai orang tua, serta apa saja hak dan kewajiban seorang anak.
Betapa banyak kasus tumbuh kembang anak terganggu karena kelalaian orang tua dalam memperhatikan apa saja hak dan kewajiban yang harus dilakukan, serta apa saja hak dan kewajiban yang harus anaknya jalankan. Terganggunya tumbuh kembang anak yang dimaksudkan di sini bukan hanya tumbuh kembang yang merujuk pada perkembangan fisiknya saja, namun juga mental dan emosional.
Betapa banyak anak zaman sekarang yang menjadi “liar” karena tidak mendapatkan cukup kasih sayang dan perhatian, meskipun berasal dari kalangan keluarga yang bagus secara finansial. Betapa banyak anak zaman sekarang yang menjadi sangat tertutup dan menarik diri dari lingkungan luar, karena sikap kepercayaan dirinya tidak dibentuk oleh keluarga. Betapa banyak anak zaman sekarang yang tumbuh temperamental karena kesalahan pola asuh yang didapatkan.
Ya, memang inilah fakta yang saat ini marak terjadi namun tidak mendapat perhatian lebih, sehingga sangat minim akan solusi. Karena tuntutan kebutuhan ekonomi yang kian hari kian tinggi, para orang tua hanya sibuk bekerja agar tercukupi kebutuhan sandang pangan keluarganya, hingga mengabaikan perkembangan anak-anaknya dan melupakan kewajibannya sebagai orang tua.
Belajar Mendidik Seperti Fatimah Binti Ubaidillah Azdiyah
Mengutip dari buku “Ibunda Para Ulama”, di dalamnya ada sebuah kalimat yang cukup menarik jika dipahami. Kurang lebih inti dari kalimatnya ialah, jangan hanya bercerita tentang kehebatan dan kecerdasan para ulama saja, namun pelajari jugalah bagaimana kisah ibunda mereka.
Siapa yang tidak mengenal Imam asy-Syafi’i, salah seorang imam mahzab yang tidak perlu diragukan lagi khazanah keilmuan dan kecerdasannya. Selama ini jika kita membaca kitab-kitab karangannya, sudah pasti sebagai orang tua akan berharap kelak anak-anak kita tumbuh hebat seperti para ulama. Selama ini mungkin, yang kita lakukan sebagai orang tua untuk mewujudkan harapan tersebut adalah dengan mengantarkan mereka ke pondok-pondok pesantren ternama agar mendapat pengajaran ilmu agama.
Dan mungkin, karena hanya terlampau fokus mencarikan tempat pendidikan terbaik untuk anak-anak, kita terluput dengan hal lain yang juga penting dalam proses pendidikan anak agar dapat tumbuh menjadi generasi terbaik layaknya para ulama.
Jika kita mau belajar dari keberhasilan pendidikan Imam asy-Syafi’i, tentu tidak akan terlepas dari perjuangan ibundanya yang berusaha seorang diri dalam membesarkan anaknya. Fatimah binti Ubaidillah Azdiyah adalah nama dari ibunda Imam asy-Syafi’I yang dapat kita teladani kisah perjuangannya sebagai orang tua.
Dalam mendidik anaknya, Fatimah amat sangat tegas tapi juga berhati-hati. Ia tidak hanya mengirimkan Imam asy-Syafi’i untuk belajar di tempat terbaik, namun juga menjaga makanannya agar jangan sampai apa yang dikonsumsi anaknya mengandung hal-hal haram maupun syubhat. Ia juga senantiasa mendoakan kebaikan untuk anaknya, bahkan rela tidak berjumpa dalam waktu lama kala anaknya harus pergi jauh untuk menuntut ilmu agama.
Fatimah tidak pernah lupa dengan semua kewajibannya tersebut. Meski dikenal cukup tegas perihal pendidikan dan adab putranya, tapi ia bukanlah sosok ibu yang keras. Fatimah tidak pernah melarang putranya mempelajari ilmu apa pun, ia membebaskan putraya untuk mempelajari setiap ilmu yang disuka dan ingin diketahuinya dengan batasan tetap memprioritaskan ilmu agama. Dan inilah yang seharusnya kita contoh dalam mendidik anak.
Konsep pendidikan seperti yang diterapkan Fatimah terhadap putranya, Imam asy-Syafi’i ini, dapat pula kita terapkan untuk mendidik anak-anak generasi sekarang.
Seperti yang sama-sama kita ketahui, anak zaman sekarang adalah tipikal anak yang lebih suka didengarkan dibanding mendengarkan. Mereka hanya mau mendengarkan apa yang menarik baginya. Karenanya, hendaklah kita berusaha menjadi orang tua bijaksana dengan senantiasa memperhatikan apa saja yang menjadi ketertarikan anak sehingga dapat mengarahkan mereka untuk memaksimalkan potensinya yang dimilikinya, dengan catatan tetap memprioritaskan didikan agama sebagai fondasinya.
Kita harus belajar menjadi orang tua cerdas yang tegas perihal adab dan fitrah, namun tetap lembut dengan tidak terlalu mengekang anak terhadap minat dan bakat mereka. Karena mendidik anak bukan perkara yang mudah, tentulah dibutuhkan peran maksimal antara orang tua dengan para pendidik agar anak mampu tumbuh menjadi generasi terbaik. Maka jangan dipasrahkan kepada salah satunya saja.
Dan teruntuk orang tua maupun para guru yang sedang mendidik, jangan pernah menyerah meski merasa lelah. Anak-anak yang sedang kita bentuk kepribadiaannya saat ini, yang sedang kita pahamkan mengenai berbagai wawasan, adalah anak-anak yang kelak menjadi penerus bangsa di masa depan. Siramilah mereka dengan berbagai ilmu pengetahuan, kuatkanlah akar pemahamannya dengan ajaran akidah Islam, agar kelak mereka mampu tumbuh harum dan memberikan kebermanfaatan. Wallahu’alam bishawab. []