"Keberadaan proyek KCJB nyatanya mubazir dan tidak mengadopsi kepentingan rakyat. Perencanaan yang tidak matang menjadikan proyek tersebut gagal dalam mewujudkan efisiensi. "
Oleh. Ragil Rahayu, S.E.
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) rencananya akan diperpanjang hingga Surabaya. Menurut Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi, dengan kereta cepat, rute Jakarta-Surabaya bisa ditempuh dalam waktu 4 jam saja. Dengan demikian, bisa bersaing dengan pesawat udara. Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan bahwa Kereta Cepat Jakarta-Surabaya akan mendukung efisiensi karena mobilisasi makin cepat ( kompas.com, 30/10/2022).
Selama ini, Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) melewati rute Halim, Karawang, Padalarang, dan Tegalluar dengan panjang rute 142,3 km. Sedangkan pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Surabaya rencananya akan melalui rute Jakarta, Karawang, Bandung, Kertajati, Purwokerto, Yogyakarta, Solo, Madiun, dan Surabaya. Adapun panjang rute mencapai 800 km. Nah, akankah proyek Kereta Cepat Jakarta-Surabaya ini membawa maslahat bagi rakyat? Atau, jangan-jangan justru mencekik rakyat?
Membebani Negara
Proyek ambisius KCJB yang sudah berjalan telah banyak menorehkan masalah. Proyek ini ditargetkan selesai pada 2019, tetapi molor hingga diprediksi baru akan selesai tahun 2023.
Selain itu, pemerintah juga ingkar janji terkait tidak akan menggunakan dana APBN untuk proyek ini. Nyatanya, proyek ini merogoh kocek APBN sebesar Rp4,3 triliun dan dimungkinkan untuk dikucurkan lagi. Penyebabnya adalah adanya pembengkakan biaya yang tidak ditanggung oleh China Development Bank.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) memperkirakan pembengkakan biaya KCJB mencapai 1,4 miliar dolar AS yang setara Rp21,8 triliun ( Cnbcindonesia, 1/11/2022). Dengan demikian, proyek ini akan makin membebani negara karena merogoh APBN lebih dalam lagi untuk mendanainya.
Padahal saat ini kondisi ekonomi sedang berat, bahkan tahun depan diprediksi ekonomi akan makin suram dan bahkan gelap. Walhasil, beban rakyat akan makin berat. Seharusnya negara memfokuskan anggaran untuk kesejahteraan rakyat, bukan justru mendanai proyek prestisius yang kurang urgen.
Keberadaan proyek KCJB nyatanya mubazir dan tidak mengadopsi kepentingan rakyat. Perencanaan yang tidak matang menjadikan proyek tersebut gagal dalam mewujudkan efisiensi. Keberadaan stasiun yang terletak di luar kota Bandung menjadikan penumpang harus mengalokasikan dana dan waktu lebih untuk menuju pusat kota. Padahal biaya tiket KCJB sudah dibanderol tinggi, yaitu antara Rp150 ribu hingga Rp350 ribu. Dana yang dikeluarkan untuk proyek ini juga sangat besar sehingga banyak ekonom memprediksi proyek tersebut akan terus rugi dan tidak balik modal.
Namun, proyek ini terus berjalan, meski banyak kritik dari berbagai pihak. Kepalang basah, dana yang masuk sudah besar, maka proyek tidak bisa dihentikan, meski menanggung berbagai masalah. Diduga para kapitalislah yang berkepentingan dengan proyek ini sehingga ngotot untuk dikerjakan meski diprediksi merugi. Lantas, jika pendapatan tiket KCJB tidak sebanding dengan biaya proyek, siapa yang akan menanggung kerugiannya? Tentu saja rakyat, melalui APBN.
Bukan itu saja, pendanaan proyek KCJB adalah dengan mekanisme utang dengan bunga sebesar 2%. Tentu saja hal ini akan menjadi beban baru lagi bagi negara, meski melalui PT. Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC).
Sebaliknya, hal ini sangat menguntungkan Cina, karena mendapatkan pendapatan bunga. Selain itu, Cina juga diuntungkan dengan penggunaan tenaga kerja dan produk Cina dalam proyek ini. Lebih dari 2.000 tenaga kerja Cina diperkerjakan dalam proyek KCJB, bukan hanya tenaga ahli, terapi juga tenaga kasar. Walhasil, proyek ini hanya menguntungkan Cina dan para kapitalis yang terlibat. Sedangkan negara harus menanggung beban pembayaran utang berikut bunganya selama puluhan tahun.
Lantas, dengan rekam jejak proyek KCJB yang demikian ‘berdarah-darah’, bukankah hal tersebut kemungkinan besar akan terulang pada proyek Kereta Cepat Jakarta-Surabaya? Mengingat investor dan pelaksana proyeknya sama.
Lagi pula, urgensi proyek ini dipertanyakan karena sudah ada proyek kereta semi cepat yang merupakan kerja sama pemerintah dengan Jepang. Kereta semi cepat ini rutenya di utara, sedangkan kereta cepat rencananya di selatan. Kereta semi cepat sedang dalam tahapan uji kelayakan tahun ini. Lantas, ketika sudah ada proyek kereta semi cepat, mengapa masih mengadakan proyek kereta cepat? Tampak bahwa proyek kereta cepat ini mubazir dan bukan untuk kepentingan rakyat.
Bancakan para Kapitalis
Jika bukan untuk kemaslahatan rakyat, lalu proyek kereta cepat ini untuk kepentingan siapa? Kita bisa lihat bahwa Proyek Kereta Cepat Jakarta-Surabaya memiliki rute yang lebih panjang daripada KCJB sehingga dana yang dibutuhkan jelas lebih besar beberapa kali lipat. Pemerintah sudah memberi sinyal bahwa akan meneruskan kerja sama dengan Cina sebagaimana dalam proyek KCJB. Pelaksana proyek juga pihak itu-itu lagi.
Tampak bahwa merekalah pihak yang mendulang keuntungan dari proyek ini, yaitu para kapitalis, baik lokal maupun asing, serta pejabat yang mereka gandeng. Inilah wujud nyata korporatokrasi, yaitu berkelindannya korporasi dan birokrat dalam proyek negara demi ambisi keuntungan pribadi. Walhasil, proyek yang dibiayai negara menjadi bancakan para kapitalis tersebut.
Selanjutnya, rakyat hanya bisa gigit jari. Di satu sisi, rakyat harus menanggung beban utang berikut bunganya. Di sisi lain, tiket yang mahal menjadikan hanya kalangan terbatas yang menikmati infrastruktur mewah ini.
Inilah pahitnya pembangunan infrastruktur dalam sistem kapitalisme. Pembangunan infrastruktur tidak ditujukan untuk pelayanan publik bagi rakyat, tetapi untuk kepentingan bisnis para kapitalis dan oknum pejabat yang terlibat. Hal ini nyata terjadi di alam kapitalisme karena filosofi penguasa dalam kapitalisme adalah untuk merealisasikan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Akibatnya, kepentingan rakyat diabaikan, yang penting dia dan kelompoknya mendapatkan cuan besar.
Infrastruktur dalam Sistem Islam
Hal ini berbeda 180° dengan filosofi penguasa dalam sistem Islam. Allah Swt. menegaskan bahwa pemimpin adalah penanggung jawab, artinya dia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hadapan Rabbnya pada pengadilan hari akhir kelak.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Dari Ibnu Umar r.a., sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, ”Kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban. Penguasa adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya." (HR Muslim)
Dengan demikian, penguasa dalam Islam akan merancang pembangunan infrastruktur demi kemaslahatan rakyat, bukan demi kepentingan pribadi. Keberadaan infrastruktur adalah sebagai pelayanan negara bagi rakyat, bukan untuk bisnis. Karena orientasinya untuk pelayanan publik, pembangunan infrastruktur tidak memperhitungkan untung rugi layaknya pebisnis. Yang penting, hajat rakyat bisa terlayani dengan baik.
Demikianlah ketulusan pembangunan infrastruktur dalam sistem Islam. Hasilnya adalah kesejahteraan yang luar biasa karena penguasa tidak ’hitung-hitungan’ pada rakyatnya. Sebagai contoh, Khalifah Umar bin Khaththab membangun jalur Mesir-Madinah untuk memperlancar distribusi barang kebutuhan rakyat. Hasilnya, harga bahan pangan di Madinah bisa sama dengan di Mesir. Walhasil biaya distribusi bisa menjadi sangat minimal.
Demikianlah seharusnya pemimpin yang adil ketika membangun infrastruktur, termasuk sarana transportasi. Kemaslahatan rakyat menjadi acuannya sehingga tidak ada upaya untuk mengapitalisasi infrastruktur sehingga rakyat kesulitan mengaksesnya.
Bandingkan dengan sistem Islam. Di dalam Khilafah, rakyat bisa menikmati infrastruktur secara murah atau bahkan gratis. Sebagai contoh adalah proyek kereta api Hijaz yang dilakukan oleh Khalifah Abdul Hamid II yang menghubungkan Istanbul, Madinah, Makkah, dan Yaman. Proyek ini sangat jelas urgensinya yaitu menyatukan negeri-negeri muslim dan memudahkan perjalanan jemaah haji, sekaligus menjamin keamanan mereka.
Saat itu, negara dengan bantuan wakaf dari umat Islam yang kaya berhasil membangun secara mandiri proyek yang dianggap mustahil oleh Eropa ini. Ribuan pekerja lokal dikerahkan dalam proyek ini sehingga menyerap tenaga kerja secara efektif. Anggaran proyek juga sangat efektif sehingga realisasinya bisa lebih murah dari perkiraan, alih-alih membengkak.
Hasilnya, jalur kereta Hijaz itu tegak berdiri pada tahun 1.900 dan melayani rakyat yang bepergian antarwilayah Islam, termasuk untuk berhaji. Bangunannya masih bisa kita saksikan hari ini.
Demikianlah proyek infrastruktur yang ditujukan untuk kemaslahatan rakyat, bangunannya berkah dan bermanfaat untuk rakyat. Bukan proyek prestisius nan mewah yang tidak terjangkau oleh rakyat jelata. Wallahualam.[]