Mahkota Bercahaya Tanpa Kepala

"Satu per satu kawannya disebut namanya lengkap dengan nama kedua orang tua. Kemudian orang tua mereka maju ke atas panggung untuk memberikan penghargaan langsung kepada anak tercinta. Syaufa mengedarkan pandangan, ia tak menemukan sosok yang dicari. Ibunya sungguh tidak datang."

Oleh. Oktafia Ningsih
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Rintik hujan turun ke bumi Cirebon bersamaan dengan tetesan netra yang mengembun, gadis remaja tengah terduduk di tempat berteduh dekat dengan kebun teh milik Pak Kades. Air mata yang merembes semakin bercucuran, luka hatinya tak dapat lagi ia tutupi, berusaha tersenyum pun serasa tak mampu.

Gadis remaja itu bernama Syaufatul Ula, putri sulung dari Mariati—seorang janda yang kesehariannya bekerja di perkebunan teh milik Pak Kades. Setiap hari Syaufa selalu berhasil menyembunyikan kesedihannya, gadis itu begitu ramah. Senyuman selalu terpancar di wajah imutnya. Namun, kali ini luka itu semakin menganga, ia tak dapat lagi menahan air matanya. Gadis itu jarang sekali menangis, jika air matanya telah keluar itu pertanda bahwa hatinya telah lelah.

“Assalamualaikum.” Ustazah Hana menghampiri Syaufa. Ia tak tega melihat gadis remaja itu terpuruk sendirian.

“Wa’alaikumussalam, Ustazah?” sontak saja kedatangan Ustazah Hana membuat Syaufa tersentak kaget. Ia buru-buru menghapus air matanya lalu membenarkan posisi duduknya.

“Kamu kenapa di sini? Hujan lebat seperti ini, bahaya jika berada di perkebunan seorang diri, nanti kalau ada petir gimana?” tanya Ustazah Hana dengan lembut sembari membelai kerudung Syaufa.

“Nggak papa, Ustazah. Maaf, Syaufa hanya ingin menenangkan diri di sini, setelah tenang, Syaufa akan pulang ke rumah,” jawab Syaufa dengan wajah ditekuk.

Ustazah Hana mengangkat dagu Syaufa dengan lembut, agar gadis itu mau menatapnya. “Ustazah mengerti apa yang kamu rasakan, sekarang jangan sembunyikan lagi bebanmu ya, Nak. Sini, cerita sama Ustazah, kamu kenapa? Apa ibumu marah lagi?”

Ustazah Hana yang selama ini menjadi pendengar terbaik Syaufa. Syaufa hanya mengangguk, ia tak bisa berkata apa-apa, bibirnya terasa kelu, jika itu menyangkut ibunya.

“Astaghfirullah, baiklah, sekarang Ustazah antar kamu pulang ya, nanti biar Ustazah yang ngomong sama ibu kamu, yuk, Nak!” Ustazah Hana merangkul Syaufa. Kemudian menggandengnya pulang ke rumah.

Sesampai di depan rumah, Syaufa ragu untuk melangkahkan kaki memasuki rumah yang memang tampak sepi, tapi bisa dipastikan ibunya ada di dalam. Ustazah Hana yang memahami hal itu, langsung menggenggam tangan Syaufa.

Sejurus kemudian Mariati keluar. Ia kaget lalu menghela napas panjang. “Kenapa anak saya bisa bersama Ustazah?”

“Begini, Bu … bisa saya jelaskan, tapi alangkah lebih baik jika kita bicarakan hal ini di dalam, agar tidak terdengar tetangga,” ucap Ustazah Hana dengan santun.

“Baiklah, silakan masuk, tapi saya nggak bisa memberikan suguhan, maklum bukan orang kaya,” cetus Mariati sembari membuang muka.

Syaufa menggenggam erat tangan ustazahnya, ketakutan mulai merajai. Ia takut dihukum lebih berat lagi, tapi ia juga tak dapat menghentikan Ustazah Hana yang ingin berbicara dengan ibunya. Ustazah Hana duduk di samping Syaufa, ia tidak bisa membiarkan gadis itu terus tersiksa batin juga fisiknya.

“Begini, Bu. Sebelumnya saya minta maaf, jika ikut campur. Tadi saya bertemu Syaufa berteduh di dekat perkebunan teh, saya menghampirinya karena khawatir, dan saya menemukan Syaufa sedang menangis sendirian, untuk itu saya ingin berbicara banyak hal dengan Ibu,” ujar Ustazah Hana dengan santun.

“Buruan, mau ngomong apa? Jangan banyak basa-basi, saya tidak suka,” geram Mariati. Ia menganggap Ustazah Hana terlalu bertele-tele, bukan langsung bicara ke pokok masalahnya.

“Saya berharap, Ibu tidak lagi menyiksa batin sekaligus fisik Syaufa, jika Ibu memang menyayanginya,” tutur Ustazah Hana tetap dengan kelembutan.

Mendengar hal itu, Mariati langsung berkacak pinggang. Ia tidak terima dengan ucapan Ustazah Hana yang seakan menuduhnya tidak sayang anak. Padahal memang begitu adanya.

“Anda jangan ikut campur masalah keluarga saya! Terserah saya dalam mendidik anak-anak saya, itu bukan urusan Anda, Ustazah. Mending kalau mau ceramah di majelis saja, jangan di sini! Saya rasa, didikan saya terhadap anak saya sudah tepat,” cecar Mariati berperilaku tidak sopan.

Ustazah Hana mengelus dada. “Astaghfirullah hal adzim.”

“Ya sudah, jika Ibu tidak menerima nasihat saya. Jika begitu adanya, saya meminta izin agar Ibu membolehkan Syaufa tinggal di pesantren, dia ini anak yang cerdas dan cepat sekali dalam menghafal Al-Qur’an,” sahut Ustazah Hana memberi solusi.

“Tidak, Syaufa tidak akan masuk pesantren, dia sekolah di SMP saja, karena harus bantu saya kerja, buat biaya sekolah adik-adiknya. Syaufa memang saya didik keras, karena saya nggak mau dia terlalu lugu dan bernasib sama seperti saya,” ujar Mariati menjelaskan alasannya.

“Tapi, Bu … Syaufa belum sepantasnya sekolah sambil bekerja, bukankah bekerja di perkebunan Pak Kades sudah cukup memenuhi kebutuhan keluarga? Terlebih Syaufa selama ini kan mendapatkan beasiswa, adik-adiknya pun sama.”

“Menurut Ustazah cukup? Tapi masa hidup begini terus, nggak ada kemajuan? Lihat, itu anak Darmini, dia juga sekolah sambil kerja jadi penyanyi, duitnya banyak, itu baru anak yang bener, nggak nyusahin orang tua.”

“Bu, uang itu hanya menimbulkan kesenangan sementara, sedangkan menghafal Al-Qur’an kesenangannya bisa berlipat ganda, tentu Ibu juga pasti senang di akhirat kelak, Syaufa akan memberikan mahkota bercahaya untuk Ibu,” tutur Ustazah Hana tetap berusaha sabar menghadapi sikap Mariati.

“Saya nggak butuh mahkota, yang saya butuhkan itu uang, ngerti!” bentak Mariati.

“Sayang sekali, jika Ibu berpikir seperti itu,” sahut Ustazah Hana.

“Mohon maaf nih, jangan ajak-ajak Syaufa lagi buat masuk pesantren, dia tetap sekolah sambil bekerja bantuin saya di perkebunan, belajar agama doang tidak bikin perut kenyang.”

Kalimat itu jadi pukulan terakhir bagi Ustazah Hana. Seperti pintu yang telah tertutup rapat. Ustazah Hana hanya bisa menyaksikan kepedihan teramat dalam di sudut mata Syaufa.


Pada malam hari setelah kejadian tadi siang, Syaufa mengamuk. Gadis itu melempar semua benda di depannya. Jam dinding pecah, buku berserakan, alat tulis entah jatuh ke mana. Kamarnya begitu berantakan. Syaufa sudah terlalu banyak menelan sakit hati dan kekecewaan.

“Syaufa! Apa-apaan ini, kamar anak gadis kok berantakan begini? Apa sih mau kamu? Heran Ibu,” bentak Mariati yang melihat kamar Syaufa bak kapal pecah.

“Pokoknya Syaufa pengen tinggal di pesantren, Syaufa ingin jadi Hafizah, Bu. Mau pakein mahkota. Jangan halangi impian Syaufa,” ujar gadis remaja itu. Saat ini ia lebih kuat, tak lagi menangis.

“Mahkota? Apaan sih? Yang pake mahkota itu raja dan ratu kerjaan. Nggak usah sok-sokan deh. Kamu mau nantinya hidup susah kayak Ibu? Kamu harus jadi wanita karier, jangan seperti Ibu, jika kamu sukses, laki-laki tidak akan meninggalkan kamu begitu saja! Kamu memang belum paham sekarang, tapi nanti, kamu bisa buktikan sendiri omongan Ibu ini!”

Hening sejenak.

“Sini kamu!” Mariati menyuruh Syaufa mendekat.

Syaufa pun mendekat, ia tidak berpikir buruk sedikit pun terhadap ibunya. Namun, apa yang dilakukan Mariati, ia menyiksa Syaufa menggunakan ikat pinggang.

“Ampun, Bu … maafkan aku. Aww! sakit ….”

“Beginilah cara mendidik kamu yang benar, kalau nggak diginiin kamu nggak akan nurut sama Ibu, bantah terus!” bentak Mariati sembari tangannya tak hentinya mencambuk Syaufa.

Air mata kembali merembes di pelupuk mata Syaufa, gadis remaja itu menahan perih tubuhnya, tapi kepedihan hati jauh lebih terasa perih dibandingkan sakitnya tubuh karena cambukan.

Setelah puas menyiksa anak sulungnya, Mariati keluar dari kamar Syaufa. Ia hendak mengambil minum. Lelah rupanya mencambuk anaknya sendiri berkali-kali hingga dua puluh cambukan.

Bagaimana kondisi Syaufa? Tentu gadis remaja itu lemas tak berdaya, bahkan untuk bangun pun sulit, punggungnya sangat sakit. Memar-memar di sekujur tubuhnya membuatnya tidak kuat berdiri. Namun, ia paksakan, alhasil ia kembali terjatuh.

“Ya Allah … kuatkan aku,” lirih Syaufa menahan sakit.


Keesokan harinya Syaufa dibangunkan secara paksa, karena hari ini ia libur sekolah, ia mesti kerja di perkebunan Pak Kades.

“Syaufa! Bangun! Molor aja! Ini udah jam berapa! Ayo kerja!”

Suara Mariati yang memekikkan telinga, membuat Syaufa mengerjap. Sebetulnya Subuh tadi ia sudah bangun, tapi setelah salat ia tidur lagi karena merasa demam.

“Syaufa demam, Bu, hari ini boleh tidak Syaufa di rumah saja,” ucap Syaufa masih dengan keadaan berbaring. Tubuhnya terlihat sangat lemah.

“Alasan aja! Sekolah libur, kesempatan buat kamu bantuin Ibu cari duit! Ibu nggak nerima alasan apa pun, cepat mandi dan sarapan, Ibu tunggu di teras! Awas, jika balik tidur lagi! Ibu hajar lagi kamu!” ancaman adalah senjata paling ampuh bagi Mariati.

“Baiklah,” pungkas Syaufa lalu bangun dan beranjak ke kamar mandi dengan berjalan perlahan.

Meski kondisinya lemah, tetap ia paksakan untuk berkerja sesuai perintah ibunya. Begitulah Syaufa, ketika ancaman itu dilayangkan, ia tak dapat menolak, terlebih sekujur tubuhnya terasa remuk oleh cambukan semalam, ia tak ingin menambah rasa sakit di tubuhnya.

Melihat Syaufa telah keluar dari kamar, “Nah, gitu, semangat kerja!” kata sang ibu.


Waktu istirahat kerja, Syaufa sedang muroja'ah sambil memejamkan matanya, terus melantukan surat Ar-Rahman. Memasukkan ayat demi ayat ke kepalanya, lalu membiarkan ayat-ayat itu meresap dalam hati. Syaufa sangat sakit hati, tapi ia mengingat ucapan Ustazah Hana saat ia baru pertama kalinya dibimbing hafalan Al-Qur’an. “Syaufa, Allah sudah ngasih kelebihan kecerdasan bagi kamu, yang semangat menghafalnya, Ustazah yakin kamu bisa jadi Hafizah seperti yang kamu inginkan.” Lalu usapan lembut di kepalanya, membuat Syaufa merasa sangat bahagia dan bersemangat menghafal Al-Qur’an.

Ustazah Hana kembali menghampiri Syaufa, ia melihat gadis remaja itu pucat sekali, belum sempat bertanya, tiba-tiba Syaufa berhambur di pelukannya, Syaufa pingsan karena memaksakan diri bekerja.

“Ya Allah … Syaufa, kamu kenapa Nak? Kok bisa pingsan seperti ini?” Ustazah Hana panik lalu memanggil orang-orang di perkebunan yang baru saja menghabiskan makanannya.

Ustazah Hana menyuruh bapak-bapak membawa Syaufa ke dalam mobilnya. Kemudian Ustazah Hana membawa Syaufa ke pondok pesantren. Semenjak saat itu, Syaufa tidak kembali ke rumah ibunya, bahkan ibunya juga tidak berusaha mencari, Syaufa fokus pada hafalan Al-Qur’annya. Ia semakin semangat, karena dibimbing dan didukung penuh oleh Ustazah Hana. Di pondok pesantren, ia merasa disayangi, Ustazah Hana juga telah menganggapnya anak sendiri.


Di hari yang cerah itu, perhelatan wisuda tahfiz, pada anak-anak hafiz Qur’an pun digelar. Ruangan ber-AC dengan dekorasi indah memanjakan mata. Seluruh anak-anak ceria pada hari itu, bersenda gurau dengan orang tuanya masing-masing.

Namun, tidak dengan Syaufa, ia sangat rindu dengan ibunya. Namun, sepertinya rindu itu tak terbalaskan dengan kerinduan yang sama. Ibunya tidak datang. Padahal surat undangan kehadiran telah diserahkan kepada Mariati.

“Kepada Ananda kelas sembilan wisudawati tahfiz Al-Qur’an Raudhotul Huffadz dipersilakan maju ke depan.”

Pembawa acara pun mempersilakan anak-anak untuk naik ke atas panggung. Barisan yang rapi dengan pakaian gamis berwarna peach pun melangkah bersamaan. Mereka sangat cantik memesona, dengan binar senyuman yang memancarkan ketenangan. Salah satunya adalah Syaufa yang sedang meremas tangannya yang dingin. Ia begitu gugup, karena sebentar lagi waktu yang selama ini ia nantikan pun tiba.

Perjuangan muroja'ah juga tasmi' Qur’an masih membekas dalam benaknya. Dalam waktu yang sangat panjang, ia mampu melalui proses tasmi' yang tentu sangat melelahkan. Syaufa berusaha menenangkan diri, mengembuskan napasnya perlahan untuk mencairkan kegugupan yang melanda.

Satu per satu kawannya disebut namanya lengkap dengan nama kedua orang tua. Kemudian orang tua mereka maju ke atas panggung untuk memberikan penghargaan langsung kepada anak tercinta. Syaufa mengedarkan pandangan, ia tak menemukan sosok yang dicari. Ibunya sungguh tidak datang.

Sebuah bait puisi terdengar mengalun syahdu.

“Wahai, Ayah dan Ibu. Aku persembahkan mahkota terbaik ini untukmu, terima kasih banyak sudah membimbing dan menuntunku pada jalan yang amat indah ini.”

Semua kawan-kawan Syaufa menangis sambil memeluk orang tuanya. Suasana haru itu pecah, bercampur dengan rasa bangga, syukur juga sedih dalam satu waktu.

Syaufa berpikir akan sangat bahagia apabila ibunya ikut hadir menyaksikan keberhasilannya. Syaufa pun mematung di panggung, air matanya terjatuh. Kemudian ia segera mengusapnya. Pasrah saat para ustazah mempersiapkannya sebagai acara puncak. Karena hanya Syaufalah yang berhasil menghafal 30 juz dengan predikat Jayid Jiddan di pondok pesantren itu.

“Dan yang terakhir saya perkenalkan kepada Ibu dan Bapak, siswi berprestasi di pondok pesantren ini, dia adalah Syaufatul Ula.”

Syaufa maju ke tengah panggung. Tersenyum sejenak lalu tertunduk. Dari kejauhan tampak Ustazah Hana begitu panik, mencari sosok yang seharusnya ada di sisi Syaufa. Sementara Syaufa yang memegang mahkota di tangannya mulai gemetar.

“Kepada Ibu Mariati, kami persilahkan untuk naik ke atas panggung.”

Hening. Tak ada yang maju ke depan hingga seluruh orang yang berada di ruangan saling bertukar pandang. Syaufa sudah berusaha dengan sekuat tenaga menahan tangisnya. Namun, karena ia yakin ibunya tidak akan datang, pertahanan Syaufa akhirnya runtuh juga. Ia menutup mukanya dengan mahkota yang sedang ia genggam, lalu menangis tersedu-sedu meluapkan sesak di dada.

Semua orang tua murid yang hadir pun ikut menangis. Mereka tahu itu sangat menyakitkan, walau tidak tahu bagaimana cerita di balik tangis Syaufa yang amat memilukan. Kemudian Ustazah Hana mendekati Syaufa, lalu memeluknya.

“Aku ibumu, aku juga ibumu, Nak. Anggaplah aku ibumu,” ucap Ustazah Hana. Tangis semakin pecah.

Mahkota yang dijanjikan oleh Allah selamanya akan tetap berkilau indah. Namun, akan sangat menyakitkan, bila berakhir menjadi mahkota bercahaya tanpa kepala. End.[]


Photo : Pinterest

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Oktafia Ningsih Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Surga untukmu, Wahai Muslimah!
Next
Demokrasi Memasung Kebebasan Berbicara, Islam Punya Solusi!
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Heni
Heni
1 year ago

Masyaa Allah sangat menyentuh. Wahai Ayah Bunda, beruntunglah kita jika kita memiliki anak-anak yang sholih. Yang akan memberi manfaat tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat dengan manfaat yang luar biasa, sangat dibutuhkan oleh orang tua. Jagalah anak-anak kita dengan sebaik-baiknya, kelak merekalah yang akan menjaga kita. Aamiin Ya Allah.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram