"Al-Makmun berhasil mengantarkan peradaban Islam hingga mencapai puncak kejayaannya. Tradisi intelektual yang dibangun dan dikembangkan sedemikian rupa, telah melahirkan penemuan-penemuan penting dalam sejarah yang menjadi asas peradaban modern yang bisa dinikmati oleh generasi ke generasi hingga saat ini. "
Oleh. Najwa Tsaqeefa R.
(Kontributor NarasiPost dan Pelajar Cinta Islam)
NarasiPost.Com-Nama lengkapnya adalah Abdullah Al-Makmun bin Harun Ar-Rasyid bin Muhammad Al-Mahdi bin Abu Ja'far Al-Manshur. Sedang ibunya adalah seorang Ummu Walad bernama Murajil. Ia lahir pertengahan bulan Rabiul Awal tahun 107 H, tepatnya pada hari pengangkatan ayahnya sebagai Khalifah. Ia adalah Khalifah ke tujuh Bani Abbasiyah di Irak dan merupakan salah satu pemimpin yang tersohor dalam sejarah.
Ketika ayahnya wafat, saudaranya Al-Amin naik menggantikan sebagai Khalifah, namun sayangnya ia tidak memenuhi hak Al-Makmun sebagai penerus kekhilafahan sebagaimana wasiat ayahnya, melainkan ingin mengangkat putranya, Musa, sebagai putra mahkota, maka Abdullah Al-Makmun menolak kebijakan tersebut. Dampak dari penolakan itu adalah terjadinya perselisihan dan konflik sengit yang memilukan antara kedua belah pihak. Perselisihan ini berakhir dengan pemberhentian Muhammad Al-Amin dan pembunuhannya tanggal 25 Muharram tahun 198 Hijriah bertepatan dengan 5 September tahun 813 Masehi.
Periode pertikaian antara kedua putra Harun Ar-Rasyid di masa Dinasti Abbasiyah, yaitu antara Al-Amin dan Al-Makmun ini bahkan disebut-sebut sebagai fitnah keempat bagi kaum muslimin. Peperangan ini berlangsung dua tahun lamanya pada tahun 811-813 Masehi.
Imam Suyuthi menulis dalam kitab Tarikh al-Khulafa bab 1/219, serta Imam Thabari mengabarkan hal yang sama dalam kitab Tarikh al-Thabari 8/374, bahwa merupakan salah satu sebab peperangan ini adalah pengaruh Perdana Menteri Al-Fadhl bin Ar-Rabi’, yang takut akan kehilangan kedudukannya jika Al-Makmun kelak naik tahta menggantikan Al-Amin. Maka sang perdana menteri memprovokasi Khalifah Al-Amin untuk mengangkat Musa, anaknya sendiri, dan menggeser Al-Makmun dari jalur suksesi.
Ketika akhirnya matahari Abul Abbas Abdullah Al-Makmun terbit di Baghdad yang merupakan ibukota kekhalifahan Islam dan kediaman nenek moyangnya, sejak saat itu dimulailah pemerintahannya yang sesungguhnya dan tampaklah keistimewaan-keistimewaan etikanya yang terhormat. Abdullah Al-Makmun menerapkan kebijakan yang ramah dan lembut, yang tidak dihinggapi kelemahan dan tidak diikuti dengan kekejaman, hingga Baghdad dikatakan telah bersiap-siap menggapai kemajuannya kembali yang pernah diraihnya pada masa pemerintahan ayahnya. Gerakan ilmiah pun semakin besar pada masanya karena kecenderungan Abdullah Al-Makmun yang luar biasa pada gerakan tersebut.
Perdana menteri Abdullah Al-Makmun yang pertama adalah Al-Fadhl bin Sahl, yang berasal dari Persia yang kemudian masuk Islam di hadapan Al-Makmun pada tahun 190 H, dan dikatakan pula bahwa ayah Sahl masuk Islam di hadapan Al-Mahdi. Al-Fadhl bin Sahl merupakan orang yang suka memperhatikan dunia astronomi. Di samping itu, Al-Fadhl bin Sahl juga pandai menulis dan berbicara, murah hati dan dermawan hingga banyak penyair yang memujinya pada masanya.
Setelah Al-Fadhl bin Sahl wafat, Ahmad bin Abi Khalid yang berasal dari Syam diangkat untuk menggantikannya sebagai perdana menteri. Ahmad bin Abi khalid merupakan perdana menteri terbaik yang senang jika hati dan jiwa rakyatnya loyal kepada pemimpinnya, ia senantiasa berkonsultasi untuk mempermudah urusan rakyatnya dan menghapuskan dendam dari hati orang-orang yang mendengki. Ahmad bin Abi Khalid meninggal dunia pada bulan Dzulhijjah tahun 211 H.
Masa pemerintahan Al-Makmun merupakan puncak kejayaan ilmu pengetahuan dalam periode kekuasaan Daulah Abbasiyah. Pakar sejarah bernama Ibnu Dihyah menyebutnya sebagai seorang pemimpin yang berpengetahuan luas, pakar hadis, ahli gramatikal arab dan tata bahasanya. Abdullah al-Makmun memulai pembangunan yang telah diinisiasi oleh kakeknya al-Manshur dengan menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat, hingga terbentuklah pemerintahan yang bijak pada masanya. Ia juga mendekati para Fukaha, pakar hadis, ilmu kalam, pakar bahasa, sejarah, dan pengetahuan tentang syair dan nasab-nasab bangsa Arab.
Khalifah Al-Makmun memerintah lebih dari dua puluh tahun, sebagaimana yang pernah diwujudkan oleh ayahnya, Harun Ar-Rasyid, Al-Makmun berhasil mengantarkan peradaban Islam hingga mencapai puncak kejayaannya. Tradisi intelektual yang dibangun dan dikembangkan sedemikian rupa, telah melahirkan penemuan-penemuan penting dalam sejarah yang menjadi asas peradaban modern yang bisa dinikmati oleh generasi ke generasi hingga saat ini.
Demi mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan masa itu, Al-Makmun pun melakukan perluasan Baitul Hikmah atau Darul Hikmah yang didirikan oleh ayahnya, Harun Ar-Rasyid, dan menjadikannya sebagai Akademi Ilmu Pengetahuan pertama di dunia. Baitul Hikmah diperluas dan dikembangkan hingga menjadi lembaga perguruan tinggi, perpustakaan, serta tempat penelitian. Lembaga ini memiliki koleksi hingga ribuan buku ilmu pengetahuan.
Selain itu, lembaga yang juga didirikan pada masa Al-Makmun adalah Majalis Al-Munazharah, yaitu lembaga pengkajian agama yang diadakan di rumah-rumah, masjid-masjid, dan istana Khalifah. Lembaga-lembaga ini menjadi simbol kebangkitan dunia Timur, dan menjadikan Baghdad sebagai pusat kebudayaan ilmu pengetahuan dan mercusuar kegemilangan Islam. Al-Makmun tak mengenal lelah dalam menginginkan pengembangan ilmu pengetahuan. Ia menunjukkan kemauan yang tinggi bagi ilmu pengetahuan hingga filsafat Yunani. Ia pun menyediakan dana yang besar juga dukungan yang kuat demi mencapai kemajuan besar di bidang ini. Ia begitu mendukung proyek penerjemahan karya-karya manuskrip kuno dari Yunani dan Syria, seperti ilmu kedokteran, matematika, astronomi, hingga filsafat alam secara umum ke dalam Bahasa Arab.
Para ahli penerjemah yang bertugas, mendapat imbalan yang pantas. Mereka antara lain adalah Yahya bin Abi Manshur, Qusta bin Luqa, Sabian bin Tsabit bin Qura, dan Hunain bin Ishaq yang digelari Abu Zaid Al-Ibadi, seorang ilmuwan Nasrani yang mendapat tugas dari Al-Makmun untuk menerjemahkan buku-buku Plato dan Aristoteles. Begitu antusiasnya Al-Makmun hingga ia juga mengirim utusan kepada Raja Roma kala itu, yaitu Leo Armenia, untuk mendapatkan karya-karya ilmiah Yunani Kuno untuk diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab. Sehingga pada masa Al-Makmun, banyak muncul para pakar di bidangnya, selain para pakar ilmu pengetahuan dan politik, juga muncul sarjana hebat hingga ahli filsuf pertama dari kalangan Islam, salah satunya adalah Abu Yusuf Ya'qub bin Ishaq Al-Kindi, atau lebih dikenal dengan Al-Kindi.
Khalifah Al-Makmun telah menjadikan Baghdad sebagai kota metropolitan dunia Islam sekaligus pusat ilmu pengetahuan, kebudayaan, pusat peradaban Islam, serta pusat perdagangan terbesar di dunia selama beberapa abad lamanya.
Sayangnya, Abdullah Al-Makmun melibatkan diri dalam pemikiran-pemikiran liberal dan mengembangkannya di tengah masyarakat, sehingga ia dikenal sebagai salah satu tokoh Muktazilah yang menyerukan bahwa Al-Qur'an itu makhluk, hingga menjadikan paham ini menjadi prinsip bagi pemerintah. Bagi yang tidak menyetujuinya dan tetap istikamah, maka akan dihukum dan dipenjara, akibatnya banyak ulama lurus yang harus menjadi korban pada masa pemerintahannya, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Sajjadat, Al-Qawariri, dan Muhammad Nuh. Di antara perkataannya yang terkenal adalah "Jika orang-orang itu mengetahui kegemaranku untuk memaafkan kesalahan orang lain maka niscaya orang-orang itu akan mendekatiku dengan kejahatan-kejahatannya"
Sang Khalifah Sains terus memerintah hingga pada akhir Rajab tahun 218 H, ketika Abdullah Al-Makmun tengah berada di Romawi, di akhir peperangannya di Abanndon, Tharasus, Sang Khalifah terserang demam yang dikabarkan begitu cepat menjangkiti. Hingga akhirnya ajal pun menjemputnya. Dan ia dimakamkan di Tharasus pada usia 48 tahun.
Wallahu a'lam[]