”Pemerintahan yang otoriter seperti ini mungkin akan terlihat tenang di permukaan, tetapi sebenarnya menyimpan bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu. Bagaimanapun, sejarah menunjukkan, rezim otoriter akan tidak disukai rakyatnya dan bisa memicu perlawanan.”
Oleh. Ragil Rahayu
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Sejarah baru terjadi di Cina. Xi Jinping terpilih untuk ketiga kalinya sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Cina (CPC) yang sekaligus menjadikannya Presiden Cina untuk periode ketiga. Xi Jinping terpilih secara aklamasi dalam Kongres ke-20 Partai Komunis Cina (detik.com, 23/10/2022).
Sebelumnya, masa jabatan presiden dibatasi dua periode. Namun, pada 2018, Xi menghapus batas tersebut hingga bisa berkuasa lagi setelah 10 tahun memimpin Cina. Dengan terpilihnya Xi untuk ketiga kalinya, kini dia menjadi orang terkuat dalam politik Cina setelah Mao Zedong.
Pascaterpilihnya Xi, dipastikan dominasi pemimpin berumur 69 tahun ini akan makin nyata. Untuk mengukuhkan kekuasaannya, Xi telah menunjuk enam anggota Komite Tetap Politbiro Partai Komunis Cina yang semuanya merupakan loyalis Xi. Dengan kuatnya dominasi Xi atas Cina, dipastikan tidak ada satu pihak pun yang berani mempertanyakan kebijakan sang Presiden.
Klaim Ekonomi dan Realitasnya
Bisa dipastikan, di bawah kepemimpinan Xi, Cina akan berusaha memperluas pengaruhnya. Baru terpilih saja, Xi sudah mengeluarkan pernyataan bahwa, "Cina tidak bisa berkembang tanpa dunia, dan dunia juga membutuhkan Cina." Pernyataan ini menegaskan pilihan ekonomi Xi, yaitu ekonomi yang terbuka dengan menjalin kerja sama dengan negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Terkait ekonomi Cina, Xi mengeklaim bahwa saat ini ekonomi negara tersebut tangguh. Potensi ekonominya cukup besar sehingga ada ruang besar untuk bermanuver. Fundamental ekonomi jangka panjangnya sehat (liputan6.com, 24/10/2022).
Namun realitasnya, kepemimpinan Xi telah mendapatkan banyak kritikan dan bahkan penolakan. Rumor kudeta terhadap Xi beberapa waktu lalu menunjukkan adanya masalah pada legitimasi Xi. Banyak rakyatnya yang tidak suka dengan Xi, terutama karena perekonomian yang tidak stabil.
Terkait klaim Cina bahwa ekonominya terus meningkat, sebenarnya di baliknya terjadi banyak masalah. Misalnya masalah peningkatan jumlah pengangguran, padahal cadangan devisa Cina merupakan yang terbesar di dunia. Di dalam negeri, banyak warga yang tidak mendapatkan pekerjaan. Ketimpangan antara wilayah pusat dengan pinggiran juga menjadi masalah.
Semua permasalahan ekonomi tersebut membuat sebagian masyarakat Cina tidak lagi percaya pada Partai Komunis Cina dan Xi Jinping. Pemerintah Xi pun berusaha memulihkan kepercayaan masyarakat dengan proyek ambisius BRI (Belt and Road Initiative) yang membangun kembali jalur sutra dan diharapkan bisa memeratakan pertumbuhan ekonomi dan mengembalikan kepercayaan publik.
Namun, kepercayaan publik terhadap Partai Komunis Tiongkok memang sudah melorot, terlepas dari siapa pun pemimpinnya. Meski tidak disiarkan media karena pembatasan oleh pemerintah, sebuah penelitian menunjukkan bahwa setiap bulan terjadi 500 demonstrasi mengkritik Partai Komunis Cina (Media Umat, 6/10/2022).
Dengan demikian, tujuan dari seluruh program pembangunan Xi ke depan adalah meraih kembali kepercayaan publik dengan mewujudkan ekonomi yang stabil dan melakukan pemerataan.
Kebijakan Otoriter
Namun, tujuan ini bukanlah perkara mudah. Dengan sepak terjang Xi, ada konflik internal di Partai Komunis Cina, yaitu perbedaan pandangan politik antara Xi dengan elite partai yang lain. Untuk menyelesaikan konflik ini dan memuluskan langkah berkuasa, Xi telah "membersihkan" partai dari pihak yang menyerang kebijakannya. Sikap otoriter menjadi pilihan Xi untuk menjaga kekuasaannya. Kampanye antikorupsi dia gunakan untuk menyingkirkan saingan politik dan faksi lain di partai (liputan6.com, 24/10/2022).
Pemerintahan yang otoriter seperti ini mungkin akan terlihat tenang di permukaan, tetapi sebenarnya menyimpan bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu. Bagaimanapun, sejarah menunjukkan, rezim otoriter akan tidak disukai rakyatnya dan bisa memicu perlawanan.
Sikap otoriter juga akan menjadi kartu As lawan untuk membawanya ke meja internasional dan memberikan tekanan politik. Hal ini tampak pada manuver AS yang menekan Cina dalam persoalan Uighur. Walhasil, dengan bersikap otoriter, sejatinya Xi sedang menumpuk gunung masalah bagi pemerintahannya.
Pengaruh pada Indonesia
Indonesia merupakan pihak yang dibutuhkan Cina. Baik sebagai pasar bagi produknya, maupun mitra dalam proyek BRI. Cina butuh dukungan Indonesia dalam konflik Laut Cina Selatan melawan Amerika Serikat dan Eropa. Walhasil, pemerintahan Xi Jinping akan terus memepet Indonesia dengan serangkaian kerja sama dan kesepakatan, termasuk utang.
Namun, sebagai negara pengikut, Indonesia tidak mau membangun posisi tawar yang tinggi di hadapan Cina. Akibatnya, setiap kerja sama dua negara selalu menguntungkan Cina dan merugikan Indonesia. Kalaupun ada yang diuntungkan di pihak Indonesia adalah para pejabatnya yang menjadi makelar kesepakatan tersebut.
Kerugian Indonesia tersebut tampak pada membanjirnya produk Cina di Indonesia yang mengancam eksistensi produk lokal, utang Indonesia ke Cina yang makin menggunung, terancamnya kedaulatan Indonesia di Laut Natuna, Indonesia menjadi pasar vaksin Cina pada masa pandemi yang lalu, digunakannya Yuan sebagai alat pembayaran perdagangan antara kedua negara, dan yang amat menyedihkan juga adalah diboyongnya para pekerja Cina untuk proyek mereka di Indonesia hingga level pekerja kasar, padahal pengangguran di Indonesia luar biasa banyaknya.
Ke depan, Indonesia akan makin mesra dengan Cina, karena ada pejabat yang menjadi "mak comblangnya". Namun, ini berarti cengkeraman Cina ke Indonesia semakin kuat. Kita akan terus menjadi negara terjajah dan dieksploitasi oleh Cina jika tidak membangun posisi tawar yang tinggi.
Butuh Ideologi Islam
Hanya negara berideologi yang mampu membangun posisi kuat di konstelasi internasional. Selama Indonesia menerapkan kapitalisme, selama itu pula akan terus menjadi negara terjajah, baik oleh negara kapitalis Timur yaitu Cina, maupun kapitalis Barat. Padahal, haram hukumnya umat Islam dalam posisi terjajah. Allah Swt. berfirman :
وَلَنْ يَّجْعَلَ اللّٰهُ لِلْكٰفِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلً
"Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman." (QS An-Nisa: 141)
Oleh karena itu, satu-satunya pilihan bagi Indonesia untuk bisa menjadi negara yang tidak terjajah adalah mengambil ideologi Islam, karena Islam menentang keras penjajahan di muka bumi, baik secara fisik (militer), maupun nonfisik (ekonomi, budaya, dan lain-lain).
Ideologi Islam justru mentransformasi umatnya menjadi kuat. Sepanjang sejarah peradaban Islam, Daulah Khilafah Islamiah selalu menjadi negara kuat dan bahkan terkuat. Dengan kekuatannya itu, Khilafah menebarkan rahmat bagi seluruh alam. Yaitu dengan membebaskan berbagai negeri dari kezaliman para diktator.
Indonesia, atau lebih tepatnya nusantara, ketika dulu menjadi bagian dari Khilafah, merupakan wilayah yang kuat sehingga para penjajah Barat saat itu kesulitan untuk menaklukkan. Barulah ketika Khilafah runtuh, tidak ada lagi dukungan politik dan militer bagi nusantara untuk melawan penjajah, kita pun masuk dalam pusaran kolonialisme.
Penjajahan itu terus terjadi hingga hari ini, hanya berubah wajah dan aktor. Dari penjajahan fisik ke ekonomi, dari aktor Barat saja menjadi bertambah dengan aktor Timur. Namun, hakikatnya sama, kita terus terjajah. Wallahualam. []