”Karenanya, merdeka bicara memang bukan bebas bicara. Melainkan, berbicara hanya dalam hal yang benar berdasarkan perintah Allah dan semata untuk kebenaran. Karena hakikat merdeka ialah totalitas menghamba kepada Allah, maka merdeka bicara tiada lain ialah menegakkan amar makruf nahi munkar.”
Oleh. Saptaningtyas
(Tim Redaksi Linimasa)
NarasiPost.Com-Merdeka bicara atau kebebasan berpendapat adalah salah satu dari empat kebebasan yang dijunjung tinggi sistem demokrasi. Namun, dalam praktiknya, merdeka bicara bukan berarti bebas bicara, kebebasan berpendapat tak berarti boleh menyampaikan semua pendapat.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah karena demokrasi dijalankan setengah hati? Ataukah demokrasi memang mustahil terlepas dari hipokrisi?
Hipokrisi, Indikator Kecacatan Demokrasi
Saking pentingnya, keberadaan kebebasan berpendapat dinilai banyak pihak menjadi indikator tegaknya negara demokrasi. Sebab, demokrasi memegang prinsip pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Bahkan dikatakan, “Vox populi, vox dei (Suara rakyat, suara Tuhan).” Artinya, suara rakyat harus dihargai sedemikian rupa sebagai penyampai kehendak Tuhan.
Pengagungan prinsip ini bukan tanpa sebab. Sejarah kegelapan Eropa dalam cengkeraman sistem monarki otoriter mendorong gerakan perubahan. Adagium Vox populi vox dei menjadi simbol perlawanan kesewenangan kerajaan yang bersemboyan “Vox rei, vox dei (suara raja, suara Tuhan).” Demokrasi ini dianggap jalan keluar terbaik dari kekejaman otoritarianisme teokrasi.
Tumbangnya teokrasi menjadikan Eropa bangkit dengan ideologi barunya, yaitu kapitalisme demokrasi yang menjunjung prinsip kebebasan dan HAM. Seiring kemenangan kapitalisme dalam Perang Dunia II, prinsip dasar demokrasi dan pengagungan terhadap HAM tersebut dijajakan ke penjuru dunia, tak terkecuali ke negeri-negeri muslim.
Melalui kekuasaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dibentuk instrumen hukum internasional sebagai upaya penegakan dan perlindungan HAM. Salah satunya, melalui International Bill of Human Right (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia/DUHAM), Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR), Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi , Sosial, dan Budaya (ICESCR), juga Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Rasial (ICERD).
Karena itu, jaminan perlindungan terhadap HAM, termasuk di dalamnya kebebasan berpendapat menjadi sesuatu yang wajib diwujudkan oleh negara demokrasi di seluruh dunia. Sebagai kepatuhannya, Indonesia meratifikasi konvensi internasional tersebut melalui UU no. 12 tahun 2005. Selain itu, dibuat aturan tentang kebebasan pers. Bahkan, sejak merdeka, dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Semua regulasi itu dibuat sebagai wujud komitmen negara dalam menjamin kebebasan berpendapat.
Meski demikian, dalam praktiknya, demokrasi tak pernah mampu mewujudkan merdeka bicara. Demokrasi hipokrit. Merdeka bicara tak ubahnya alat pencitraan untuk meraih dan melanggengkan kekuasaan.
Di dalam negeri, apa pun bentuk demokrasinya, siapa pun rezimnya, merdeka bicara tak berarti rakyat bebas bicara. Di masa Orde Lama (Orla) Demokrasi Terpimpin yang diterapkan justru menyebabkan adanya pembubaran beberapa partai, salah satunya Masyumi.
Meski menjadi partai besar yang artinya mewakili suara rakyat banyak, partai Islam yang didirikan K.H. Wachid Hasyim, Moh. Natsir, Kartosuwiryo, dan yang lainnya itu tetap dilarang. Artinya, merdeka bicara tidak terwujud. Masyumi yang kerap mengkritisi dan menentang gagasan serta kebijakan pemerintah, dibungkam. Penguasa Orde Lama khawatir jika Masyumi diberikan kebebasan bicara, akan mengancam kekuasaannya dan menghambat kelangsungan Demokrasi Terpimpin.
Pada masa Orde Baru (Orba) pun tak jauh berbeda. Rakyat berharap terjadi perubahan dari pemerintahan otoriter menjadi demokratis pada Orde Baru. Namun, sistem Demokrasi Pancasila di masa Orde Baru justru dikenal bercorak militeristis otoriter. Merdeka bicara tidak terwujud. Rezim Orba melakukan banyak penahanan politik kepada mahasiswa, tokoh politik, juga melakukan pemberedelan media massa dengan cara-cara represif.
Era Reformasi yang digadang menjadi simbol hidupnya demokrasi pun pada akhirnya sama. Merdeka bicara tak pernah benar-benar dimiliki rakyat. Suara rakyat bukan suara Tuhan sebagaimana digaungkan. Sejak Presiden Habibie hingga Susilo Bambang Yudhoyono, suara rakyat tak didengar. Tuntutan rakyat tak dianggap sebagai titah Tuhan yang mesti ditunaikan. Ketika rakyat menjerit dengan berbagai kesulitan, pemerintah abai. Salah satunya, saat rakyat menolak keras kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), pemerintah tetap ketuk palu menaikkan harga.
Fakta pahit hipokrisi demokrasi serupa terjadi di era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Betapa pun besarnya gelombang penolakan kenaikan harga BBM maupun pengesahan Omnibus Law, pemerintah tetap teguh sesuai kehendaknya. Memang dalam hal itu rakyat diperbolehkan bicara. Namun, suara rakyat tak dianggap berarti apa-apa.
Di sisi lain, gaya represi juga dipertontonkan begitu nyata. Terlebih kepada umat Islam. Keterbelahan dan diskriminasi tampak nyata. Tak sedikit aktivis masuk bui lantaran lantang meneriakkan kritikan. Pembungkaman bisa dilakukan kepada siapa pun, termasuk dakwah Islam. Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI) menjadi kebijakan represif membungkam dakwah yang mengulang cara Orla ketika membubarkan Masyumi.
Ruang merdeka bicara juga ditutup bagi dakwah Islam dengan memberi stigma ajaran terlarang, radikal, dan intoleran. Padahal, yang disampaikan adalah ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunah. Sementara, narasi ujaran kebencian terhadap Nabi Muhammad, Al-Qur’an dan ajaran Islam dibiarkan bebas atas nama kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Berbagai realitas tersebut menjadi bukti sistem demokrasi senantiasa hipokrit. Narasi kebebasan berpendapat hanya berlaku bagi yang sejalan dengan kepentingan penguasa. Sementara bagi yang berseberangan, tidak akan pernah diberi ruang.
Meski penguasa menyatakan diri tidak antikritik, pada kenyataannya kritikus yang lantang akan berujung di bui. Apa pun bentuknya, kritik yang disampaikan dengan cara akademis di ruang-ruang diskusi, lisan maupun tulisan di media massa, tetap sulit diterima penguasa. Bahkan, suara rakyat yang disalurkan lewat mural dan baliho pun diberedel dengan menggunakan tangan aparat yang digaji dengan uang rakyat.
Realitas demikian apakah penanda demokrasi telah mati? Ataukah sesungguhnya demokrasi adalah sistem cacat yang mustahil hidup sebagai sistem hidup manusia?
Levitsky dan Ziblatt dalam bukunya How Democracies Die telah mengingatkan bahwa pemimpin otoriter tak melulu muncul dengan warna aslinya. Menurutnya, pemerintahan yang tampak populis pun bisa menjadi kedok otoritarianisme baru.
Uraian Levitsky dan Ziblatt tersebut sejatinya adalah bukti bahwa demokrasi adalah sistem rusak. Apa pun ragamnya, demokrasi akan berakhir pada kesewenangan kekuasaan. Baik di dalam ataupun di luar negeri, hipokrisi akan selalu menjadi realitas demokrasi.
Hipokrisi akan semakin nyata ketika berhadapan dengan Islam. HAM akan lantang disuarakan ketika kontra dengan ajaran Islam. Sementara, ketika umat Islam yang menjadi korban, pegiat HAM diam. Contoh yang sering berulang misalnya masalah jilbab dan penghinaan terhadap Rasulullah saw.
Hipokrisi demokrasi niscaya terjadi karena demokrasi tegak di atas asas sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Sekularisme membuat kebenaran menjadi nisbi. Sekularisme meminggirkan aturan agama, meniadakan peran Sang Pencipta dalam kehidupan. Ini menyebabkan kedaulatan di tangan manusia. Standar kebenaran pun dibuat manusia.
Karenanya, wajar bila kebenaran menjadi sesuatu yang relatif karena benar dan salah ditentukan berdasar sudut pandang manusia. Padahal, manusia hanyalah makhluk lemah yang akan subjektif memandang sesuatu berdasar kepentingannya. Sementara, kepentingan manusia pun beragam.
Alhasil, demokrasi tetap akan berujung otoriter karena dipandang berdasar kepentingan penguasa. Sedangkan, realitas kekuasaan dalam kapitalisme ditentukan oleh kekuatan modal. Karenanya, mustahil demokrasi berpihak kepada suara rakyat banyak. Kebijakan pun dibuat demi melindungi kepentingan pemodal.
Di samping itu, ide kebebasan dan HAM pun lahir atas landasan sekularisme. Wajar bila merdeka bicara pun menjadi hipokrit, lantang didengungkan demi kepentingan sebagian pihak, yaitu kapitalis yang berafiliasi dengan kekuasaan.
Karenanya, otoritarianisme, ketidakadilan, dan kezaliman yang dirasakan rakyat bukanlah karena demokrasi yang mati. Bagaimanapun demokrasi ditegakkan, niscaya akan berakhir otoriter. Sebab, kekuasaan yang mengesampingkan aturan Sang Maha Kuasa akan senantiasa diliputi ketamakan pada dunia.
Hipokrisi demokrasi dan hak asasi manusia, termasuk di dalamnya merdeka bicara juga bukan karena penguasa yang setengah hati menerapkan demokrasi. Artinya, negeri ini tak bijak menyikapi perbedaan pendapat bukan karena masih setengah demokrasi. Berapa pun persentasenya, selama demokrasi menjadi sistem kehidupan, standar ganda akan selalu ditemukan. Sebab, dalam sekularisme, tolok ukur kebenaran bergantung kepada kepentingan.
Merdeka Bicara yang Sesungguhnya
Benar bahwa merdeka bicara memang bukan berarti bebas bicara. Sebab, dalam kehidupan manusia, hanya ada dua jalan. Yaitu, kebenaran dan kebatilan. Keduanya bertolak belakang. Tak bisa dicampuradukkan. Karenanya, dalam berbicara pun ada batasnya. Mustahil menyampaikan pendapat atas perkara batil diberi ruang yang sama dengan kebenaran. Sebab, ruang bagi propaganda kebatilan akan mengaburkan kebenaran.
Hanya saja, standar benar-salah, baik-buruk tersebut tak layak disandarkan pada hasil pemikiran manusia. Vox populi, vox dei adalah prinsip batil. Bersandar padanya hanya akan bermuara pada kezaliman. Menyamakan suara rakyat (manusia) dengan firman Allah hanya akan mendorong pada kehancuran. Karena itu, sekularisme adalah asas yang batil. Merdeka bicara dipandang berdasarkan perspektif sekularisme hanya akan menciptakan penguasa antikritik dan rakyat yang terpecah-belah.
Karena itu, kebenaran harus dinilai hanya berdasarkan dari firman Allah, Sang Maha Benar. Kebenaran yang demikian adalah kebenaran yang pasti, mustahil nisbi. Sebab, tolok ukur kebenaran berdasarkan wahyu Sang Pencipta manusia tak akan berubah oleh kepentingan-kepentingan manusia. Kebenaran wahyu Allah tak akan berubah karena perubahan tempat dan zaman.
Karenanya, merdeka bicara memang bukan bebas bicara. Melainkan, berbicara hanya dalam hal yang benar berdasarkan perintah Allah dan semata untuk kebenaran. Karena hakikat merdeka ialah totalitas menghamba kepada Allah, maka merdeka bicara tiada lain ialah menegakkan amar makruf nahi mungkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran), yaitu dakwah untuk menegakkan agama Allah (Islam).
Dalam firman Allah dan sabda Rasulullah bahkan disampaikan bahwa dakwah merupakan sebaik-baik perkataan. Perintah dakwah menyerukan Islam ini Allah perintahkan untuk seluruh umat Islam, baik rakyat biasa maupun penguasa.
Dengan standar kebenaran yang satu, yaitu berdasarkan perintah Allah, maka tidak akan terjadi standar ganda dalam memandang kebebasan berpendapat. Negara pun wajib menjamin kebebasan berpendapat ini, yakni kebebasan menyampaikan ajaran Islam. Jaminan tersebut terbukti dengan adanya kewajiban syariat bagi umat Islam untuk mengoreksi penguasa. Bahkan, seseorang yang mati karena mengoreksi penguasa zalim dikategorikan Rasulullah sebagai sayyidusy syuhada.
Perintah untuk bicara (dakwah) dan jaminan kebebasan bicara mengoreksi penguasa ini menjadikan sistem pemerintahan Islam bukan otoriter dan tidak antikritik. Hal ini dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan para khalifah.
Ketika Rasulullah saw. memimpin, sahabat pernah menyampaikan pendapat yang berbeda terkait kebijakan Rasul. Di antara pendapat tersebut ada yang diterima oleh Rasulullah sehingga Beliau mengoreksi kebijakannya. Misalnya, Rasulullah menarik kebijakan izin tambang garam kepada Abyadh bin Hamal setelah mendapat protes dari sahabat karena tambang tersebut jumlahnya melimpah.
Khalifah Umar juga tidak antikritik. Ia pernah mengoreksi kebijakannya tentang pembatasan mahar setelah rakyatnya dari kalangan wanita mengkritiknya dengan mengingatkan Umar akan firman Allah tentang mahar.
Dengan tegak atas landasan yang sama, standar kebenaran yang sama, yaitu akidah Islam, maka rakyat maupun penguasa akan saling percaya. Penguasa akan amanah menjadi pengayom rakyat dan tidak antikritik.
Sementara, rakyat pun akan menyampaikan aspirasi dengan penuh tanggung jawab. Rakyat yang berpegang teguh kepada akidah Islam akan hati-hati dalam berbuat dan berbicara. Sebab, ia menyadari bahwa setiap perbuatan dan perkataan akan ada balasannya, akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah Swt.
Sebagai bentuk tanggung jawabnya, rakyat akan menyadari bahwa merdeka bicara bukan bebas bicara sebab setiap perbuatan wajib terikat hukum syarak. Dalam hal bicara, Rasulullah saw. memberi peringatan, “Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari)