"Raihana sebenarnya juga kurang mengerti tentang pekerjaan ayahnya. Yang ia tahu, ayahnya seorang pemborong proyek, membuat aksesoris-aksesoris gedung atau masjid dengan bahan dasar gipsum. Setiap hari ayahnya pulang pergi ke proyek dengan mobil rental, yang katanya disewa bulanan. Dua hari yang lalu, ayahnya pamit pergi akan mencari pinjaman uang ke temannya di Yogyakarta. Dan ternyata, sampai pagi ini belum pulang, itu pun juga tak memberi kabar ke bundanya."
Oleh. Ratih Fn
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Raihana terisak dalam doa panjang di atas sajadahnya. Usai menunaikan salat Subuh, saat takbir berkumandang tanda Hari Raya menjelang.
Harusnya ini menjadi hari yang membahagiakan, meski ada rasa sedih karena ini Idulfitri pertama tanpa nenek tercintanya. Sosok yang begitu dekat dengannya sejak kecil. Terlahir sebagai cucu pertama, membuat neneknya begitu memanjakan Raihana. Namun, bukan kepergian neneknya yang membuat hati Raihana pedih. Raihana memang begitu menyayangi neneknya, tapi ia paham betul bahwa hidup mati manusia sudah ada garisnya. Ia hanya selalu berdoa, semoga kelak kembali bersua dengan neneknya di jannah-Nya.
Ramadan ini begitu istimewa bagi Raihana, karena suatu masalah yang bahkan tak pernah terlintas dalam pikirannya. Masalah yang menimpa orang tuanya. Ia mengingat ucapan bundanya beberapa hari lepas, setelah seorang tamu yang tak ia kenal datang ke rumah, menemui bundanya dan berbicara dengan nada tinggi.
"Mbak, kamu sudah besar, dan mungkin sudah bisa menduga-duga, kalau sebenarnya Bunda dan Ayah sedang ada masalah." bundanya tampak menghela napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya.
"Proyek Ayah gagal, rugi besar, karena kesalahan manajemen. Dan Ayah punya utang besar dengan beberapa koleganya, tapi kamu tenang saja. Ayah sedang mencari jalan keluar, kamu nggak perlu ikut mikirin. Kamu fokus aja ke kuliah kamu, jangan sampai berhenti di tengah jalan. Sayang kan kalau nggak selesai, alhamdulilah bisa kuliah gratis, tinggal mikir materi pelajarannya aja."
"Ya, Bund." Raihana menjawab singkat, dan kembali terdiam.
Pikirannya mengembara, entah ke mana. Ingin hati tak turut memikirkan masalah orang tuanya. Namun, melihat bundanya beberapa hari ini terlihat berurai air mata setiap kali selesai salat, membuat hati Raihana bak tersayat sembilu. Raihana sebenarnya juga kurang mengerti tentang pekerjaan ayahnya. Yang ia tahu, ayahnya seorang pemborong proyek, membuat aksesoris-aksesoris gedung atau masjid dengan bahan dasar gipsum. Setiap hari ayahnya pulang pergi ke proyek dengan mobil rental, yang katanya disewa bulanan.
Dua hari yang lalu, ayahnya pamit pergi akan mencari pinjaman uang ke temannya di Yogyakarta. Dan ternyata, sampai pagi ini belum pulang, itu pun juga tak memberi kabar ke bundanya.
"Bund, Bunda sehat kan? Ayah belum ada kabar?" Raihana mendekati Bundanya yang masih termenung di atas sajadahnya.
"Sehat, Mbak. Nomor Ayah nggak aktif, Mbak. Tapi dari awal sudah berpesan, kalau nomornya sudah tidak bisa dihubungi, berarti ponselnya sudah dijual." Bundanya menjawab lesu pertanyaan Raihana.
"Trus yang semalam orang datang lagi itu, Ayah ada sangkutan juga sama dia, Bund?" rasa penasaran Raihana membuatnya tak tahan untuk bertanya ke Bundanya.
"He ehm…." Bundanya tak mampu lagi berkata-kata, tapi justru terisak semakin dalam.
Pilu hati Raihana melihat bundanya bersedih begitu, serasa ada luka yang sangat dalam. Rasa kesal, marah, kecewa, kepada ayahnya yang sudah tega meninggalkan bunda, Hana dan tiga adiknya. Apalagi dua adiknya masih kecil. Rasa kecewanya kian dalam, mengingat ayahnya sering memarahi Hana untuk hal-hal kecil. Seperti saat sekitar dua bulan yang lalu ia menerima telepon dari kakak kelas SMP-nya. Yang kebetulan baru bertemu lagi setelah sekian tahun.
"Bund, kasih tahu Hana tuch, supaya jangan telepon-teleponan dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Kamu tuch sebagai Bundanya, seharusnya bisa ngasih tahu Hana."
Terdengar jelas ayahnya marah kepada Raihana, waktu itu. Meski tidak langsung berbicara nada tinggi pada Raihana, melainkan justru memarahi bundanya. Dan itu semakin membuat rasa kesal di hati Raihana kala itu, namun Raihana hanya mengiyakan saat bundanya menyampaikan ketidaksukaan ayahnya tentang sikap Raihana. Bahkan, Amah Rania, adik kandung bundanya Hana yang di luar kota juga diminta oleh ayahnya untuk menasihati Raihana. "Assalamualaikum, Mbak. Kamu kenapa lagi sama Ayahmu? Yang sabar ya, ambil aja sisi positifnya. Mungkin itu karena sikap protektif dari Ayah kamu, Mbak. Ayah kamu nggak kepengen hal buruk terjadi ke putrinya, sekecil apa pun itu."
"Iya, Mah, lagipula Hana sekarang sudah nggak kesel kok. Hana yakin maksud Ayah baik, makasih sudah mengingatkan, Mah."
Raihana masih mendekap bundanya, sembari menepuk-nepuk lembut punggung Bundanya. Ingatannya kembali kepada beberapa sikap ayahnya yang kadang terasa aneh untuk ia maklumi. Dan masalah ini seperti membuka tabir yang selama ini tertutup.
"Mbak Hana, Bunda kenapa?" Bagas tiba-tiba berbisik di samping Raihana dan bundanya. Mengagetkan Raihana yang mulai larut dalam lamunannya.
"Udah sana, kamu mandi dulu. Biar nanti bisa gantian dengan Dek Ihsan dan Dek Fadhil."
"Iya, eh, tapi Ayah belum ada kabar kah, Mbak?"
"Aduuuuh, kamu tuch. Udah sana mandi dulu. Sekalian kalau lewat dapur, tolong masak air yaa…"
"Yeee, ujung-ujungnya nyuruh. Untung aku lagi baik hati dan tidak sombong," Bagas berlalu ke belakang, Raihana tersenyum simpul melihat tingkah adiknya yang satu itu.
Walaupun kelihatannya agak bandel, tapi Raihana bersyukur, adiknya yang paling besar itu, cukup bisa mengerti kondisi rumah. Meski kadang sifat jahilnya membuat Raihana kesal.
"Mbak," bunda sudah mulai tenang, dan seperti hendak menceritakan sesuatu.
"Ya, Bund." Raihana menggeser duduknya ke depan bundanya.
"Maafin Bunda kalau kamu harus tahu masalah Ayah kamu. Tapi, Bunda anggap kamu sudah cukup dewasa untuk bisa Bunda ajak sharing. Ayah kamu, ternyata utangnya lebih besar dari dugaan Bunda. Ayah kamu belum sepenuhnya jujur kemarin-kemarin itu."
"Emang berapa, Bund?"Raihana semakin penasaran. Karena sebelum ayahnya pergi, katanya utang ayahnya tinggal sekitar 30-an juta. Itu pun setelah Bunda meminjamkan sertifikat rumah untuk mengambil kredit senilai 100 juta, ke sebuah koperasi.
"Kalau ditotal, bisa 300-an juta, Mbak."
"What..?! Astaghfirullah," kepala Hana serasa dihantam palu godam, sesak dalam dadanya, dan serasa ada yang menyayat kalbunya.
"Bunda mungkin bisa aja nggak mikirin utang Ayah kamu ke orang-orang itu. Toh, mereka itu penggadai mobil ilegal. Ayah salah, mereka juga salah. Dan yang Bunda sangat sesalkan saat ini, kenapa bunda harus berutang ke koperasi dengan jaminan sertifikat rumah."
Bunda Hana sejenak terdiam, menghela napas panjang. "Kalau saja, waktu itu Bunda mendengarkan peringatan Amah kamu, Amah Rania, tentang dosa riba, juga bahwa jangan sampai menyelesaikan masalah dengan solusi yang menyalahi aturan Allah, mungkin Bunda nggak akan sepusing ini sekarang, Mbak."
"Berapa cicilan utang koperasi itu tiap bulannya, Bund?"
"Sekitar 3 juta-an, Mbak. Belum lagi Bunda harus mikirin kebutuhan kita sehari-hari kan." air mata Bunda kembali terjatuh.
"Yaa Allah, Yaa Razzaq…. Kami berserah kepadaMu," dalam hati Raihana berdoa, sembari mengusap butiran-butiran bening yang mengalir ke pipinya.
"Bunda, kan ada Allah. Yakin aja, Bunda, Allah juga tahu kalau kita nggak turut memakai uang-uang itu."
Miris sekali jika mengingat masalah ini, selama ini ayahnya terlihat bergaya mondar-mandir ke proyek naik mobil. Padahal keluarga di rumah, jangankan hidup mewah, kadang mau masak nasi saja, beras sampai kehabisan. Bersyukur Hana sudah hampir setahun, selama kuliah online, bisa sambil bekerja. Meski hasilnya tak seberapa, namun lumayan untuk menyambung beli beras atau sekadar membeli telur dan mie instan di saat-saat darurat.
"Mbak Hana, kosong tuch kamar mandi. Gantian tuh mandi, ntar pada ketinggalan salat Idulfitri lhoo…" Bagas kembali membuyarkan lamunan Raihana.
Idulfitri yang getir bagi Raihana dan keluarganya. Melihat dua adiknya yang masih kecil, Ihsan dan Fadhil saat ini, mengingatkan Raihana akan masa kecilnya dan Bagas dulu.
Orang yang Raihana panggil ayah itu sebenarnya adalah ayah tiri Raihana dan Bagas. Bunda dan bapak kandungnya Raihana dan Bagas bercerai saat Raihana masih duduk di bangku SD kelas 3.
Lalu setahun kemudian bundanya menikah dengan ayah. Dan Allah menambah karunia keluarga mereka dengan kelahiran Ihsan dan Fadhil. Fadhil baru berusia 4 tahun saat ini, dan dari kemarin dia terus saja menanyakan ayah.
"Kapan Ayah pulang, Bunda? Kapan Ayah pulang, Bunda?" setiap kali Fadhil bertanya tentang ayahnya, bunda selalu berusaha mengalihkan pembahasan. Tak terbayang dalam benak Raihana, bagaimana perihnya hati Bunda mendengar pertanyaan Fadhil.
Sebulan berlalu, dan keberadaan ayah masih belum diketahui. Tak ada kabar berita, dan semakin banyak fakta terbuka. Meski begitu, bunda, Raihana, dan tiga adiknya tetap berusaha survive dengan kondisi keluarga mereka. Kegalauan kembali melanda hati Raihana, kampusnya sudah mengharuskannya kuliah tatap muka. Itu berarti Raihana harus kost dan keluar dari kerjanya. Pikirannya melayang kepada keluarganya, bagaimana Raihana bisa membantu bundanya, jika ia tak lagi bekerja. Belum lagi, berpikir tentang uang kost dan biaya makan sehari-hari. Sementara uang saku beasiswa kuliahnya masih sekitar dua bulan lagi cairnya.
"Yaa, Allah…." kembali tergugu Raihana dalam sujud panjangnya di sepertiga malam itu. Ya, salah satu hal yang patut Raihana syukuri atas ujian dalam keluarganya, kini salat malamnya lebih terjaga. Dan mungkin memang begitulah tabiat manusia, saat sempit selalu teringat Rabb-nya, dan saat lapang kembali lupa.
Pendar Sang Surya mulai nyata terasa di kulit Raihana yang sedang menjemur baju di depan rumah. Saat dua sosok laki-laki turun dari mobil dan berjalan ke arahnya.
"Assalamualaikum, Mbak Hana. Apa kabar?"
Raihana tercengang, hingga lupa menjawab salam.
"Eeh, Bapak? Kok sudah sampai? Alhamdulillah… Masuk Pak." Bagas sigap menyalami tangan Bapak. Ya, bapak kandung Raihana dan Bagas.
Bagas masuk ke rumah menyertai langkah bapak dan temannya. Raihana mengikuti masuk ke rumah lewat pintu samping.
"Bunda, ada Pak Iwan."
"Ooh, iyaa. Memang Bapak kamu mau datang, katanya lagi ada bisnis di Temanggung sama temennya. Udah, sana buatin minum buat Bapak kamu dan temennya. Bapak kamu memang ke sini mau ketemu kamu dan Bagas kok."
"Laah? Bunda dan Bagas udah tahu? Kok nggak bilang-bilang ke Hana?" Raihana bertanya sembari berlalu menuju dapur. Hendak membuatkan minum untuk bapak dan temannya.
"Assalamualaikum, Pak. Gimana kabarnya? Kapan datang dari NTB?" Raihana menyapa bapaknya sembari mencium takzim punggung tangan bapaknya.
Teringat Raihana akan doa yang ia panjatkan di sujud malamnya. Saat benaknya ganar oleh berbagai masalah. Keluarga, kuliah, dan pekerjaannya, tiba-tiba bapak kandungnya datang. Yang ternyata berniat membantu menanggung biaya kost-nya.
"Ini, alhamdulilah Bapak ada sedikit rezeki, Mbak. Maafin Bapak ya, Mbak, Mas. Selama ini Bapak kurang bertanggung jawab ke kalian. Semoga belum terlalu terlambat Bapak datang."
Pak Iwan, Bapak kandung Hana dan Bagas sejenak terdiam. "Doakan bisnis Bapak lancar, dan insyaallah niatnya bapak akan bantu kuliah kamu, juga sekolah Bagas. Supaya Bagas bisa ngelanjutin lagi SMU-nya."_
Ada rasa aneh yang menyusup dalam kalbu Raihana, sejuk seperti ia sedang berada di lereng pegunungan, dengan pepohonan rindang dan gemericik sungai terhampar di depan mata. Raihana berulang kali mengucap hamdalah, keyakinannya pada Rabb-nya yang sempat terkikis kembali utuh.
"Alhamdulillah…Alhamdulillah…Alhamdulillah… Ampuni hamba, Yaa Rabbi…" lirih Hana berucap.
Cilacap, 15 Oktober 2022[]