Alami Low Fertility, Cina di Ambang Penuaan Populasi?

”Alhasil, rakyat harus membayar mahal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada akhirnya inilah yang membuat Cina harus menghadapi persoalan demografi dengan rendahnya angka kelahiran.”

Oleh. Dwi Indah Lestari
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Generasi adalah penerus sekaligus tonggak peradaban sebuah bangsa. Tanpa generasi, sebuah peradaban bangsa akan sirna ditelan masa.

Ancaman kekurangan generasi muda ini rupanya tengah menghantui Cina. Angka kelahiran di negeri berpenduduk 1,4 miliar jiwa itu diberitakan mengalami penurunan cukup tajam saat ini. Birth rate pada tahun 2021 tercatat hanya 10 juta dalam setahun dengan tingkat fertility 1,16. Angka ini masih berada jauh di bawah standar OECD yaitu 2,1 untuk populasi yang stabil (kompas.com, 16/10/2022).

Faktor Penyebab

Cina sendiri selama ini dikenal sebagai negara dengan populasi penduduk terbesar di dunia. Tentu hal ini tidak mengherankan. Sebab dengan wilayah yang begitu luas, wajar saja jika penduduknya juga banyak. Namun, data statistik terbaru yang menangkap fenomena rendahnya angka kelahiran di Negeri Panda itu, sontak membuat pemerintahnya mulai dibayangi kekhawatiran terjadinya penuaan populasi.

Beberapa hal ditengarai menjadi penyebab hal itu terjadi. Di antaranya adalah;

Pertama, salah kebijakan. Seperti diketahui, sejak tahun 1979, Cina menerapkan kebijakan pengendalian kelahiran, yaitu setiap pasangan hanya boleh memiliki satu anak saja. Meski kemudian kebijakan ini diubah pada tahun 2016 dengan memperkenankan keluarga untuk memiliki dua hingga tiga anak, namun aturan ini jelas menyumbang peran terhadap problem demografi yang mulai menghantui Cina.

Kedua, fenomena child free dan waithood merebak. Child free merupakan sebuah fenomena di mana suatu pasangan berkomitmen untuk tidak memiliki anak. Banyak warga Cina yang meski menikah namun memilih untuk tidak punya anak. Atau kalaupun menginginkan anak, mereka memilih hanya cukup satu saja. Bahkan tingkat keinginan para wanita Cina untuk mempunyai anak, menurut sebuah survei, berada di titik terendah. Tingginya biaya hidup disinyalir menjadi penyebab fenomena tersebut.

Sedangkan istilah waithood, merujuk pada tren untuk menunda pernikahan. Sebuah data bahkan menunjukkan minat warga Cina untuk menikah juga mengalami penurunan yang sangat besar. Dikutip dari cnnindonesia.com (19/8/2022), angka pernikahan di Cina menurun selama tujuh tahun berturut-turut sejak tahun 2013. Pada tahun 2020, jumlah pasangan menikah hanya 8,1 juta jiwa. Terjadi pengurangan sebesar 12 persen dari tahun 2013 yang tercatat sebanyak 13,4 juta jiwa.

Beragam faktor menjadi pencetus dari fenomena ini. Bisa jadi karena tidak ingin terbebani tanggung jawab keluarga, hanya fokus hidup bersama saja, mengejar karier, kondisi ekonomi yang sulit dan lain sebagainya. Padahal, penundaan usia pernikahan dapat mengurangi peluang untuk menjadi orang tua.

Ketiga, tingginya angka perceraian di Cina. Tren perceraian sempat berlangsung dalam beberapa kurun terakhir. Hal ini membuat khawatir para pembuat kebijakan karena terjadi pada saat mereka tengah mendorong masyarakat Cina untuk punya banyak anak. Meskipun pada tahun 2021 lalu angka perceraian di Cina dilaporkan menurun sebanyak 70 persen, namun hal ini seiring dengan menurunnya angka pernikahan di negeri tirai bambu itu.

Upaya Penanggulangan

Pemerintah Cina tentu ketar-ketir dengan kondisi semacam ini. Penurunan angka kelahiran ditengarai dapat mempengaruhi perkembangan ekonomi dan sosial. Presiden Xi Jinping disebut telah menyiapkan strategi nasional dalam sistem kebijakannya untuk mengatasi masalah penuaan populasi. Bahkan sejumlah kebijakan telah diperkenalkan selama setahun terakhir, sebagai langkah mendorong masyarakat untuk memiliki lebih banyak anak.

Di antaranya adalah pengurangan pajak, memperpanjang masa cuti hamil, peningkatan asuransi kesehatan, subsidi perumahan, pemberian insentif untuk anak ketiga, hingga larangan menerapkan tarif mahal bagi les privat. Namun, para ahli demografi memandang langkah tersebut belum cukup untuk menyelesaikan persoalan angka kelahiran yang rendah. Hal ini berkaitan dengan sejumlah kebijakan ekonomi pemerintah sendiri yang menciptakan kehidupan menjadi sulit dan serba mahal.

Akar Persoalan

Telah bisa dilihat akar persoalan yang menyebabkan angka kelahiran yang rendah di Cina adalah kondisi ekonomi yang kian menyulitkan. Meskipun Cina disebut sebagai salah satu negara maju di dunia, nyatanya itu tidak mampu melindungi penduduknya dari merasakan kesulitan ekonomi yang makin mencekik. Wajarlah bila mereka pun memilih untuk membatasi hal-hal yang dapat membuat living cost yang ditanggung semakin naik, termasuk untuk memiliki anak.

Cina sendiri merupakan negara yang menganut sistem sosialisme komunis. Namun dalam penerapan sistem ekonominya, Cina kini jauh lebih terbuka dibanding masa dahulu. Bahkan, bisa dikatakan sistem ekonominya kini telah bergeser dari sosialis menjadi kapitalis. Akibat dari penerapan sistem ekonomi kapitalis, walaupun di satu sisi menciptakan kemajuan, namun di sisi lainnya menyebabkan kesenjangan ekonomi yang sangat besar di dalam masyarakatnya.

Penerapan sistem kapitalis jugalah yang selama ini menyebabkan dikuasainya sektor-sektor publik oleh pihak swasta. Sementara negara berlepas tangan dari penjaminan kebutuhan rakyatnya, dan menyerahkan tanggung jawab itu pada individu-individu. Alhasil, rakyat harus membayar mahal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada akhirnya inilah yang membuat Cina harus menghadapi persoalan demografi dengan rendahnya angka kelahiran.

Berkaca pada Sistem Islam

Sistem kapitalisme telah terbukti di mana-mana hanya melahirkan kerusakan. Hal ini berbeda dengan sistem Islam. Bila dalam pandangan masyarakat kapitalis, anak bisa jadi dianggap beban. Apalagi ditambah dengan kesulitan hidup yang terbentuk akibat sistem ekonomi kapitalis liberal yang tidak menjamin kesejahteraan masyarakatnya.

Sebaliknya, dalam pandangan Islam anak adalah karunia dan nikmat dari Allah Swt. Sistem Islam juga tidak membatasi untuk memiliki anak. Bahkan, Rasulullah saw. menganjurkan umatnya untuk mempunyai banyak keturunan.

“Nikahilah oleh kalian wanita yang pencinta dan subur, karena aku akan berbangga dengan banyaknya kalian kepada umat-umat yang lain.” (HR Abu Dawud)

Sementara berkaitan dengan rezekinya, maka Allah telah menjaminnya. “Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka.” (TQS. Al-An’am [6]: 151)

Di sisi lain, dengan penerapan sistem Islam oleh Khilafah akan membangun sebuah mekanisme jaminan terpenuhinya kehidupan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak. Di antaranya adalah dengan diwajibkannya kaum lelaki yang sudah balig dan mampu, untuk bekerja mencari nafkah bagi keluarganya. Sementara itu negara wajib menyediakan lapangan kerja yang cukup dan menciptakan kesempatan usaha yang kondusif sesuai syariat.

Sedangkan dalam hal kebutuhan dasar masyarakat, berupa kesehatan dan pendidikan, akan disediakan oleh Khilafah. Seluruh pembiayaannya ditanggung oleh Khilafah melalui pos pengeluaran Baitulmal. Konsekuensi dari hal itu, rakyat akan dapat menikmati fasilitas dan pelayanan dengan kualitas terbaik, secara cuma-cuma. Sehingga rakyat tidak akan merasakan kekhawatiran terkait bagaimana pemenuhannya.

Dampak dari penerapan sistem seperti ini, akan menciptakan ketenangan di dalam kehidupan umat. Mereka dapat bekerja lebih produktif dan menciptakan berbagai inovasi untuk bisa lebih meningkatkan kualitas hidupnya. Sebab, negara benar-benar hadir untuk melayani dan mengurusi seluruh urusan rakyat. Inilah kepemimpinan yang terbentuk dari landasan berpikir bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak.

“Seorang imam (pemimpin) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat). Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya,” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka sudah seharusnya sistem Islam kaffahlah yang dihadirkan kembali untuk mengatur umat manusia. Karena sistem inilah satu-satunya yang mampu mewujudkan kesejahteraan hakiki di tengah-tengah umat. Penerapan Islam dalam naungan Khilafah Islamiah juga merupakan tanda ketakwaan kaum muslim dan akan membawa keberkahan dari arah mana saja.

“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (TQS. Al-A’raaf: 96)
Wallahu’alam bisshowab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Dwi Indah Lestari Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Farmasi dalam Lingkaran Investasi Kapitalis, Menguntungkankah?
Next
Peranan Ibu dalam Membangun Peradaban Negara
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram