“Indah yakin semua ujian yang dialaminya beberapa waktu lalu adalah bentuk kasih sayang Allah padanya. Dia tidak mungkin menzaliminya. Allah menginginkan dirinya lebih dekat lagi dengan-Nya. Pasti ada hikmah dan kebaikan setelahnya.”
Oleh. Bunga Padi
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Sejak peristiwa bullying 2 tahun lalu yang dialaminya, Indah menarik diri dari pergaulan dan lebih banyak berdiam di rumah. Di saat yang sama, Covid-19 merebak ke seantero dunia. Wilayah tinggalnya pun telah disinggahi wabah, sehingga Indah tidak keluar rumah kecuali bila ada kebutuhan mendesak seperti pergi ke RS untuk berobat.
Indah mengisi hari-harinya dengan membaca buku, belajar, dan hal bermanfaat lainnya. Indah tak mau berlarut dalam kesedihan. Ya, ujian yang dialaminya begitu kompleks, mulai rumah tangganya hampir berantakan, di tambah sahabat yang toksik.
Ibarat pepatah sudahlah jatuh, tertimpa tangga pula, seperti itulah yang Indah rasakan. Indah mendapatkan perlakuan buruk dari sahabatnya sendiri yang bernama Grace. Selama ini tak ada yang kuat berteman dengan dia, kecuali Indah yang begitu sabar. Sampai suatu hari, kesabaran Indah benar-benar diuji olehnya.
Kala itu, Ibu Indah sakit keras. Semua keluarga di kampung mengharapkan Indah segera pulang karena khawatir tak bisa berjumpa dengan sang Ibu. Namun, Grace menghalangi-halangi kepulangannya. Ada saja alasan dan kebohongannya agar Indah menunda kepulangannya.
Namun, Indah bukanlah orang yang mudah menyampaikan rasa kecewanya pada Grace. Ia sangat menyayangi sahabatnya. Ia takut sahabatnya marah. Ironisnya, Indah bagaikan pundi emas bagi Grace selama ini. Ia telah dimanfaatkan oleh Grace.
Kehidupan Grace memang memprihatinkan, suaminya telah lumpuh, keenam anaknya butuh makan. Grace punya dua anak yang masih balita. Anak sulungnya berusia 13 tahun dan mengambil upah dengan menjadi loper koran. Penghasilannya memang tak mencukupi, tetapi sedikit bisa membantu. Grace juga menanggung beban hidup saudara dan mertuanya. Jadilah Grace sebagai tulang punggung keluarga.
Pada suatu hari, Indah meminta izin kepada semua sahabatnya untuk libur bekerja karena harus pulang menengok ibunya yang sedang sakit di kampung.
"Syafakillah ibunya, Mbak," ujar teman-teman Indah mendoakan kesembuhan untuk ibunya.
"Amin, ya, Allah."
"Insyaallah, Kamis lusa saya pulang kampung tengok Ibu," ujar Indah.
Tiba-tiba terdengar suara lantang bergema di ruangan itu.
"Tidak bisa izin. Mbak 'kan bisa teleponan!" kata Grace dengan menampakkan wajah sinis.
"Tapi Grace, hampir 6 bulan aku tak mengunjungi ibuku yang kini sedang sakit. Semua keluarga sudah berkumpul dan aku telah ditunggu kehadirannya." Indah menjelaskan.
"Mohon maaf, Mbak Indah. Pokoknya tidak ada alasan. Pekan depan tetap bekerja!" tegas Grace sambil berlalu menuju pintu keluar.
"Ya, Allah, Grace! Kamu kok tega banget sama aku," rintih Indah menangis pilu. Ada rasa kecewa yang teramat dalam atas sikap Grace.
Grace terkenal dengan kecerdasannya. Sayang, wataknya keras dan angkuh. Ia sulit menerima nasihat dan selalu merasa benar. Ia terus mengendalikan kehidupan Indah. Grace mau Indah selalu menuruti perintahnya.
Entah mengapa akhir-akhir ini, setiap kali melihat wajah Grace, Indah menjadi enek. Indah berusaha menyampaikan kepada teman yang lain. Berharap mendapatkan jalan keluar dan peka atas kondisi yang dialaminya. Ternyata, tidak sama sekali. Bahkan, ada teman justru menghakimi Indah karena tak memahami duduk persoalan yang sebenarnya.
Sementara di kampung, berkembanglah isu yang tak sedap. Seakan Indah anak durhaka yang tak peduli ibunya yang sedang sakit keras.
"Mbak Indah, kenapa belum pulang juga? Mbak tega, ya. Mbak lebih mementingkan pekerjaan daripada orang tua kita." Terdengar isak tangisan dari suara telepon. Indah pun tak kuasa menahan perih hatinya. Indah terus menjelaskan duduk persoalan sebenarnya yang terjadi kepada saudaranya di kampung.
Indah terus meminta maaf dan memohon ampun kepada ibunya. Ia berjanji selambat-lambatnya lusa sudah ada di kampung.
"Ibu yang sabar, ya…. Insyaallah Indah pasti pulang."
"Nanti kalau Indah pulang, mau bikin bubur kesukaan Ibu."
Dengan menahan perasaan sedih, Indah berbisik lembut lewat telepon kepada ibundanya.
Air mata Indah terus berderai dengan derasnya. Tiba-tiba pandangannya mengabur. Indah lalu rebah.
"Mbak Indah, bangun! Bangun, Mbak!" Sayup-sayup terdengar suara lembut memanggil. Indah membuka mata. Kini ia sadar telah terbaring di atas dipan miliknya.
"Alhamdulillah, sudah siuman. Tadi kamu pingsan." Widuri menjelaskan seraya mengembangkan senyumannya.
Beruntunglah Allah masih menyelamatkan Indah. Di tengah keterpurukannya, Indah berusaha bangkit. Ia terus mendekatkan diri pada Allah agar diberikan kekuatan hati. Suatu hari, ia membaca sebuah qoutes yang lewat di beranda Facebooknya yang menuturkan agar setiap diri harus mempunyai minimal satu keahlian. Indah diam sejenak berusaha mencerna pesan tersebut. Lalu mengingat-ingat apakah ia punya kebiasaan positif yang bisa dikembangkan.
☆☆☆
Lembayung oranye menyelinap di rimbun dedaunan. Indah agak kurang enak badan hari ini. Selepas salat Asar, ia beranjak ke peraduan untuk memanjakan tubuhnya seraya memasang headset di daun telinganya untuk mendengarkan ulang take vocal yang dibuatnya semalam.
Ada suara panggilan masuk ke telepon genggam miliknya. Indah terbangun dari tidurnya dan menoleh sekilas. “Eh, ternyata Kak Anne yang menelepon,” gumamnya. Ia pun segera mengangkatnya.
Terdengar ucapan salam dari kejauhan. Lalu Kak Anne bertanya kepada Indah.
"Apa yang kau ingin tanyakan Indah?"
Indah yang sedari tadi berusaha mengumpulkan kesadaran selepas bangun tidur, menjawab sekenanya. Matanya masih terasa berat seolah ada sebongkah batu yang menggantung.
" Duh lupa! Apa, ya, Kak Anne! Aku jadi lupa! Apa tadi, ya, yang mau aku sampaikan?” Mata Indah mendelik ke atas berusaha mengingat sesuatu.
"Baru bangun tidur? Kok sore-sore udah tidur sih In, tumben!" cecar Anne keheranan atas tingkah adiknya.
Setelah berbincang hangat dan sesekali diselingi jokes lucu, mereka pun tertawa lepas. Ada perasaan semringah menyelimuti hati Indah.
Seperti biasa Indah mulai merengek manja kepada kakak kesayangannya itu. Ada saja permintaannya untuk dikabulkan sang kakak.
"Kak Anne, boleh enggak Indah mengirimkan oleh-oleh? Indah belajar bikin ikan asin ke kampung nelayan."
"Masyaallah! Gak usah Indah, mahal ongkosnya, kasihan kamu. Lagian jika digoreng, baunya bikin muntah orang satu rumah," Anne menjelaskan.
"Indah, kau harus lebih semangat belajar dan berkarya. Jadilah bintang yang bersinar. Buktikan pada semua orang bahwa kau mampu!"
"Kau harus yakin dengan dirimu dan berani menaklukan dunia."
Seperti itulah cara Anne menasihati Indah yang disampaikannya via telepon dari kejauhan. Sementara di luar rumah, angin mengiringi lembayung senja tenggelam di balik bukit.
Masih jelas terekam di memori Indah serangkaian nasihat itu sebagai pemantik semangatnya.
Tak mau mengecewakan sang kakak kesayangannya, ia berjanji dalam dirinya akan rajin belajar dan mengikat dirinya dengan majelis ilmu.
☆☆☆
Kring … kring … kring
Nada dering terus berbunyi dari telepon genggam berwarna biru milik Indah.
Indah masih saja asyik menulis puisi. Maklum, dia lagi mengejar deadline event yang sedang diikutinya. Terusik suara telepon, ia pun melihatnya. Ternyata, Widuri, sahabatnya yang menelepon.
"Assalamualaikum, Indah sayang! Masyaallah, Indah! Kamu sekarang makin eksis, ya! Banyak sekali perubahannya. Aku turut bahagia melihat keadaanmu. Aku bersyukur dirimu kembali ceria dan ketawanya masih gak berubah." Begitulah Widuri memberondong Indah dengan sederet celotehnya.
Indah dengan ciri khasnya, hanya tersenyum semringah dari jauh.
"Syukron, ya Wid. Semua berkat dukungan dan doa kalian. Selepas pulang kantor, aku ikut kelas kepenulisan, podcast dan desain. Aku juga telah ikut kajian intensif Islam kaffah. Alhamdulillah. Keadaanku sekarang seperti yang kamu lihat. Kamu tetap semangat belajarnya. Kalian baik-baiklah di sana, ya!" pesan Indah pada Widuri.
Setelah puas ngobrol via WA, seperti biasa di akhir chattingan sebelum berpisah, mereka akan saling mendoakan dan meminta maaf.
Malam semakin larut. Suara jangkrik terdengar ramai di luar. Sesekali terdengar suara kodok. Ya, malam itu bumi baru saja menerima guyuran hujan yang menyejukkan. Seperti sejuknya hati Indah saat ini yang selalu bersyukur kepada Allah Swt. Meski ujian yang menimpa dirinya datang bertubi-tubi, ia harus sabar, ikhlas dan rida dengan takdir yang Allah tetapkan untuknya. Menyandarkan setiap urusan hanya kepada Allah semata. Seperti pada Firman-Nya dalam surah Al-Baqarah ayat 153: "Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah Swt. bersama orang-orang yang sabar."
Indah yakin semua ujian yang dialaminya beberapa waktu lalu adalah bentuk kasih sayang Allah padanya. Dia tidak mungkin menzaliminya. Allah menginginkan dirinya lebih dekat lagi dengan-Nya. Pasti ada hikmah dan kebaikan setelahnya.
Benar saja. Kini, Indah telah bahagia bersama orang-orang yang selalu mendukungnya dalam dunia literasi dan dakwah. Mereka menyayangi dan mendoakannya.
Tak hentinya Indah mengucap syukur dan berdoa,
"Selamat tinggal duka, izinkan aku bahagia selamanya," lirih Indah seraya mengurai senyum manisnya sambil beranjak ke atas ranjang. Ia kemudian terpejam dalam kedamaian.
Tamat[]
MasyaAllah,.makin tajam penanya.
Barakallah mb Isti ..ini cerpen oktober 2022 lalu...walau tulisan sendiri sy suka dg cerpen2 itu..maksih ya udah mampir mb sukses selalu untukmu aamiin
Mengunjungi cerpen ini kembali tanpa sengaja. Dulu merasa heran jika ada org berbicara ttng bully. Ternyata memang ada. Bahkan pelakunya bisa orang terdekat atau paling.dikenal si korban. Bully pun sifatnya bisa berupa perlakuan fisik atau verba (lisan) entah apa maksudnya mereka berbuat itu. Jika sj pelaku memahami islam dg baik tentu tdk akan mau melakukkan itu. Kasihan korban bully selalu alami trauma jika tdk ditangani segera atau iman yg kuat. Astagfirullah. Efek hidup di alam sekuler kapitalisme. Siapa pun bisa jadi korban.