“Tenang, Mbah. Semua ini juga bukan milik saya kok, tapi semua ini milik Allah Swt.. Jadi, Mbah engga perlu khawatir. Ini semua gratis.”
Oleh. Ru’yatan Bilhaq
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Dengan tubuh yang gemuk nan lunglai sembari membawa dua tas, Mbah Mar tetap semangat menempuh perjalanan jauhnya. Tujuannya tak lain hanyalah untuk menemui kerabatnya yang mungkin mau menerima dirinya untuk tinggal bersama.
Mbah Mar adalah seorang wanita tua yang berusia sekitar tujuh puluh lima tahun. Ia selalu menampakkan ketegaran dengan senyuman di wajah yang menyertainya. Mbah Mar ditakdirkan tidak memiliki anak seorang pun. Alhasil, ketika ia sudah menua, tidak ada yang bisa menjaga serta memenuhi keperluan hidupnya. Namun, ia tidak pernah sedikit pun mengeluh dengan takdir dirinya. Mbah Mar sangat paham bahwa semua yang menimpa dirinya, baik berupa kebahagiaan atau kepedihan, semua berasal dari Allah SWT, bukan dari selain-Nya.
Perjalanannya dimulai dari Kota Jember, Jawa Timur, tempat ia pernah mengarungi kehidupan panjang bersama suaminya. Dahulu sang suami senantiasa menjaganya dengan tulus. Namun, sekarang tidak lagi karena suaminya telah berpulang beberapa bulan yang lalu. Daftar pertama yang akan dikunjunginya adalah Kota Bekasi, Jawa Barat, tempat keponakannya tinggal. Dengan sedikit ketakutan yang dibalut keberanian, pada pukul delapan pagi, ia memutuskan pergi seorang diri dikarenakan tidak ada lagi yang mampu menemaninya. Setelah sebelas jam perjalanan, Mbah Mar sampai tujuan sekitar pukul tujuh malam dalam suasana udara yang dingin.
"Assalamu'alaikum ."
"Wa'alaikumussalam, sebentar!" Seseorang menjawab dari dalam rumah.
"Masyaallah, Bude! Silakan masuk, Bude,” sambungnya sambil mengecup tangan kanan Mbah Mar.
Keduanya pun duduk di ruang tamu yang hangat dikelilingi cahaya lampu menerangi. Mira yang tak menyangka Budenya bepergian seorang diri dalam perjalanan jauh langsung menyediakan minuman hangat agar Mbah Mar merasa hangat.
“Mir, mohon maaf, ya, sebelumnya. Bude ke sini punya maksud, Nak,” Mbah Mar memulai pembicaraan. “Maksud apa, ya, Bude?” tanya Mira santun.
“Kamu kan tau, Pakde meninggal beberapa bulan yang lalu. Bude kesepian, Nak, tinggal di sana. Tidak ada siapa-siapa juga. Jadi, rumah tersebut Bude jual dan uangnya Bude belikan emas buat tabungan. Kalau Bude mau ikut tinggal sama kamu, apa bisa, Nak?” terangnya.
“Assalamu’alaikum, Bude,” sambut Umar, suami Mira yang langsung duduk di samping istrinya.
Mira pun menjelaskan maksud tujuan Mbah Mar kepada suaminya. Tatapan kosong Mbah Mar seolah menggambarkan betapa besar harapannya bisa diterima di rumah ini.
“Jadi, gimana, Mas?” tanya Mira. “Ya, boleh, Bude. Kebetulan kami ada satu kamar yang kosong. Semoga Bude betah ya, tinggal di sini,” ucap Umar sopan.
“Alhamdulillah terimakasih, Nak, sudah bersedia mengizinkan Bude tinggal di sini,” syukur Mbah Mar dengan pancaran wajah bahagia.
Mbah Mar lalu langsung diantar ke kamar yang sudah dirapikan Mira sebelumnya. Setelah masuk, Mbah Mar langsung membersihkan diri dan berwudu untuk menunaikan salat Isya di kamarnya. Ia berzikir dan bermunajat kepada Rabb Yang Maha Pengasih.
Keesokan harinya, usai salat Subuh, Mbah Mar langsung menuju dapur untuk mengolah bahan makanan yang tersedia. Ya, Mbah Mar paling senang memasak dan masakannya pun terbilang enak. Ketika Mbah Mar, Mira dan sang suami sarapan di ruang makan, datanglah dua anak balita menggemaskan dari kamar dan langsung menghampiri kedua orang tuanya.
Setelah semua anggota keluarga selesai sarapan, mereka berkumpul di ruang keluarga, kecuali Mira yang berada di kamarnya sedang mempersiapkan diri untuk pergi bekerja.
“Bude, maaf, Mira pamit berangkat kerja dulu, ya. Anak-Anak di sini dijaga sama Ayahnya.”
“Oh, iya, hati-hati, Nak! Kalau Bude boleh tahu, kamu kerja di mana, Nak?”
“Di Bank, Bude. Banknya dekat dari sini kok.”
Dug!
Seketika hati Mbah Mar berdegup karena ia tahu betul riba itu haram. Tak ingin keponakannya terjerumus dalam kemaksiatan, ia pun segera mengingatkan keponakannya.
“Maaf ya, Nak, kok kamu kerja di bank? Memangnya kamu ndak tahu riba itu haram?”
“Tahu, Bude, tetapi mau gimana lagi? Suami belum juga dapat kerja karena faktor usia. Saat Mira ada tawaran kerja di bank, ya langsung diterima. Gajinya juga lumayan besar, Bude. Lebih dari cukup untuk rumah tangga sebulan.”
“Iya, Nak, tapi yang namanya riba itu jauh dari berkah, dosa besar. Bude doakan semoga dapat ganti yang lebih baik ya, Nak,” ucap Mbah Mar sambil mengusap pundak Mira.
“Iya, terima kasih doanya Bude. Mira berangkat dulu ya, Bude. Assalamu’alaikum.”
“Wa'alaikumussalam.”
Umar, sang suami yang mendengar percakapan itu langsung terngiang-ngiang akan ancaman dosa riba. Akhirnya, ia melarang istrinya untuk bekerja di bank. Mereka kemudian mulai menjalankan usaha.
Tahun berganti tahun, pendapatan usaha Mira dan suaminya dirasa mulai kurang untuk memenuhi keperluan rumah tangga. Mereka pun pindah ke rumah yang lebih kecil dari sebelumnya.
Pada suatu malam, Mira dengan sangat hati-hati mengucapkan permohonan maaf kepada Mbah Mar karena tidak bisa lagi mengajaknya untuk tinggal bersama dengan alasan kamar yang kurang. Padahal, sebenarnya ada alasan lain dibalik itu. Ya, Mbah Mar ternyata memiliki riwayat darah tinggi yang berpengaruh pada emosinya yang mudah terpancing ketika dua balita Mira membuat sedikit kesalahan. Tak ingin psikologi kedua balitanya terganggu, akhirnya Mira pun terpaksa memilih langkah ini. Mbah Mar menerima dengan lapang dada. Mbah Mar mulai memikirkan ke mana tujuan safar berikutnya.
Setelah salat Subuh, Mbah Mar memutuskan untuk pergi ke rumah kakak perempuannya yang bernama Mbah Nih. Mbah Nih memiliki anak tunggal perempuan bernama Nida. Nida adalah tulang punggung keluarga dikarenakan sang suami telah meninggal karena penyakit tumor di perut beberapa tahun lalu. Berbeda dengan Mbah Mar yang tidak memiliki anak bahkan cucu, Mbah Nih dikaruniai satu anak dan sepuluh cucu. Mbah Nih beserta anak cucunya tinggal di kota Serang, Banten. Mbah Mar pun diantar oleh Mira sekeluarga. Setelah dua jam perjalanan, mereka pun tiba.
“Mba Nida, aku minta maaf, ya, jadi ngerepotin kamu. Aku udah engga bisa lagi ajak Bude tinggal di sana, tapi nanti insyaallah aku bisa bantu kirim sedikit dana tiap bulan buat keperluan Mbah Mar,” ucap Mira dengan menyebutkan alasan sebenarnya.
“Iya, engga papa, Mir. Lagian juga rezeki udah diatur Allah Swt. Tugas kita hanya berusaha. Semoga Bude betah tinggal di sini.”
Setelah berbincang sebentar, Mira sekeluarga pamit untuk segera pulang. Nida dikaruniai anak yang cerdas lagi baik, kecuali seorang puteranya yang sering kali membuat onar. Dia sering kali berteriak-teriak di dalam rumah yang membuat seisi rumah terganggu. Para penghuni rumah sudah terbiasa dengan tingkah lakunya itu. Namun, tidak dengan Mbah Mar yang sangat terganggu dengan tingkahnya. Apalagi, teriakannya di waktu malam sering kali membuat Mbah Mar tidak bisa tidur.
Bulan berganti bulan. Mbah Mar akhirnya memutuskan untuk tidak tinggal di sana lagi. Nida yang bingung harus berbuat apa, akhirnya memohon maaf kepada Budenya di kursi teras rumah yang sederhana.
“Nida minta maaf, Bude. Anak saya satu itu susah dinasihati, padahal sudah besar,” ucap Nida merasa bersalah.
“Iya, Bude ngerti kok Nak. Yang sabar ya. Itu ujian buat kamu."
“Iya, Bude.”
“Mar, kamu mau pergi ke mana?” tanya Mbah Nih.
“Aku mau ke panti jompo aja Mbak Nih,” ucap Mbah Mar sambil menyeka air mata.
“Ya Allah, Mar! Aku minta maaf, ya, dengan kondisi cucuku yang begitu. Nanti kamu kasih kabar kalau sudah sampai. Kasih saja nomor Nida ke pihak sana, nanti biar mereka yang hubungi Nida.”
“Bude mau diantar sama aku?” Nida menawarkan.
“Engga usah, Nak, makasih. Bude engga mau ngerepotin kamu. Makasih, ya, udah izinkan Bude tinggal di sini.”
“Sama-sama, Bude. Hati-hati, ya, Bude.”
Setelah berpamitan, Mbah Mar memutuskan untuk pergi ke panti jompo yang ada di Bekasi dekat rumah Mira dengan menggunakan bus. Setelah bus sampai di terminal, Mbah Mar pun turun dan langsung duduk di bangku terminal. Mbah Mar yang sedikit kelelahan memutuskan untuk beristirahat sebelum melanjutkan kembali perjalanannya. Tiba-tiba seorang wanita muda bernama Qonita melihat Mbah Mar dari dalam mobilnya yang sempat melintasi terminal. Qonita pun turun dari mobil dan segera menghampiri Mbah Mar.
“Assalamu’alaikum, Mbah.”
“Wa’alaikumussalam, ada apa, ya, Nak?”
“Engga ada apa-apa kok, Mbah. Cuma tadi saya lihat Mbah dari kejauhan, sepertinya Mbah sedang kebingungan. Maaf, jika boleh saya tahu, sebetulnya Mbah mau pergi ke mana? Apa ada yang menemani Mbah?” tanyanya santun.
Mbah Mar pun menceritakan perjalanan yang ditempuhnya selama ini. Mendengar cerita Mbah Mar membuat Qonita menitikan air mata. Qonita adalah seorang wanita kaya salihah yang tinggal di Kota Bogor, Jawa Barat. Di usianya yang sudah 35 tahun, ia belum kunjung memiliki anak sehingga membuatnya diceraikan oleh sang suami beberapa tahun lalu. Meskipun ia adalah pewaris tunggal harta warisan kedua orang tuanya, tetapi ia tidak sombong. Bahkan, ia justru makin dekat dengan Rabbnya. Qonita yang tidak memiliki kerabat satu pun akhirnya membuat hotel lansia di samping kediamannya.
“Maaf, Mbah, kalau Mbah belum punya tujuan pasti, apa Mbah mau ikut tinggal dengan saya di kota Bogor? Insyaallah di sana adalah tempat yang baik buat Mbah. Mbah engga perlu khawatir. Di sana ada dua puluh orang yang sepantaran dengan Mbah yang sudah lama tinggal dengan saya.”
Bagai air di padang pasir. Betapa senangnya Mbah Mar mendengar kabar ini. Qonita yang cantik dengan hijab syar’i nya membuat Mbah Mar yakin dengan ketulusan Qonita. Mbah Mar pun memutuskan ikut dan keduanya langsung berangkat menuju kediaman Qonita. Betapa terkejutnya Mbah Mar begitu sampai di tujuan. Ia melihat gedung bertingkat tiga yang mewah berdiri di hadapannya.
“Assalamu’alaikum,” Qonita memberi salam pada rekannya yang duduk di meja resepsionis.
“Wa’alaikumussalam,” jawab rekannya.
“Teh, tolong beri kamar untuk Mbah Mar, ya!”
“Baik, Bu!”
Satu rekan yang lain pun datang untuk mengantar Mbah Mar ke kamarnya. Namun, Mbah Mar merasa tidak akan mampu membayar biaya tinggal di hotel lansia tersebut karena bekalnya yang sedikit.
“Nak, maaf, ya. Bukannya Mbah engga mau tinggal di sini, tapi uang Mbah engga bakal cukup untuk bayar ini semua,” Mbah Mar bicara pada Qonita.
“Tenang, Mbah. Semua ini juga bukan milik saya kok, tapi semua ini milik Allah Swt., Mbah. Jadi, Mbah engga perlu khawatir. Ini semua gratis.”
Seketika Mbah Mar menangis sesenggukan. Betapa bersyukurnya ia bertemu dengan seorang wanita yang baik dan ahli sedekah. Mbah Mar pun mengucap terima kasih kepada Qonita dan langsung menuju kamarnya.
Waktu menunjukkan pukul satu siang. Setelah melaksanakan salat Zuhur berjemaah dan makan siang dengan yang lainnya, Mbah Mar langsung menuju kamar untuk istirahat. Tak lupa ia sujud syukur atas kemudahan yang didapat sebelum beranjak tidur siang.
Dua tahun telah berlalu. Mbah Mar sudah terbiasa menjalankan aktivitas rutin di hotel lansia seperti salat Tahajud, salat wajib berjemaah, membaca ayat suci Al-Qur'an dan ibadah sunah lainnya sesuai dengan kesanggupannya. Namun, kini kondisi kesehatan Mbah Mar mengalami penurunan drastis. Qonita yang khawatir dengan keadaannya langsung menghubungi layanan kesehatan terbaik agar selalu standby di tempat untuk merawat Mbah Mar. Mbah Mar yang mendapat firasat waktu kematiannya telah dekat, lalu meminta Qonita untuk duduk di sampingnya. Qonita pun dengan senang hati melakukannya.
“Nak, Mbah mau bilang terima kasih banyak. Mbah engga bisa balas semua kebaikan ini, tapi Mbah doakan semoga Nak Qonita diberi jodoh yang baik serta keturunan yang saleh,” ucapnya lirih.
“Sama-sama, Mbah. Ini semua juga karunia Allah Swt. Terima kasih juga doanya, Mbah,” jawab Qonita sambil menitikan air mata.
Tak lama kemudian, Mbah Mar mengucap kalimat tauhid dengan lirih disusul kedua matanya yang terpejam. Qonita memegang tangan Mbah Mar yang mulai dingin.
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun,” ucap Qonita mengikhlaskan.
Tak berlama-lama, almarhumah Mbah Mar langsung segera dimandikan oleh Qonita dibantu beberapa rekannya. Jenazah Mbah Mar kemudian langsung disalatkan dan dimakamkan oleh Pak RT beserta jemaah masjid di sana. Tak lupa Qonita menghubungi kerabat Mbah Mar untuk memberitahukan hal tersebut dan seluruh kerabat pun mengikhlaskan serta turut mendoakannya.
Beberapa bulan kemudian. Seorang lelaki saleh datang melamar Qonita. Akhirnya, keduanya melangsungkan pernikahan dan perayaan secara syar’i. Tak lama berselang, Qonita yang sebelumnya sempat divonis mandul merasa sangat takjub begitu mengetahui bahwa dirinya sedang mengandung anak kembar berjenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Sebagai tanda syukur, Qonita dan sang suami membangun hotel lansia untuk pria yang berusia lanjut di samping kediamannya juga. Setelah kedua buah hatinya lahir dengan selamat, ia dan suaminya makin banyak memberi bantuan dan memberi bimbingan Islam untuk para lansia yang tinggal bersama mereka dan juga warga sekitar. Betapa indah kehidupan seorang hamba yang ahli sedekah. Memanglah benar bahwa Allah Swt. tidak akan pernah menyia-nyiakan kebaikan dari seorang hamba-Nya walau hanya sebesar biji sawi.[]