"Kapitalisme melahirkan manusia yang menjadikan manfaat sebagai tolok ukur hidupnya. Selama bisnis yang ditekuni menghasilkan pundi-pundi rupiah, tidak peduli lagi akan halal dan haramnya. Mereka tidak akan peduli sekalipun hal tersebut menghancurkan negara atau bahkan merusak generasi."
Oleh. Asyifa’un Nisa
(Aktivis dan Pegiat Literasi Islam)
NarasiPost.Com-Belum genap seminggu diangkat menjadi Kapolda Jawa Timur, Irjen Teddy Minahasa (TM) dipanggil dan diperiksa oleh Kadiv Propam Polri atas dugaan adanya transaksi barang bukti narkoba. Hal ini juga dibenarkan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit dalam konferensi pers di Mabes Polri, 14 Oktober 2022.(Tempo.com)
Tak hanya itu, dalam kasus yang sama Kapolri juga menjelaskan adanya keterlibatan 11 anggota polisi lainnya dengan pangkat dan kedudukan yang berbeda-beda dari Bripda, Kompol, AKBP hingga merujuk pada TM. Beberapa saat sebelumnya, nama TM sudah banyak dibicarakan orang karena didapuk sebagai anggota polisi terkaya dengan kekayaan mencapai Rp29 miliar. Dilansir dari situs elhkpn.kpk.go.id, TM tercatat hanya satu kali melaporkan harta kekayaannya ke KPK saat ia menjabat sebagai Kapolda Sumatera Barat, yakni pada 26 Maret 2022. Tentu ini merupakan nominal yang begitu fantastis untuk kekayaan seorang pejabat polisi dengan pangkat Irjen yang hanya memiliki gaji dan tunjangan tak lebih dari 50 juta per bulan. (cnbcindonesia.com)
Ini tentunya bukan kali pertama seorang anggota Polri terjerat kasus narkoba. Sebelumnya, terjadi penangkapan oleh personel Bidpropam Polda Jatim pada Senin (22/08/2022) terhadap Kapolsek Sukodono Sidoarjo, Jawa Timur, karena terbukti mengonsumsi narkoba. Masih di tahun yang sama pada pertengahan Mei lalu, Propam juga menangkap 136 anggota polisi yang menjadi pecandu narkoba.
Rententan kasus ini semakin mencoreng nama institusi Polri dan mencederai kepercayaan masyarakat. Bahkan hal ini sudah sangat bertentangan dengan UU no 2 tahun 2002 pasal 13 yang mengatur tentang tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu : a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; dan c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Polisi yang seharusnya mampu mengayomi dan menegakkan hukum, justru menjadi pelaku kejahatan itu sendiri.
Perkara ini jelas sudah tidak bisa lagi dikatakan sebagai _human error_ atau kesalahan individu, melainkan kondisi kerusakan yang tersistem, baik dalam tubuh polri maupun dalam sistem kapitalis hari ini. Kapitalisme sebagai cara pandang yang hari ini diterapkan hampir di seluruh dunia sangat mengakomodasi lahirnya para pecandu, bandar, hingga mafia besar narkoba. Dalam acara PPATK 3rd Legal Forum di Jakarta, Sri Mulyani pernah menjelaskan perputaran uang gelap terbesar di dunia saat ini ditempati oleh narkotika, yang besaran estimasi _value_ keuangan ilegalnya mencapai US$ 344 atau Rp5.300 triliun per tahun. (tempo.co)
Keuntungan berlipat hingga peredaran uang yang begitu pesat dalam bisnis ini tentu sangat menggiurkan di mata masyarakat dan penegak hukum sekalipun. Terlebih dengan kondisi populasi Indonesia yang begitu berlimpah, sukses menjadi pasar peredaran narkoba. Tak heran jika angka kasus terkait narkoba senantiasa mengalami peningkatan tiap tahunnya. Selama 2021 hingga pertengahan 2022, BNN telah berhasil mengungkap 55.392 kasus tindak pidana narkoba dan 71.994 orang tersangka, dengan mengamankan barang bukti narkoba berupa 42,71 ton sabu-sabu; 71,33 ton Ganja; 1.630.102,69 butir ekstasi; dan 186,4 kg kokain. Peningkatan terjadi hingga hampir 20 kali lipat dibandingkan dengan data periode tahun 2016-2019 yang hanya berkisar 3.764 kasus narkoba. (bnn.go.id)
Peningkatan ini juga didukung oleh sistem hukum kapitalis yang tidak akan menghasilkan efek jera, bahkan parahnya lagi anggapan “hukum bisa dibeli” sudah menjadi rahasia umum saat ini. Bobroknya sistem hukum juga diperparah dengan keterlibatan oknum lembaga penegak hukum sebagai tersangka yang berulang kali terjadi. Inilah fakta kerusakan yang lahir dari rahim kapitalisme, dan tidak akan mampu diselesaikan oleh ideologi itu sendiri sampai kapan pun. Kapitalisme melahirkan manusia yang menjadikan manfaat sebagai tolok ukur hidupnya. Selama bisnis yang ditekuni menghasilkan pundi-pundi rupiah, tidak peduli lagi akan halal dan haramnya. Mereka tidak akan peduli sekalipun hal tersebut menghancurkan negara atau bahkan merusak generasi.
Lebih dari itu, penyalahgunaan dan peredaran narkoba terus terjadi karena sistem hidup yang melingkupi masyarakat saat ini. Sistem Kapitalis yang berakidah sekuler pada akhirnya memancarkan landasan hidup liberal, sehingga berperan besar dalam menjerumuskan generasi ke dalam atmosfer hidup yang penuh dengan kebebasan. Maka, satu-satunya solusi adalah dengan mengganti sistem kapitalime yang bercokol hari ini dengan sistem sahih yang lahir dari tuntunan wahyu Ilahi, yakni sistem Islam.
Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna memiliki seperangkat aturan yang mampu menyolusikan segala problematika. Hal ini dimulai dengan mewujudkan tiga unsur pokok, yakni ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan peran negara yang menegakkan aturan beserta sanksi tegas. Penyalahgunaan dan peredaran narkoba jelas terkategori sebagai aktivitas yang diharamkan di dalam Islam. Efek halusinasi, mabuk ataupun fly yang pengguna rasakan menjadi dasar sebagian ulama untuk mengategorikan narkoba sebagai barang haram sebagaimana khamar.
Menyadari hal ini, individu masyarakat akan menjauhi penyalahgunaan narkoba karena ketaatannya kepada Allah Swt. Sebagaimana Allah Swt. telah berfirman dalam QS Al-Maidah: 90, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, judi, berhala-berhala, panah-panah (yang digunakan untuk mengundi nasib) adalah kekejian yang termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah ia agar kamu mendapat keberuntungan.”
Ibnu Umar juga telah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Setiap yang muskir (memabukkan) adalah khamar, dan setiap yang muskir adalah haram.” (HR. Muslim)
Selain itu, aktivitas amar makruf nahi mungkar yang menjadi suatu kewajiban akan melahirkan kontrol masyarakat terhadap segala bentuk penyimpangan syariat. Sehingga tidak lagi ditemukan mental individualis di tengah-tengah masyarakat. Sistem persanksian di dalam Islam yang tegas dan menimbulkan efek jera juga menjadi unsur terakhir yang mampu memberantas permasalahan terkait narkoba. Maka, jelas bahwa sistem Islam yang berlandaskan akidah Islam akan melahirkan individu dan masyarakat yang bermental takwa sekaligus melahirkan pemimpin dan aparatnya yang takwa lagi amanah dalam mengurusi umat sesuai dengan syariat Ilahi.
Hadanallahu waiyyakum, Wallahu a’lam bishawwab.