”Inilah hasil sistem demokrasi yang hanya menghasilkan pejabat minim empati alias tidak peka terhadap nasib dan kebutuhan rakyatnya. Dari awal mencalonkan diri memang bukan untuk memenuhi amanah terhadap rakyat, melainkan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, dan partainya.”
Oleh. Wa Ode Mila Amartiar
(Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Salah satu bukti hipokrisi alias kemunafikan sistem demokrasi adalah dengan seringnya mengadakan aneka proyek yang hanya menguntungkan para pejabat. Baru-baru ini, rencana pengadaan proyek 100 unit televisi ukuran 43 inci yang akan ditempatkan di ruang kerja anggota dewan, memicu tanggapan negatif oleh publik. Berdasarkan pernyataan Sekretaris Jendral DPR, Indra Iskandar, bahwa anggaran untuk proyek ini sebesar Rp1,5 miliar. (CNN Indonesia, 4/10/2022)
Pengadaan proyek ini jelas sangat kontradiktif di tengah kondisi masyarakat yang baru saja pulih dari pandemi. Diperparah dengan kondisi masyarakat yang sedang mengalami kesulitan ekonomi, akibat dampak kenaikan harga BBM baru-baru ini. Bukankah pemerintah seharusnya lebih mengutamakan kebutuhan yang dapat dirasakan langsung oleh seluruh rakyat? Miris, anggaran sebesar itu hanya bisa dinikmati segelintir orang saja.
Sungguh kebijakan ini sangat tidak adil! Selama ini, pemerintah selalu menganggap rakyat sebagai beban negara dengan menyatakan, dana subsidi BBM membebani APBN, bahkan tunjangan pensiun para ASN pun dianggap menjadi beban negara. Sebaliknya, anggaran gorden sebesar Rp43,5 miliar, rencana pengadaan kalender Rp955 juta, pergantian AC untuk rumah dinas sebesar Rp3,03 miliar, dan pengadaan proyek-proyek lain yang bernilai fantastis tidak pernah dianggap sebagai beban negara.
Di Mana Eksistensi para Wakil Rakyat?
Peran wakil rakyat semakin hari mulai melenceng dari tugasnya. Mereka sudah tidak mewakili aspirasi rakyat dalam mengkritik dan memberi masukan pada penguasa. Lembaga legislatif diharapkan menjadi perwakilan masyarakat agar pemerintahan tidak disalahgunakan oleh eksekutif. Namun sebaliknya, rakyat harus kecewa karena faktanya, wakil rakyat sekarang justru mewakili rakyat dalam menikmati kemewahan yang tidak bisa dicicipi oleh rakyat.
Di mana hati nurani para anggota dewan, ketika banyak rakyat miskin yang terlantung-lantung di jalan akibat tidak sanggup memenuhi kebutuhan pokoknya? Mereka justru sibuk melengkapi aneka fasilitas mewah, padahal mereka mengikuti rapat pembahasan anggaran untuk rakyat. Mirisnya lagi, pengadaan proyek seperti ini sangat rentan menjadi peluang tindakan korupsi. Sekali lagi, rakyat harus kecewa melihat tingkah para wakil rakyat yang hanya bisa menghambur-hamburkan uang negara.
Para wakil rakyat seharusnya mengencangkan ikat pinggang saat situasi pelik seperti ini. Bukankah rakyat harus dijadikan prioritas? Seharusnya anggaran sebesar itu dapat digunakan secara bijak dengan membuat kebijakan yang dapat mengurangi kesulitan hidup rakyat. Bukankah seharusnya para wakil rakyat menjadi garda terdepan dalam mewujudkan aspirasi rakyat? Salahkah jika saat ini publik mempertanyakan fungsi para wakil rakyat? Karena faktanya, akhir-akhir ini kebijakan yang dibuat selalu merugikan rakyat, namun hanya menguntungkan para oligarki.
Demokrasi Melahirkan Kebijakan Minim Empati
Rakyat hanya bisa mengelus dada saat APBN digunakan untuk proyek yang tidak bermanfaat bagi mereka. Padahal menurut IDEAS (Institute for Demographic and Proverty Studies), menyatakan bahwa terdapat delapan juta lebih rakyat terkategori miskin ekstrem. Artinya, kemiskinan sampai taraf harus menunda makan karena tidak punya uang. Di saat yang sama, hati rakyat meringis saat mengetahui besaran gaji dan tunjangan para anggota dewan. Ibarat langit dan bumi, begitulah demokrasi berhasil menciptakan kesenjangan yang begitu tajam antara hidup pejabat dan rakyat.
Lagi pula pengadaan TV ini apakah benar-benar sepenting itu, hingga harus menguras APBN di saat ekonomi negara sudah sangat terbebani dengan utang dan bunga? Apakah gaji dan tunjangan puluhan juta yang diterima, tidak bisa dialokasikan untuk pengadaan TV? Mengapa selalu membebankan APBN, yang sumber pemasukannya sebagian besar berasal dari pajak rakyat. Sekali lagi, rakyat dicekik dengan pajak demi memenuhi hasrat para kapitalis di negeri ini.
Dengan dalih agar kerja optimal, para anggota dewan sering kali mengadakan proyek yang kontradiktif di tengah karutnya permasalahan bangsa. Faktanya, ini bukanlah proyek pertama yang memperlihatkan hilangnya rasa empati para pejabat di negeri ini. Sebelumnya kita melihat adanya proyek baju dinas, mobil dinas, kalender, pengadaan gorden, dan seabrek proyek fasilitas mewah yang menguras APBN demi kenyamanan hidup para pejabat. Tanpa malu memakai uang rakyat, namun selalu membuat kebijakan yang menyengsarakan rakyat.
Demokrasi Sistem Cacat Membawa Malapetaka
Inilah hasil sistem demokrasi yang hanya menghasilkan pejabat minim empati alias tidak peka terhadap nasib dan kebutuhan rakyatnya. Dari awal mencalonkan diri memang bukan untuk memenuhi amanah terhadap rakyat, melainkan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, dan partainya. Jika ada pejabat yang masih memiliki hati nurani itu hanya segelintir orang, dan mereka pun akan tergerus dan tersingkir.
Kondisi ekonomi negara sudah mulai memasuki jurang resesi. Kekayaan alam habis dikerut asing atas nama investasi. Rakyat dipalak atas nama pajak namun dananya hanya mengalir ke kantong-kantong para pejabat dan partainya. Hukum dapat diperjualbelikan, mereka yang berduit bisa menutup mulut demi memperkuat kekuasaan. Kebijakan dapat diatur sesuai keinginan rezim yang berkuasa. Sadarlah! Sungguh, inilah fakta yang terjadi hasil sistem demokrasi yang hanya mengandalkan akal manusia.
Sistem Islam Menjadikan Rakyat sebagai Prioritas
Sistem Islam mempunyai seperangkat aturan mulai dari akidah Islam sebagai landasan dalam bernegara, dengan penerapan hukumnya yang paripurna. Khilafah ditegakkan dalam rangka menerapkan syariat Islam secara kaffah demi mewujudkan kesejahteraan umat. Sistem ekonomi Islam mengharamkan kepemilikan publik dikuasai asing maupun swasta, sehingga kebutuhan umat terpenuhi dengan tuntas. Rasulullah saw. bersabda, “Kepala negara adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang diurus.” (HR. Al-Bukhari)
Jelas bahwa amanah penguasa seperti dalam hadis adalah memelihara urusan rakyat dengan menjalankan hukum-hukum syariat. Pemimpin berperan sebagai peri’āyah, yakni memelihara semua urusan rakyat, seperti menjamin pemenuhan kebutuhan pokok; pendidikan; kesehatan; dan keamanan secara gratis. Bahkan, sistem Islam menganggap pemimpin laksana pelayan bagi rakyat.
Dalam sistem pemerintahan Islam, lebih memprioritaskan proyek yang benar-benar bermanfaat untuk rakyat banyak. Bukan aneka proyek mubazir yang hanya dinikmati segelintir orang, apalagi hanya menguntungkan para pejabat maupun oligarki. Dalam mengadakan perencanaan proyek harus dikaji secara mendalam agar bermanfaat bagi rakyat dan tidak sia-sia. Tidak seperti sekarang, banyak proyek mangkrak dengan biaya membengkak namun minim manfaat. Ditambah lagi, pengadaan proyek tersebut dananya bersumber dari pajak dan utang ribawi.
Dalam Daulah Islam, pajak hanya diberlakukan saat kondisi negara dalam keadaan krisis. Bahkan, pungutan pajak akan dibebaskan kepada rakyat yang tidak mampu dan yang telah berusia lanjut, baik muslim maupun ahludz dzimmah (kafir yang berada dalam naungan Khilafah). Berbeda dengan sistem kapitalisme, semua warga termasuk orang miskin tetap dikejar-kejar pajak dan terkena sanksi jika terlambat membayar. Bahkan salah satu menterinya pernah menyindir, warga yang enggan membayar pajak sebaiknya tidak tinggal di negeri ini.
Dalam sistem Islam, para pejabat negara membatasi jaminan hidup demi memprioritaskan kesejahteraan rakyat. Seperti Khalifah Umar bin Khattab r.a. yang menolak menerima tunjangan hidup dari Baitulmal untuk keluarganya, karena ingin hidup sederhana seperti Rasulullah Muhammad saw. Sikap bijaksana sebagai seorang pemimpin yang meninggalkan kehidupan mewah demi kesejahteraan rakyat merupakan anjuran Rasulullah Muhammad saw. dalam sabdanya:
“Tidak halal Khalifah memiliki harta dari Allah, kecuali dua piring saja. Satu piring untuk kebutuhan makannya bersama keluarganya dan satu piring lagi untuk ia berikan kepada keluarganya.” (HR. Ahmad)
Adakah Wakil Rakyat dalam Sistem Pemerintahan Islam?
Dalam Khilafah terdapat instansi pemerintah yang bernama Majelis Umat, yang bertugas melakukan muhasabah pada penguasa. Majelis Umat selalu hidup bersama rakyat, sehingga mereka tahu betul dan ikut merasakan dampak dari kebijakan yang dibuat penguasa.
Selain bertugas sebagai muhasabah, Majelis Umat juga memiliki tugas syura, yaitu memberi masukan pada penguasa. Anggota Majelis Umat merupakan representasi rakyat karena masukan yang diberikan benar-benar mencerminkan suara rakyat.
Anggota Majelis Umat tidak bersifat mengikat karena mereka bukan pegawai negara, sehingga tidak memiliki wewenang membentuk anggaran. Posisi mereka tidak akan bisa dimanfaatkan untuk aktivitas bagi-bagi proyek, aksi suap menyuap, dan tindakan ilegal lainnya.
Anggota Majelis Umat, dalam menjalankan tugasnya memiliki acuan yang sama dengan Khilafah, yakni melaksanakan syariat Islam kaffah. Hal ini akan menciptakan harmoni antara penguasa dengan anggota Majelis Umat dalam menegakkan hukum Islam, demi mewujudkan kesejahteraan rakyat. Alhasil, realitas buruk wakil rakyat dalam sistem demokrasi tidak akan terjadi dalam sistem Islam.
Khatimah
Fenomena para wakil rakyat yang minim simpati ini bukan ulah para oknum semata, namun merupakan produk sistem demokrasi kapitalis. Sistem yang memberikan hak membuat hukum pada manusia telah menjadikan suara para anggota dewan laksana suara Tuhan yang wajib dilaksanakan. Sistem sekuler terbukti gagal menghadirkan para wakil rakyat yang mampu mewujudkan aspirasi rakyat. Sebaliknya, sejarah membuktikan bahwa sistem pemerintahan Islam menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas dengan menghadirkan pemimpin dan pejabat-pejabat negara sebagai sosok yang arif dan bijaksana.
Wallahu a’lam bishshawab.[]