“Haris sudah berdamai dengan luka masa lalunya. Ia dan Mutia telaten merawat wanita yang telah melahirkannya itu. Haris ingin mewujudkan harapan kakeknya. Sekuat tenaga dibangunnya rasa kasih sayang yang pernah sirna untuk sang ibu. Ia mengajak ibunya bicara apa saja. Menemaninya sambil tadarus Al-Qur’an. Haris seakan ingin menebus waktu yang telah hilang bersama Marini, ibunya.”
Oleh. Dwi Indah Lestari
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- “Enak ta, Vin?” tanya Haris.
Bocah lelaki umur 9 tahun itu duduk di lantai. Sambil menyandarkan punggungnya pada kusen pintu depan rumah, matanya tak lepas dari Davina yang duduk di kursi kayu yang ada di teras, tidak jauh darinya.
“Nikmat sekali sepertinya es krim itu,” batin Haris.
“Uenak puol! Kowe pengen njajal, ta?”1) Davina melirik Haris.
Gestur tangannya seperti menawarkan es krim yang digenggamnya. Mata Haris terbuka lebar. Raut harap terpancar. Davina tersenyum sinis.
“Tukuo dhewe! 2) Ha ha ha,” ledek Davina tertawa keras.
Ditariknya kembali es krim yang sesaat lalu diulurkan pada Haris. Lalu dengan sengaja dia menjilati lelehan benda beku itu penuh semangat. Sengaja memamerkan kenikmatan yang dirasakannya pada Haris. Slruup… slurrp. Suara mulutnya seakan mengejek Haris yang hanya bisa mengusap sudut bibirnya.
Haris tertunduk. Perih tiba-tiba dirasakan di dadanya. Bocah itu berdiri pelan, lalu melangkah masuk. Tak dihiraukannya lagi teriakan Davina yang mulai mengejeknya.
“Cah kere!”
Ledekan Davina tak mengurungkan langkahnya untuk menjauh dari sepupunya itu. Faktanya memang begitu. Haris sadar diri.
…….
“Piye kabare, Le?3)” Suara lembut di ujung telepon itu sangat dikenal Haris.
“Apik, Buk,4)” jawab Haris sekenanya.
Sementara Mutia, adik perempuannya, tampak tak sabar ingin ikut bicara. Ditarik-tariknya kaus putih kusam yang dikenakan Haris.
“Mas, Aku tak ngomong karo Ibuk,5)” pintanya sedikit merengek.
“Nyoh.6)” Tanpa ragu Haris menyerahkan handphone jadul milik pakliknya kepada Mutia.
Mutia sigap mengambil hp itu dengan gembira. Tak lama kemudian ia telah asyik berbicara dengan sang ibu. Haris memilih masuk ke kamar tidurnya. Ia menjatuhkan tubuh kurusnya di atas dipan berkasur kapuk tipis. Suara ceria adiknya masih didengarnya. Kadang disertai tawa lepas gadis manis kelas 1 SD itu. Tak tahan, Haris mengambil bantal dan menutupkan pada wajahnya. Ia benci suara itu.
………………
“Shadaqallaahul ‘adziim.” Haris mengakhiri mengajinya sore itu.
“Mocomu wis apik, Le7),” puji Kiai Fahri.
Haris tersenyum senang. Dilihatnya kiai sepuh yang adalah kakeknya itu juga tersenyum padanya. Tulus. Mata bijaknya memancarkan kebanggaan.
“Ibukmu mau telpon, ta, Le?8)” tanya Kiai Fahri lembut.
Senyum Haris seketika surut. Dipalingkan wajahnya ke arah luar jendela tanpa kaca yang ada di surau sederhana milik kakeknya. Wajahnya memerah. Hawa panas menjalari raut tampannya. Kiai Fahri menangkap kemarahan yang membakar cucu kesayangannya itu. Diraihnya pundak Haris ke dalam pelukannya. Sendu. Haris lirih terisak di dada sang kakek. Air matanya membasahi baju koko cokelat susu sang kiai karismatik itu.
…….
Sudah dua tahun ini Haris dan Mutia ditinggal sang ibu ke Arab Saudi. Sejak itu kepahitan merundung keduanya. Kakeknya lalu mengamanahkan mereka untuk dirawat oleh adik ibunya, Paklik Harso. Lelaki yang berprofesi sebagai PNS di salah satu instansi pemerintahan daerah itu sendiri telah berkeluarga dan memiliki dua orang anak perempuan. Usia keduanya tak jauh berbeda dengan Haris dan Mutia. Bahkan Berliana, anak bungsunya, sekelas dengan Mutia.
Meski kini diasuh pakliknya, Haris dan Mutia mendapat perlakuan yang baik. Paklik Harso berusaha adil membagi kasih sayang pada anak kandung dan kedua keponakannya. Ia juga yang mencukupi kebutuhan sekolah Haris dan Mutia. Namun, Haris tahu diri. Ia tidak ingin memberatkan paklik yang sudah menampung dirinya dan adiknya. Karena itu, berapa pun yang diberikan ia tak pernah mengeluh. Meski jiwa kanak-kanaknya kadang menginginkan apa yang dimiliki anak-anak lainnya.
Ia ingin juga makan es krim seperti yang dimakan Davina, kakak Berliana. Namun, ia tidak berani meminta pada paklik atau kakeknya. “Ojo nganti diwenehi ati ngrogoh rempelo!”9). Itu pesan yang selalu diingat dari ibunya sebelum meninggalkan Haris dan Mutia. Pun ketika Davina mengejeknya “kere” , Haris tak hendak membalas. Ya, ia sadar hidupnya bergantung belas kasih orang lain.
Bapak Haris sudah meninggal sejak ia berusia 5 tahun. Kata ibunya, bapaknya Haris meninggal karena sakit Hepatitis. Ia tak tahu apa itu. Yang jelas, Haris hanya bisa melihat wajahnya lewat foto saja. Dari cerita kakeknya, Haris tahu bapaknya adalah seorang ustaz sekaligus guru di madrasah. Setahun setelah ditinggal mati suaminya, Marini, ibunya Haris, berhubungan dengan seorang lelaki berprofesi sebagai sopir truk.
Kiai Fahri, sang ayah, tak merestui hubungan itu. Namun, entah mengapa Marini seperti telah dibutakan cinta. Ia bersikukuh akan menikah dengan sopir truk ikan itu. Apalagi laki-laki itu memang pandai mengambil hati gadis berparas ayu yang pernah nyantri di salah satu pondok pesantren terkenal di Jawa Timur. Orang tua Marini berusaha menyadarkan sang putri, tetapi sia-sia. Marini makin dimabuk cinta hingga ia memilih kawin lari dengan Bejo, si sopir truk.
Sebenarnya bukan tanpa alasan Kiai Fahri menolak memberikan restu. Ia bisa melihat perangai buruk Bejo. Dari berbagai informasi kenalannya, Bejo ternyata gemar berjudi dan mabuk-mabukan. Beberapa kali bahkan tertangkap polisi karena mengendarai truknya ugal-ugalan dalam kondisi mabuk. Entah apa yang dilihat Marini dari sosok Bejo. Apa karena raut ganteng dan tampilannya yang macho ?
Setelah mendapati Marini kawin lari dengan Bejo, Bu Mariyam, sang ibunda, bersumpah tak rida bila Marini dan suaminya menginjakkan kaki di rumahnya lagi. Baginya, Marini sudah mati. Sayangnya, hingga sang ibu meninggal, Marini, tak sempat meminta maaf. Ia bagai hilang ditelan bumi. Meninggalkan kedua anaknya dengan luka yang teramat dalam.
………………..
“Le, piye-piye wae, kuwi tetep ibumu. Kowe ora oleh durhaka. Tetep kudu mbok hormati. Kudu tetep mbok ajeni.10)” Nasihat Kiai Fahri terasa hampa di telinga Haris.
Bocah lelaki itu hanya menunduk. Matanya berkabut. Sekuat tenaga ia tahan agar mendung tebal yang menggantung di netranya tak jatuh. Rasa sakit di dadanya makin menguat.
“Mbah ngerti, kowe lara ati. Iki ujianmu, Le.11)” Sesaat kiai sepuh itu berhenti berbicara.
Punggung lengannya mengusap bening air yang tak mampu dicegahnya luruh dari matanya. Ia pun merasakan sakit yang sama. Putri yang sangat dicintainya tega berkhianat demi seorang lelaki asing. Bahkan rela menukar kasih sayang sejati kedua orang tuanya dengan cinta semu yang membabi buta. Rindu dan marah menyesaki dada kiai berusia 90 tahun itu.
“Ojo nganti kowe durhaka karo ibumu, Cah Bagus.12)” Kiai Fahri meneruskan wejangannya.
Haris spontan mendongak.
“Sinten ingkang durhaka, Mbah? Kulo nopo Ibuk?13)” gugat Haris.
Bola mata cokelat itu menatap tajam pada kakeknya. Kiai Haris makin terpukul mendengar kata-kata cucu lelaki satu-satunya itu.
“Ibuk sampun mboten sayang kalih kulo lan Dik Muti. Nopo nggih kulo kedah bakti kaliyan Ibuk, Mbah? Niku mboten adil,14)” tuntut Haris penuh amarah.
Dengan sayang Kiai Fahri mengusap pundak Haris lembut.
“Le, tiap orang menanggung dosanya sendiri-sendiri. Begitu pula tiap orang dibebani kewajibannya sendiri-sendiri.” Sejenak Kiai Fahri menghela napas.
“Kamu jadi anak, tugasmu bakti kepada orang tua. Ibukmu juga punya kewajiban menyayangi anak-anaknya. Allah tidak pernah lalai. Allah pasti adil. Di Yaumil Hisab nanti masing-masing mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri,” tutur Kiai Fahri melanjutkan nasihatnya.
Haris mendengarkan saja wejangan kakeknya dengan saksama. Meski hatinya belum mampu menerima sepenuhnya. Ia tak ingin meneruskan protes pada kakek yang sangat dihormatinya itu. Ia tahu Kiai Fahri juga kecewa seperti dirinya.
Setahun kemarin, Marini sempat kembali ke rumahnya. Sendiri. Bejo sudah mati karena overdosis. Ternyata selain suka mabuk ia juga pemadat. Marini pulang dengan membawa gunungan utang Bejo. Ia meminta tolong pada ayahnya untuk membantunya melunasi. Kalau tidak, ia akan terus diteror oleh preman-preman yang disuruh orang yang diutangi Bejo.
Kiai Fahri sangat murka. Marini rupanya belum menyadari kesalahannya. Kedatangannya hanya untuk minta tolong menyelesaikan masalahnya saja. Bahkan kata maaf tak sedikit pun keluar dari mulutnya. Kiai Fahri makin terluka saat melihat penampilan Marini. Meski bajunya masih panjang, tetapi kerudungnya sudah lenyap entah kemana. Wajah cantik alami Marini tertutup make up tebal. Marini benar-benar sudah berubah.
Kiai Fahri berusaha menahan amarahnya. Namun, Marini seakan tak peduli. Dalam benaknya yang penting utangnya lunas. Ia malah tidak menanyakan kabar kedua anaknya sama sekali. Pikirannya hanya sibuk mencari pinjaman. Sayang, ia tidak berhasil melunakkan hati sang Ayah karena kelakuannya itu. Kiai Fahri sekali lagi mengusirnya pergi. Marini keluar dengan membawa dendam pada keluarganya. Lalu, terdengar kabar ia menjadi TKW ke Arab Saudi.
………………….
15 tahun kemudian.
Seorang pemuda berparas tampan dan berkulit putih tengah duduk di sebuah bangku lorong sebuah rumah sakit. Ia sedang asyik bermain ponsel hingga tak menyadari kehadiran sosok gadis berkerudung hitam dan bergamis kuning kunyit yang melangkah mendekatinya.
“Assalamu’alaikum, Mas.” Sapa gadis berwajah manis itu.
Raut pemuda itu seketika terangkat.
“Wa’alaikumsalam. Wis bar kuliahe, Dik?15)” tanyanya.
Gadis itu mengangguk. Lalu duduk di samping sang pemuda.
“Mas Haris ndang mulih, wae. Gantian aku sing njogo Ibuk.
Sampeyan ana jadwal ngajar to saiki?16)” kata sang gadis.
Pemuda itu adalah Haris yang kini berusia 24 tahun. Haris juga telah berhasil menuntaskan pendidikan Sarjana di salah satu Universitas Negeri di Jawa Timur. Saat ini, ia mengajar di salah satu SMK yang ada di kotanya. Selain itu, ia juga mengelola sebuah lembaga bimbingan belajar yang cukup sukses. Hari-harinya pun disibukkan untuk mengajar di Madrasah yang ada di kampungnya.
Kiai Fahri telah tiada. Sebelum menghembuskan napas terakhir, kakek yang disayanginya itu menitipkan pesan.
“Haris, jadilah anak yang saleh. Ibumu telah gagal menjadi wanita salihah. Kamu tidak boleh terjebak mengulangi hal yang sama. Apa yang dilakukan ibumu, tidak boleh kamu balas dengan perbuatan serupa. Yakinlah Allah Maha Adil. Baktimu pada ibumu, mungkin akan menjadi penolong baginya dan bagi Mbah di hari akhir nanti.” Air mata kiai sepuh itu tumpah membasahi pipi dan janggut putihnya.
Haris yang duduk di samping ranjang di mana Kiai Fahri terbaring menghadapi sakratulmautnya itu pun banjir air mata. Sebentar lagi ia akan kehilangan sosok pengayom yang mencintainya dengan tulus itu.
“Maafkan Mbah, ya, Cah Ganteng. Mbah sudah gagal mendidik Ibumu. Astagfirullah…. Semoga Mbah tidak gagal lagi mendidik kamu. Jadilah anak saleh, Le. Tolonglah Mbah dan ibumu ini.” Isak Kiai Fahri penuh kepiluan.
Tak lama kemudian, kiai yang sangat dihormati oleh warga kampung itu pun menutup mata menghadap Sang Maha Agung.
……………….
Sebelum pulang, Haris menengok Ibunya, Marini, yang kini tengah dirawat di rumah sakit. Setelah 10 tahun merantau di Negeri Arab, Marini akhirnya pulang. Wajah cantiknya terlihat sangat renta. Gurat lelah dan penderitaan terlukis jelas di sana. Tubuhnya kurus. Kulit putihnya pun terlihat kusam. Tak ada oleh-oleh apa pun yang dibawanya dari berkarir menjadi TKW. Kedatangannya ke sana secara ilegal, membuatnya sering mendapat majikan yang memperlakukannya layaknya budak.
Haris menerima kedatangan sang ibu dengan hati dingin. Ibunya datang saat kondisinya sudah semrawut. Sementara dahulu ia bersenang-senang tanpa memikirkan nasib kedua anaknya. Berbeda dengan Haris, Mutia justru menyambut Marini dengan gembira dan tangan terbuka. Keduanya langsung akrab. Marini sadar diri atas sikap dingin anak lelakinya. Ia tahu telah menggoreskan sayatan yang dalam pada hati Haris. Karenanya, ia menerima saja saat Haris terlihat masih menjaga jarak darinya.
Kini, Marini tengah terbaring sakit. Sudah 3 bulan lamanya. Komplikasi penyakit jantung, paru-paru, dan diabetes telah menggerogoti raganya. Keadaannya makin hari bukan bertambah baik. Bahkan kini ia hanya bisa tidur telentang saja di atas ranjang. Kedua anaknyalah yang merawatnya setiap hari. Memandikannya, mengganti pakaiannya, mengajaknya berjemur di pagi hari dengan kursi roda, serta menyuapinya.
Haris sudah berdamai dengan luka masa lalunya. Ia dan Mutia telaten merawat wanita yang telah melahirkannya itu. Haris ingin mewujudkan harapan kakeknya. Sekuat tenaga dibangunnya rasa kasih sayang yang pernah sirna untuk sang ibu. Ia mengajak ibunya bicara apa saja. Menemaninya sambil tadarus Al-Qur'an. Haris seakan ingin menebus waktu yang telah hilang bersama Marini, ibunya.
“Dik Mutia, nanti kalau ibuk bangun, segera didulang makan saja, ya. Jangan lupa obatnya diminumkan,” pesan Haris pada adiknya, Mutia.
Mutia mengangguk. Haris meraih tangan kanan Ibunya. Lalu diciumnya penuh takzim punggung tangan keriput itu.
“Saya pulang dahulu ya, Buk. Insyaallah nanti habis magrib, balik lagi, nemenin Ibuk,” bisik Haris di telinga Marini yang tampak tertidur.
“Kulo sayang kalih Ibuk,17)” bisik Haris sekali lagi.
Matanya kembali berkaca-kaca. Setelah mencium kening ibunya lembut, Haris melangkah pergi. Tak dilihatnya butiran bening yang meluncur dari sudut mata Marini yang masih tertutup. Dada Marini terasa lapang. Beban berat di jiwanya lenyap tak bersisa. Hatinya dipenuhi ketenangan luar biasa.
Tiba-tiba dirasakannya, tubuhnya menjadi begitu ringan.
“Ya, Allah, Aku siap. Laa ilaha illallaahu….” sangat lirih hatinya berbisik. Marini pun terbang.
*) Keterangan:
1) Enak banget! Kamu ingin mencoba?
2) Beli sendiri!
3) Bagaimana kabarnya, Nak?
4) Baik.
5) Mas, Aku mau bicara sama ibu.
6) Nih!
7) Bacaanmu sudah bagus, Nak.
8) Ibumu tadi telepon, ya, Nak?
9) Jangan sampai dikasih hati minta empedu.
10) Nak, bagaimana pun itu tetap ibumu. Kamu tidak boleh durhaka. tetap harus Kamu hormati. Tetap harus dihargai.
11) Mbah tahu, kamu sakit hati. Ini ujianmu, Nak.
12) Jangan sampai Kamu durhaka pada ibumu, Anak Baik.
13) Siapa yang durhaka, Mbah? Saya atau Ibu?
14) Ibu sudah tidak sayang sama Saya dan dik Mutia. Apa iya Saya harus berbakti kepada ibu, Mbah? Ini tidak adil.
15) Wa’alaikumsalam. Sudah selesai kuliahnya, Dik?
16) Mas Haris segera pulang saja. Aku yang ganti menjaga ibu. Kamu ada jadwal mengajar, kan, sekarang?
17) Saya sayang sama Ibu.