Penjaga Muruah

"Pemuda itu kembali memegang tangan Dasman. Dia tersenyum sambil mengarahkan pandangannya ke arah Amir dan Nisa. Sebuah isyarat dari pemuda itu pada Dasman. Kasihan jika harus menolak uang itu. Ya, pemuda itu sengaja melakukan hal itu untuk menjaga muruah seorang bapak di hadapan kedua anaknya."

Oleh. Isti Rahmawati
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com- Malam makin gelap. Jalanan yang padat kini lengang ditinggalkan para pejuang kehidupan. Tak hanya gelap, angin malam menghantarkan rasa lelah dan penat manusia pencari receh demi bertahan hidup.

Dasman, lelaki paruh baya dengan gurat hitam di pelipis mendorong gerobak dengan berat. Langkahnya lambat. Otot betisnya terlihat kencang mendorong gerobak rongsokan di usia yang tak lagi muda. Di sampingnya, berjalan tergopoh-gopoh, Nisa dan Amir mengikuti langkah beratnya.

“Pak! Banyak botol yang kita dapat hari ini?” tanya Nisa.
“Ya, lumayan buat beli beras.”
“Yah. Katanya bapak mau beliin aku robot kecil itu.”
“Sudah besar, Mir. Sekali pun ada duitnya sayang dipakai beli mainan,” timpal Nisa bijak.
“Ya, sekali-kali boleh ‘kan, Pak?”
“Iya, Mir, tetapi terlalu malam. Toko sudah pada tutup,” jawab Dasman.

Alasan yang cukup mempan untuk menunda keinginan Amir. Bocah berusia delapan tahun itu tak sekolah seperti kakaknya. Jangankan untuk sekolah, mainan harga lima ribu terasa sayang untuk dibeli.

Ketiganya berjalan menuju rumah yang letaknya di Pela-Pela,Tanjung Priok. Sebuah kawasan kumuh yang letaknya tak jauh dari megahnya Jakarta Internasional Stadium. Potret pilu nasib manusia rantau yang tak punya tempat pulang. Menempati tanah milik PT. KAI yang tak lama lagi akan dibersihkan. Namun, rumah petak berukuran 3x4 itu sudah sangat cukup untuk melepas penat ketiganya. Ya, Narwati, ibu Nisa dan Amir sudah lama meninggal karena penyakit TBC.

Jarak ketiganya mencari botol dan barang bekas lumayan jauh. Setidaknya 30 kilometer bisa mereka tempuh dalam sehari. Tak ikut merasakan rasanya mengantre pertalite di pom bensin atau harga bensin yang terus naik. Jika bisa memilih, tentu naik kendaraan akan lebih memudahkan mereka mengais rezeki meski harus ikut merasakan mahalnya harga BBM.

“Pak, lihat! Pom bensin sekarang mengapa penuh terus, ya?”
“Ya, kalau mereka beli di pom mini jadi sedikit. Harganya mahal.”
“Bapak tahu? Kan bapak gak punya motor atau mobil,” celetuk Amir polos.
“Mir, Mir, biar kita gak punya kendaraan, BBM naik, ya semua naik.”
“Masa iya Pak?” Amir keheranan.
“Mir, emangnya beras telur itu diangkutnya pake apa? Mobil ‘kan? Mobilnya pake bensin ‘kan? Masa Air comberan.” Nisa terkekeh.
“Ih Mbak!”

Gadis remaja berwajah manis itu sering menggoda adiknya. Sambil sesekali membetulkan kerudung, dia terus mendorong gerobak bersama Dasman. Lelah memang, tetapi hidup harus terus berjalan.


Kehidupan keras ibu kota menempa Amir dan Nisa menjadi anak yang tak banyak menuntut. Meski begitu, Dasman sering merasa sesak melihat nasib kedua anaknya kelak. Tak ingin membuat mereka seperti dirinya, rasanya tidak mungkin. Lebih parah, mereka harus menginjak panasnya aspal ibu kota sejak kecil.

Amir dan Nisa lahir di ibu kota. Dasman dan Narwati memutuskan untuk pindah ke ibu kota empat tahun setelah menikah. Empat tahun hidup berdua di ibu kota, Allah karuniakan dua anak yang lahir dibantu paraji desa.

Keempatnya hidup dengan kesederhanaan. Meski begitu, kesederhanaan bagi keluarga Dasman hanya bisa dipenuhi jika kedua anaknya tak bersekolah. Nisa pernah merasakan bangku sekolah hanya sampai kelas lima. Saat itu, Narwati kecewa pada suaminya, tetapi ibukota memang tak ramah bagi mereka. Dasman terpaksa meminta Nisa mundur dari sekolah.

Setiap hari, Narwati dan Nisa memilah barang bekas yang dikumpulkan Dasman dan Amir. Sambil memilah, Narwati sering bercerita banyak tentang kampung halaman.

“Ibu, kalau sudah sehat mau ke mana?” tanya Nisa.
“Ibu mau pulang ke Banyumas, Nduk! Tempat kelahiran ibu. Berlarian di tengah sawah. Ngangon kerbau punya kakekmu. Meski susah, ibu ingin pulang.”
“Ibu harus rajin minum obat kalau mau balik ke kampung.” Nisa memberi nasihat sambil menyodorkan dua pil besar. Obat yang harus diminum penderita TBC selama enam bulan.

Amir dan Narwati saling memandang. Keinginan Narwati tampaknya seperti khayalan bagi mereka. Amir selalu sibuk menghitung ongkos bus, angkot, dan becak untuk sampai di kampung halaman. Setidaknya tiap orang harus membayar 350 ribu rupiah, berarti harus ada 1,4 juta rupiah untuk bisa pulang.

Narwati sudah empat bulan tergolek lemah di atas ranjang. Tubuhnya kian kurus dan napas makin cepat. Obat rutin gratis dari puskesmas ternyata tak cukup jika tak dibarengi dengan makanan sehat dan cukup. Dasman hanya mampu memberi mereka nasi dan lauk seadanya.

Itulah pesan terakhir Narwati yang diingat Dasman dan kedua anaknya. Bahkan, sampai napas terakhirnya, Dasman tak mampu membawa istrinya itu ke kampung. Narwati dikuburkan di TPU Sungai Bambu, Tanjung Priok.


“Pak! Aku mau beli nasi goreng. Bapak sudah janji malam ini kita beli nasi goreng di lampu merah, tapi nasi goreng ayam, ya, Pak”
“Iya, ayo! Kita memang belum makan.” Dasman berjanji.

Karena masih jauh, Amir masuk ke dalam gerobak besi. Gerobak besi warna biru itu tampak karatan di segala sisi. Pegangannya pun hampir patah karena karat. Tak lupa tergantung tas kumal berisi botol air mineral yang telah diisi ulang beberapa kali. Mukena berwarna kuning cokelat lusuh dan sarung berwarna biru juga terlipat rapi di dalam tas.

“Jangan lupa salat, Nduk! Hidup susah tetap harus bersyukur,” pesan Narwati waktu itu.

Sepanjang jalan, mereka melewati banyak gedung besar. Sesekali, Narwati berlari kecil melihat tong sampah. Barangkali masih ada botol atau kardus yang masih bisa dikumpulkan.

Langit malam itu cerah meski gelap. Bintang seolah berebut mencari tempat untuk menunjukkan cahaya paling indah untuk manusia di bumi. Sambil mendorong, sekelebat wajah Narwati hadir dalam benak Nisa.
"Aku rindu" desah Nisa.

Nisa dan Dasman sudah lama tak lagi membahas tentang kepergian Narwati. Keduanya seolah merasa bersalah satu sama lain jika mengingat Narwati. Akhirnya, Narwati benar-benar hilang dalam kehidupan mereka saat ini.

“Beres, Pak?” seorang penjaga gedung berteriak sambil mengangkat tangan kanannya.
“Beres, Mas,” balas Dasman ramah.

Masih ada orang baik di dunia ini. Orang yang menganggap ada kehadiran manusia pengumpul botol. Penjaga gedung itu meski berpakaian rapi bak seorang polisi, hidupnya mungkin susah. Gaji bulanannya habis dibayarkan cicilan. Belum lagi untuk membayar iuran bulanan asuransi kesehatan negara yang tak gratis, uang bensin, dan utang ke warung langganan. Semua punya masalah.

PLUK

Sebuah botol plastik air mineral jatuh dari jendela sebuah mobil Fortuner putih. Mobil itu lanjut melesat meramaikan Jalan Nusantara yang mulai sepi. Mungkin botol itu sengaja dilemparkan dari jendela setelah melihat Dasman dan gerobak besinya. Sebuah niat baik hati tanpa adab. Dasman sudah biasa. dia sudah tak lagi membahas bagaimana sikap orang padanya. Baginya, mendapatkan botol sekarung penuh, alhamdulillah sudah lebih dari cukup.

Nisa, dia malah tersenyum dan tak merasa ada yang salah dari aksi melempar botol dari mobil. Nisa memang polos.

“Pak! Ada botol lagi,” pekik Nisa.

Sudah hampir satu jam ketiganya berjalan menyusuri Jalan Nusantara. Sekitar tiga puluh menit lagi menuju Perkampungan Pela-Pela. Tepat seratus meter di ujung jalan, ada kios nasi goreng yang buka. Penjual nasi goreng yang diinginkan Amir tadi.

“Di depan itu, Pak!”
“Iya, Mir,” jawab Dasman singkat.
“Pakai ayam, Pak. Jangan lupa.”

Amir yang semula duduk di dalam gerobak, sekarang berdiri memandangi kios nasi goreng. Matanya berbinar. Kulitnya yang hitam membuat bola matanya terlihat bulat sempurna.

Nasi Goreng Sinar Terang, namanya tertulis jelas di spanduk berukuran 2x3 meter. Aroma bawang putih yang ditumis bersama mentega tercium sangat wangi. Suara katel dan sutil yang beradu menambah ramainya suasana malam itu.

“Tunggu di sini,” pinta Dasman.
“Aku mau lihat,” Amir lagi-lagi berulah.
“Di sini saja sama Mbak. Banyak pembeli di sana. Malu bajumu kotor, Mir.”

Amir memeriksa bajunya dari atas sampai bawah. Tak lupa juga mencium area kedua ketiaknya. Asam. dia pun mengangguk tanda setuju.

Dasman mendekati meja tempat memesan nasi goreng. Langkahnya ragu karena malu melihat pembeli lain yang tampak lahap menyantap sepiring nasi goreng dengan berbagai toping . Ada seafood , ati ampela, ayam, hingga petai. Tepat dua meter tempat Dasman berdiri, ada tiga orang pemuda tengah khusyuk berbincang sambil sesekali menyuapkan nasi.

“Mau pesan nasi goreng satu, Mas.”
“Satu porsi?” tanya penjual meyakinkan.
“Iya. Berapa?”
“Tujuh belas ribu, Pak.”

Dasman spontan mengambil uang di saku kanannya. Sejak tadi, dia lupa memeriksa uang yang ada di sakunya. Dengan susah payah, akhirnya dua lembar uang yang teremas itu berhasil dikeluarkan. Dia refleks menghitung uang itu. Hanya ada satu lembar uang sepuluh ribu dan dua ribu. Kurang.

“Mas, kalau dua belas ribu bisa?”
“Wah, gak bisa, Pak.”
“Kalau polos bisa?”
“Iya bisa, Pak.”
“Nasinya banyakin bisa?”

Penjual nasi goreng itu mengangguk sambil tersenyum. Dasman terpaksa memesan nasi goreng polos. Keinginan Amir melahap nasi goreng dengan toping ayam pupus. Dia pun menghampiri Amir dan Nisa yang masih menunggu di samping kios.

“Hari ini nasi goreng polos dahulu, ya?”
“Yah, kemarin kan polos, bapak kan udah janji belikan aku nasi goreng ayam.”

Meski tak bicara, raut wajah Nisa berubah. Mungkin dia ingin protes seperti Amir, tetapi tak tega melihat bapaknya.

Ternyata, salah satu pemuda yang duduk dekat meja kasir tak sengaja mendengar pesanan Dasman. Dia mengikuti dan menghampirinya setelah mendengar Amir protes. Pemuda itu menepuk bahu Dasman.

“Pak, bapak jatuhin uang ini, ya? Bapak yang pesan tiga porsi nasi goreng ayam ‘kan?” ucap pemuda itu sambil menyodorkan uang seratus ribu. Selembar uang itu terlipat rapi.

Merasa tidak menjatuhkan uang, Dasman refleks mendorong pelan tangan pemuda itu. Dia justru makin memaksa Dasman menerima uang itu.

“Ini, tadi saya lihat bapak menjatuhkan uang ini.”
“Beneran, Pak? Bapak pesan tiga porsi nasi goreng ayam?” tanya Amir semringah.
“Betul, Pak?” Nisa menimpali.

Pemuda itu kembali memegang tangan Dasman. Dia tersenyum sambil mengarahkan pandangannya ke arah Amir dan Nisa. Sebuah isyarat dari pemuda itu pada Dasman. Kasihan jika harus menolak uang itu. Ya, pemuda itu sengaja melakukan hal itu untuk menjaga muruah seorang bapak di hadapan kedua anaknya.

“Makasih, Mas.” Dasman mengambil uang itu dengan cepat.
“Sama-sama, Pak. Itu nasi gorengnya jangan lupa,” pesan pemuda itu.

Amir dan Nisa semringah. Satu porsi yang biasanya dihabiskan bertiga, malam ini satu porsi dimakan sendiri. Tak hanya dua anak itu, Dasman pun sama girangnya. Malam ini dia bisa membelikan keinginan sederhana anaknya. Makan satu porsi nasi goreng toping ayam.

“Terima kasih banyak orang baik,” desah Dasman.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Isti Rahmawati S.Hum. Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Yakinlah Ukhti, Jodoh Pasti Bertamu!
Next
Memutus Kekerasan terhadap Perempuan yang Tak Kunjung Usai
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram