"Aku sudah siap meninggalkan dunia ini, meninggalkan saudara juga teman, aku mulai meneguk minuman kematian, terus terucap zikirku hanya pada Allah. Sungguh aku tak tahu ke manakah jiwaku sedang berjalan, apakah ke surga yang harus kuucapkan selamat, ataukah ke neraka sehingga aku harus berduka." (Imam Syafi'i)
Oleh. Najwa Tsaqeefa R.
(Pelajar Cinta Islam dan Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Di dalam Islam kita mengenal ada empat tokoh pendiri mazhab. Salah satunya adalah Asy-Syafi'i, yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Syafi’i. Dalam urutannya, beliau merupakan tokoh ketiga yang sebagian orang menganggapnya sebagai pemersatu perselisihan dari pemikiran dan pendapat yang ada pada dua mazhab sebelumnya, yaitu Mazhab Hanafi dan Maliki.
Menurut pendapat para ahli sejarah, beliau dilahirkan di kota Gaza, Palestina, yang sampai sekarang masih dijajah oleh bangsa Yahudi, pada tahun 150 H atau 767 M. Meski di antara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan bahwa beliau lahir di Asqalan, yaitu sebuah kota yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza.
Namanya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy Syafi'i Al-Muththalibi Al-Qurasyi. Imam Syafi'i masih termasuk kerabat dari Rasulullah, beliau termasuk dalam Bani Muththalib, yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim, yang merupakan kakek Nabi Shalallahu alaihi wasallam. Beliau telah yatim sejak kecil, ayahnya telah meninggal semenjak beliau masih bayi. Beliau dibesarkan hanya oleh ibunya, dan ketika beliau berusia 2 tahun, ibundanya membawanya pindah ke Makkah dan menetap di sana bersama dengan keluarganya yang masih ada.
Kala itu, Idris bin Abbas menyertai istrinya, Fatimah al-Azdiyyah, dalam sebuah perjalanan yang jauh menuju kampung Gaza, Palestina. Yang bertepatan pada saat itu kaum muslimin sedang berperang membela negeri Islam di kota Asqalan. Pada saat itu, Fatimah sedang mengandung, Idris bin Abbas yang sangat bergembira dengan hal ini pun berkata, "Jika engkau melahirkan seorang bayi laki-laki, maka akan kuberi nama ia Muhammad, dan akan aku panggil ia dengan nama dari salah seorang kakeknya, yaitu Syafi'i bin Asy-Syaib." Dan ketika Fatimah melahirkan, terkabullah apa yang dicita-citakan suaminya. Anak itupun diberi nama Muhammad, dan dipanggil dengan nama "asy-Syafi'i".
Imam Syafi'i dikenal sebagai anak yang cerdas. Beliau bercerita, "Al-Qur'an telah kuhafal saat usiaku tujuh tahun, dan aku pun menghafal Al-Muwaththa' saat umurku sepuluh tahun." Pada masa sebelum balig, beliau bahkan sudah dipercaya untuk mengajarkan ilmu dan mengeluarkan hasil ijtihadnya. Selama di Makkah, Imam Syafi’i menimba ilmu fikih kepada mufti di sana, yaitu Muslim bin Khalid Az-Zanji yang mengizinkannya memberi fatwa meski masih berusia 15 tahun.
Tak hanya itu, ia juga berguru kepada Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga kepada pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’i, serta Sufyan bin Uyainah. Gurunya yang lain dalam bidang ilmu fikih adalah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Fudhail bin Al-Iyyadl, Sa’id bin Salim, dan masih banyak yang lainnya. Dengan begitu dalam beberapa tahun duduk dalam majelis ilmu para ulama fikih tersebut, ia makin menonjol dalam bidang fikihnya.
Saat usianya ke 13 tahun, ibu Imam Syafi'i mengirim ia pergi ke kota Madinah untuk belajar langsung kepada ulama besar saat itu, yaitu Imam Malik. Ia mengkaji dengan cemerlang kitab Muwattha’ karya Imam Malik dan menghafalnya hanya dalam waktu 9 malam. Imam Syafi’i juga meriwayatkan hadis-hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudhail bin Iyyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’i, serta yang lainnya.
Setelah wafatnya Imam Malik, Imam Syafi’i lalu pergi ke Yaman. Di sana ia mendatangi ulama-ulama Yaman, seperti Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan yang lainnya. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanannya ke Irak dan di sana ia banyak mengambil ilmu dari murid-murid Imam Abu Hanifah, seperti Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fikih di negeri Irak. Juga dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi serta ulama yang lainnya.
Imam Syafi'i mewariskan ilmu yang bermanfaat kepada generasi berikutnya, sebagaimana apa yang diwariskan oleh para nabi. Imam Syafi'i telah menulis kitab-kitab yang sangat bermanfaat untuk umat setelahnya, salah satunya adalah Ar-Risalah, yaitu buku tentang ushul fiqh pertamanya yang spektakuler, dan kitab Al-Umm yang fenomenal tentang mazhab barunya. Sedangkan kitab Al-Hujjah, adalah kitab mazhab lamanya yang diriwayatkan oleh empat Imam Irak, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, serta Al-Karabisyi. Serta kitab Jima’ul Ilmi.
Murid Imam Syafi'i sangatlah banyak, mereka umumnya menjadi tokoh dan ulama umat Islam di antaranya adalah, Imam Ahmad bin Hanbal, Ahli Hadis sekaligus Ahli Fikih dan Imam Ahlus Sunnah sesuai kesepakatan kaum muslimin, Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’faran, Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi, Ishaq bin Rahawaih, Harmalah bin Yahya, Sulaiman bin Dawud Al-Hasyimi, dan masih banyak lainnya.
Perbedaan mazhab dalam Islam adalah keindahan Islam itu sendiri. Para pendiri mazhab adalah para ulama yang berilmu luas dan tawaduk, mereka tak berniat mendirikan sebuah mazhab dan menjadikan nama mereka sebagai mazhab tersebut. Mereka adalah para ulama yang gemar berdiskusi dan bertoleransi dalam melihat perbedaan.
Imam Syafi'i dianggap berhasil mengambil hal terbaik di antara perselisihan dan perbedaan yang telah lama terjadi antara Mazhab Hanafi yang mengedepankan qiyas dengan Mazhab Maliki yang lebih mementingkan hadis dan menggunakan qiyas hanya pada masalah yang tak ada nasnya. Hal ini tidak terlepas dari faktor bahwa Imam Syafi'i telah banyak belajar dari Imam Malik dan juga banyak berdiskusi dengan tokoh-tokoh Mazhab Hanafi semasa beliau di Baghdad.
Beliau, Imam Syafi'i tidak hanya ahli dalam bidang ilmu fikih. Akan tetapi ia juga mempelajari keterampilan berkuda dan memanah, sebagai bukti pemahamannya terhadap surat Al-Anfal ayat 60 yaitu seorang muslim harus melakukan persiapan apa pun untuk membela Islam. Beliau sangat jitu dalam memanah, bahkan dikisahkan bahwa 9 dari 10 tembakan panahnya selalu tepat sasaran.
{ وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن قُوَّةٖ وَمِن رِّبَاطِ ٱلۡخَيۡلِ تُرۡهِبُونَ بِهِۦ عَدُوَّ ٱللَّهِ وَعَدُوَّكُمۡ وَءَاخَرِينَ مِن دُونِهِمۡ لَا تَعۡلَمُونَهُمُ ٱللَّهُ يَعۡلَمُهُمۡۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡءٖ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ يُوَفَّ إِلَيۡكُمۡ وَأَنتُمۡ لَا تُظۡلَمُونَ }
"Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan)."
Selain itu, Imam Syafi'i juga piawai dalam membuat syair. berbagai jenis syair telah beliau buat, baik dari tema tentang ilmu juga tentang persahabatan. Berikut adalah salah satunya:
تعلم فليس المرء يولد عالما وليس اخو علم كمن هو جاهل
"Belajarlah kalian! Tak ada seorang pun yang dilahirkan sebagai seorang seorang Alim, dan ahli ilmu tidaklah sama dengan seorang yang bodoh."
Pada bulan Rajab tahun 204 hijriah, Imam Syafi'i wafat akibat penyakit wasir yang dideritanya hampir empat tahun. Kesibukannya dalam dakwah, pengajaran serta penulisan kitab-kitabnya di Mesir membuatnya tak menghiraukan penyakitnya. Baik siang ataupun malam, ia meneliti, berdiskusi, juga mengkaji. Ia menahan sakit demi ijtihad-ijtihadnya, hingga ia berhasil menulis empat ribu lembar.
Pada satu hari masuklah murid beliau yang bernama Al-Muzani untuk menghadap beliau dan menanyakan kabarnya,
"Bagaimanakah keadaan anda wahai guruku?" Jawab Imam Syafi'i "Aku sudah siap meninggalkan dunia ini, meninggalkan saudara juga teman, aku mulai meneguk minuman kematian, terus terucap zikirku hanya pada Allah. Sungguh aku tak tahu ke manakah jiwaku sedang berjalan, apakah ke surga yang harus kuucapkan selamat, ataukah ke neraka sehingga aku harus berduka."
Dan pada malam itu, malam Jumat menjelang subuh, pada hari terakhir di bulan Rajab, imam besar itu pun meninggalkan dunia yang fana ini. Pada tahun 204 hijriah atau 809 Masehi, di usianya yang ke 52 tahun, di Mesir. Dunia berutang banyak atas ilmu yang telah beliau wariskan kepada generasi Islam sampai saat ini. Maka sudah saatnya pemuda Islam bangkit dari keterpurukannya dan mulai kembali membuka sejarah hidup para ulama terdahulu untuk mengambil ilmu dan pelajaran, dan kemudian mengamalkannya hingga jati dirinya sebagai generasi terbaik kembali bisa diraih.
Wallahu a'lam bishshawab.[]