"Anehnya masih saja ada orang yang bersemangat mengikuti kontestasi pemilu. Padahal yang akan diwarisinya adalah setumpuk utang dan segudang persoalan. Sistem di negara ini sudah bobrok mulai dari pangkalnya. Siapa pun pemimpinnya takkan berpengaruh signifikan selama kebobrokan di pangkal tak diatasi."
Oleh. Nisrina Nitisastro
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Jika ada lomba negara penyelenggara pemilu terbanyak, mungkin Indonesia-lah juaranya. Pada 2024 nanti Indonesia akan menggelar begitu banyak pemilihan umum. Masih satu setengah tahun lagi tapi hawa panasnya sudah terasa hari ini.
Pemilu direncanakan diadakan pada 14 Februari 2024 untuk pemilihan presiden dan wakil presiden, juga anggota DPR-RI, DPD-RI, serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Sementara pilkada bakal digelar 27 November 2024. Dalam pilkada akan dipilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota di seluruh Indonesia.
Seberapa meriahkah perhelatan 2024? Untuk pilkada saja, sebanyak 272 kepala daerah berakhir masa jabatannya pada 2022 dan 2023 mendatang. Mereka yang resign sebelum pemilihan akan digantikan oleh Plt. (pelaksana tugas) hingga pemilu serentak 2024. Dari 272 itu, rinciannya adalah 24 gubernur, 248 bupati dan wali kota.
Artinya, di tahun 2024 akan dilaksanakan setidaknya 272 pilkada. Jumlah ini belum termasuk pemilihan presiden dan wakil, juga pemilihan anggota DPR-RI, DPRD, dan DPD. Pertanyaannya, seberapa jauh kita bisa berharap Pemilu 2024 akan membawa perubahan? Seperti memegang kenop pintu, rakyat membuka pintu dengan harap-harap cemas apa yang akan dijumpai di 2024.
Pemilu Penuh Risiko
Perhelatan besar ini memiliki beberapa titik kritis yang harus diperhatikan. Para pelaksana tugas akan ditentukan oleh menteri dalam negeri melalui mekanisme penunjukan langsung. Hal ini ditengarai dapat menjadi celah jejaring oligarki meluas ke daerah yang selama ini belum terambah. Kuasa Mendagri jadi bertambah kuat yang bisa jadi nantinya memengaruhi jalannya pilkada serentak di daerah-daerah. Wewenang para pelaksana tugas pun tidaklah seluas dan seefektif gubernur. Pastinya nanti akan ada banyak hal yang tidak dapat diputus oleh seorang pelaksana tugas akibat keterbatasan wewenangnya. Jika demikian, kemungkinan masalah-masalah tersebut akan naik ke Mendagri untuk diselesaikan di tingkat pusat. Ini bukan tanpa risiko. Akan terjadi penumpukan masalah di pusat yang akhirnya tidak semua dapat diselesaikan.
Pada Pemilu 2019 lalu, Indonesia menghabiskan dana sekitar Rp25 triliun dengan realisasi Rp23 triliun. Angka itu melonjak tiga kali lipat menjadi Rp76,6 triliun untuk Pemilu 2024. Pembengkakan anggaran yang luar biasa mengingat ratusan pemilu dijadikan satu.
Pemilu dan Pilkada 2024 bukan sekadar pemungutan suara di hari-H, melainkan serangkaian tahapan yang panjang. Berkaca pada Pemilu 2019 lalu, berbagai persoalan muncul, mulai dari ketidaksiapan KPU menyediakan sarana yang memadai semacam kotak suara kardus, tali ties dan gembok “lucu” hingga insiden tewasnya secara misterius 700-an anggota KPPS di seluruh Indonesia. Belum lagi penghitungan suara yang tak kunjung rampung hingga setahun lebih. Pemilu dianggap tuntas dengan makan nasi goreng bersama di antara pemimpin dua kubu.
Sementara pembelahan yang terjadi di antara pendukung dua kontestan kian tajam. Pembelahan itu terus berlangsung walau kedua calon kini sudah bersatu. Publik pun bertanya-tanya: pemilu kemarin sebenarnya untuk apa?
Bukan tidak mungkin jumlah pemilih di 2024 akan menurun drastis. Pada pilkada serentak di Desember 2020 lalu, jumlah golput terbilang tinggi. Bahkan angka golput di beberapa daerah lebih tinggi daripada perolehan suara pemenang. Di Medan, Depok, dan Kediri, misalnya, pilkada dimenangkan oleh “golput”.
Di Kota Tangerang Selatan, hampir 50 persen warga yang memiliki hak pilih tidak menggunakan hak pilihnya, begitu juga di Denpasar, Bali. (Merdeka.com 17/12/2020)
Berkaca pada hal ini, tren golput bisa saja meningkat. Besarnya jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilih menunjukkan legitimasi yang rendah pemenang pemilu. Tetap legal, tapi tidak legitimate. Ditambah lagi, Mahkamah Konstitusi akan kebanjiran kasus sengketa pemilu. Rekapitulasi perhitungan suara akan terus digugat oleh mereka yang kalah. Pertikaian di akar rumput dan perpecahan horizontal menjadi niscaya. Saling klaim dan saling lempar ujaran kebencian bertambah. UU ITE menemukan “bumi”-nya.
Betapa mahal social cost pemilihan umum di negeri ini. Pembangunan jadi tersendat. Pikiran dan tenaga para elite terkuras mengejar kursi.
Tidak Membawa Perubahan
Tak peduli betapa besar upaya yang telah dilakukan, pemilu mendatang tidak signifikan meningkatkan kualitas hidup rakyat. Justru sebaliknya. Harga-harga semakin tinggi dan kehidupan kian sulit. Rezim sekarang telah mengunci pemerintahan berikutnya begitu rupa sehingga tidak bisa keluar dari kemelut yang ada hari ini.
Utang luar negeri Indonesia telah mencapai Rp7000-an triliun menginjak kuartal terakhir tahun 2022 (Kompas, 15/8/2022), itu belum termasuk utang BUMN yang diperkirakan jumlahnya hampir sama. Indonesia sendiri sudah berada di dalam resesi. Bank Sentral sudah berkali-kali menaikkan suku bunga acuan. Di pinggir-pinggir jalan kita menyaksikan iklan-iklan penjualan ORI. Tanda negara sedang menarik uang rakyat untuk membayar utang.
Artinya, ekonomi sudah masuk ke dalam krisis. Siapa pun yang nanti menjadi presiden harus menghadapi fakta ini. Tidak ada cukup uang untuk memberi subsidi bagi rakyat. Subsidi listrik, BBM, pupuk, pendidikan, kesehatan dicabut satu persatu. Jumlah uang beredar semakin sedikit karena negara menyedotnya dalam bentuk obligasi. Dipakai untuk membayar utang luar negeri. Sebagai pengalih subsidi yang dicabut, negara menggelontorkan BLT yang berasal dari dana obligasi si kaya. Kelak negara juga harus menggantinya berikut bunga bagi si kaya. Siklus ini akan berputar terus. Si kaya bertambah kaya sedangkan masyarakat kelas menengah dan bawah semakin terperosok karena sebagian besar pendapatannya habis untuk konsumsi.
Kekayaan alam masih dikuasai asing. Keberpihakan negara pada kepentingan pengusaha dan asing telah diikat oleh UU Cipta Kerja. Korupsi masih akan tetap subur karena berkelindan dengan mafia peradilan dan keroposnya institusi kepolisian. Sementara kelompok-kelompok yang kritis terhadap kebijakan zalim telah lebih dulu dibungkam. Seperangkat aturan perundangan telah disiapkan untuk menjerat yang bersuara sumbang.
Bisa jadi semua orang memahami ini. Namun, anehnya masih saja ada orang yang bersemangat mengikuti kontestasi pemilu. Padahal yang akan diwarisinya adalah setumpuk utang dan segudang persoalan. Sistem di negara ini sudah bobrok mulai dari pangkalnya. Siapa pun pemimpinnya takkan berpengaruh signifikan selama kebobrokan di pangkal tak diatasi.
Harapan Perubahan Hanya Datang dari Islam
Pemilu tidak dirancang untuk membawa perubahan. Tidak ada dalam sejarah perubahan suatu bangsa dicapai melalui pemilu. Pemilu adalah bagian kecil dari sebuah sistem yang bertujuan mengganti kepemimpinan. Bukan mengganti sistem itu sendiri.
Di dalam Islam, seorang pemimpin diangkat melalui metode bai'at sebagaimana dicontohkan Rasulullah pada Bai'at Aqabah I dan Bai'at Aqabah II. Rasulullah bersabda:
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ
“Siapa saja yang sudah membaiat seorang imam/khalifah lalu ia memberikan kepadanya genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia menatinya sesuai dengan kemampuannya. Kemudian jika ada orang lain yang hendak merebut kekuasaannya maka penggallah orang itu,” (HR. Muslim)
Harus diingat bahwa pembai'atan merupakan satu-satunya metode baku dalam pengangkatan khalifah. Teknis pengangkatan sebelum pembai'atan merupakan perkara yang tidak baku. Dalam tataran praktis, teknis pengangkatan sebelum pembai'atan dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya pemilu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Rakyat dapat saja secara langsung memilih satu dari beberapa orang calon. Rakyat juga bisa mewakilkan pilihannya melalui wakil-wakil yang sudah dipilih sebelumnya.
Pemilihan seorang kepala negara tidak boleh memakan waktu lama. Syarak membatasi hanya tiga hari saja. Itu artinya, prosedur pemilu harus dibuat sematang dan sesaksama mungkin. Sarana dan prasarana haruslah mendukung, mulai dari hari pencoblosan, penghitungan suara, dan pemutakhiran data diarahkan agar semua berlangsung singkat. Negara memastikan dalam tiga hari setelah kaum muslimin memilih/mencoblos harus sudah keluar satu nama pemenang. Orang inilah yang kemudian dibai'at. Jika setelah pembai'atan muncul orang lain yang mengaku sebagai khalifah, orang yang datang belakangan harus dibunuh.
Pemilu hanya dilakukan dalam memilih khalifah. Tidak dilakukan dalam memilih para wali (setingkat gubernur atau kepala daerah). Para wali ditunjuk langsung oleh khalifah dengan akad wakalah (perwakilan) oleh karena tugas yang mereka emban pada prinsipnya adalah tugas khalifah. Para kepala daerah ini bertanggung jawab kepada khalifah bukan kepada rakyat. Khalifahlah yang berhak mengangkat dan memberhentikan mereka.
Tugas rakyat adalah mengawasi kinerja aparat tersebut dan mengadukannya kepada Mahkamah Mazhalim atau ke Majelis Umat jika ada penyimpangan.
Dengan mekanisme demikian, negara tidak terjebak ke dalam kesibukan unfaedah memilih pemimpin selama berbulan-bulan. Negara terhindar dari pemborosan uang rakyat dan konflik horizontal. Khalifah yang baru diangkat dapat langsung membentuk jajarannya dan segera mulai bekerja. Ia tidak dipusingkan perihal gugat-menggugat dari lawan politik (akibat rentang pemilu yang berkepanjangan). Pemerintahan berjalan tenang sehingga kesejahteraan rakyat bisa lebih diperhatikan.
Khatimah
Angin perubahan tidak akan berembus bersama Pemilu 2024. Sebaliknya, ia hanya meneruskan dan melanggengkan cengkeraman oligarki dan rezim kapitalis di negeri ini. Pemilu sama sekali bukanlah jalan menuju perubahan sistemis. Syariat Islamlah satu-satunya yang menawarkan perubahan tersebut. Tidak hanya menawarkan konsep bernegara yang berbeda, Islam juga menawarkan perubahan yang akan diraih jika manusia menerapkan hukum-hukum syariat.
اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (Q.S. Al-Maidah: 50)
[]
keren.