Temaran Usia Senja

"Usia senja makin menghinggapi diri, menyelimuti kalbu. Tak terasa sisa waktu pun akan segera berlalu. Namun apa daya diri masih merasa tak mampu. Pun raga terseok mengejar impian kalbu. Kuatkan diri ini ya Rabb untuk bisa memahami aturan-Mu dan pilihkan orang-orang yang mampu membersamai menggapai surga-Mu."

Oleh. Dewi Kusuma
(Kontributor NarasiPost.Com dan Pemerhati Umat)

NarasiPost.com-Rasa itu masih teringat dalam benak ketika aku masih duduk di bangku TK. Ibu guru yang dengan sabar dan telaten menyapa anak muridnya ketika hendak masuk ke kelas. Sambutan yang hangat dengan senyum yang menghiasi wajah. Meski usia sudah sepuh, namun ia tetap semangat dalam mendidik anak-anak.

Dibimbingnya anak muridnya satu per satu menuju bangku di dalam kelas. Pun selalu memberikan pujian saat muridnya baru datang ke sekolah. Hal ini walau telah puluhan tahun berlalu, namun masih begitu lekat dalam ingatan.

Dua tahun berada di bangku TK lalu berlanjut memasuki sekolah dasar yang masih dalam satu yayasan. Tahun demi tahun dilewati. Terasa masih ada kenangan manis yang terukir di sana. Betapa saat yang mendebarkan kala pemimpin upacara mengumumkan para juara di akhir upacara. Satu demi satu disebutkan dari kelas satu hingga kelas 6 sekolah dasar. Tiba saat namaku disebut namun ada kecewa yang menyelinap. Kecewa karena namaku disebut bukan sebagai juara pertama. Meski begitu tetap kupandangi hadiah dari guru. Hadiah sederhana berupa buku dan alat tulis. Kubuka hadiah dan kurapikan lagi serta kupajang di sudut rak hias di ruang keluarga kecilku. Bertekad untuk menjadi pelecut diri agar mampu meraih juara pertama di kelasku.

Hari demi hari, tahun demi tahun terlewati dan masa sekolah pun telah lama aku tinggalkan. Masa di bangku SMP, SMA dan Perguruan Tinggi pun telah lama usai.

Tinggallah kini menikmati usia senja. Mengisi dengan berbagai kegiatan berharap mampu menjadi manfaat. Memotivasi diri dengan mengikuti berbagai kelas online dan mengikuti kajian. Serasa masuk lagi ke bangku sekolah. Aku ikuti kelas online bahasa Arab. Berharap untuk bisa membaca kitab gundul. Meski harus bersaing dengan yang muda belia. Senjang usia yang jauh puluhan tahun. Namun tekadku kuat untuk mengejar ketertinggalan.

Diriku yang sejak kecil tak kenal Al-Qur'an mulai belajar membaca kala usia telah senja. Berdalih untuk mengajari anak agar bisa mengaji Al-Qur'an dengan fasih. Kami panggil ustaz untuk mengajari mengaji anak-anak kami. Sejatinya aku pun ingin bisa membaca Al-Qur'an. Akhirnya sang ustaz kami undang ke rumah untuk mengajariku dan anak-anak.

Pasti heran, ya? Masak mengaku Islam tapi tak bisa baca Al-Qur'an? Ya, begitulah yang ada. Aku sejak TK hingga tamat SD sekolah di Yayasan Nasrani. Lingkungan juga biasa saja. Soal agama seperti terlupakan. Paling semarak saat puasa bulan Ramadan ikut puasa full sebulan penuh. Beramai-ramai pergi ke masjid untuk salat Isya dan tarawih. Bangun pagi selepas sahur, pergi bersama-sama kawan sebaya ke masjid untuk berjemaah salat subuh. Ketika di bangku sekolah menengah pertama, aku bersekolah di SMP negeri dekat rumah. Namun, tatkala memasuki sekolah menengah atas, tidak begitu lama aku duduk di bangku sekolah negeri dan kembali menyelesaikan sekolah di SMA Yayasan Nasrani.

Bersekolah yang tempatnya jauh dari rumah dan merantau ke kota lain membuatku ingin belajar mengerjakan salat 5 waktu. Aku benar-benar menekuni ibadah salat tanpa kutinggalkan. Seiring waktu berlalu, rasanya kurang jika hanya mengerjakan ibadah salat 5 waktu saja. Di usia yang mulai memasuki senja, akhirnya kumulai belajar dan mendalami ilmu agama (Islam) lagi dari awal, termasuk belajar baca Al- Qur'an. Aku kembali mengundang sang ustaz ke rumah dan mengajak tetangga untuk bergabung belajar baca Al-Qur'an.

Meski terlambat, aku tetap bersyukur masih diberikan kesempatan untuk belajar, hingga aku bisa membaca Al-Qur'an. Meski terkadang harus mengabaikan rasa malu. Sang ustaz kadang membawa putri kecilnya yang masih duduk di sekolah dasar. Dia begitu pandai membaca Al-Qur'an di hadapan kami yang sudah senja. Rasanya malu luar biasa, anak berusia 9 tahun sudah fasih membaca Al-Qur'an. Sementara aku masih terbata-bata. Aku ajak tetangga dekat rumah agar bersama-sama belajar dengan harapan sedikit membuang rasa malu. Walau aku harus sering mendatangi rumah mereka sekadar memintanya datang ke rumah untuk belajar bersama. Demi memacu semangat diri, mereka kujemput satu per satu. Meskipun mereka terkadang berat untuk melangkahkan kaki ke rumah. Namun, aku tetap semangat membujuk mereka agar mau belajar ilmu agama denganku di rumah.

Bukan hanya aku dan tetangga yang belajar mengaji, anak-anak juga ikut serta. Anak bungsuku begitu cuek jika mendapat giliran pertama untuk membaca Al-Qur'an. Sebanyak apa pun tetangga yang datang belajar mengaji, dia tak peduli. Yang penting dia telah duluan membaca Al-Qur'an. Berbeda dengan anakku yang pertama. Dia suka protes ketika sang ustaz menyuruhnya mengulangi terus bacaannya sedangkan aku ibunya diminta melanjutkan bacaan, "Kok Ibu disuruh lanjut terus? Sementara Robby ngulang lagi? Ah, sudahlah Ibu aja yang ngaji, aku malas," katanya. Melihatnya semangat belajar mengaji, akhirnya aku putuskan anakku mengikuti kelas privat membaca Al-Qur'an dengan ustaz.

Setelah anak bungsuku tamat SD, kami masukkan ia ke pesantren. Meski awalnya kami yang mendorongnya bersekolah di pesantren, namun saat tiba harus mondok aku sangat sedih seperti diterpa rasa kehilangan. Rasa sepi meliputi jiwa karena anak pertama juga bersekolah jauh dari rumah. Berpisah dengan anak-anak sungguh tidak mudah, namun ini semua kami lakukan demi kesuksesan anak-anak. Kami berada di Serang, Banten sementara anak-anak bersekolah di Purbalingga, Jawa Tengah dan lanjut kuliah di Yogyakarta.

Akhirnya kami rida melepas kedua anak merantau jauh dari rumah demi menggapai masa depan yang cemerlang. Walau hati merasa sedih, rindu, dan sering tak bisa tidur, semua harus dijalani demi masa depan anak-anak. Dengan harapan saat di rantau mereka punya bekal ilmu tentang Islam. Sehingga mempunyai patokan hidup sesuai dengan syariat Islam.

Hari-hari pun dijalani dengan sepi tanpa anak-anak di rumah. Senjang usia yang 10 tahun menjadikan keduanya serasa anak pertama. Alhamdulillah anak-anak menyelesaikan sekolah dan kuliah dengan tepat waktu.

Untuk mengusir rasa sepi setelah resign dari tempat kerja, aku kembali memperdalam bacaan Al-Qur'an. Tak lagi kuhiraukan rasa malu. Aku pun mendatangi beberapa ustazah agar lebih cepat dalam belajar. Kukejar untuk bisa khatam Al-Qur'an meski tertatih, lelah, dan harus disiplin. Dengan gonta-ganti ustaz dan ustazah yang mengajari baca Al-Qur'an agar dapat karamah dalam belajar.

Alhamdulillah akhirnya diajak bergabung untuk mengajari anak-anak madrasah dalam membaca iqra. Meski merasa tak layak karena saya pun dalam tahap belajar bersama ustaz dan istri beliau yang juga ustazah pemangku pondok, akhirnya memberanikan diri untuk bergabung mengajar di pondoknya. Tak terasa kurang lebih 3 hingga 4 tahun lamanya aku bergabung di Madrasah dan SMP IT yang dipimpinnya.

Pada akhirnya aku kembali resign saat anak pertamaku hendak menikah. Aku sibuk mempersiapkan acara pernikahan. Sementara anak bungsuku masih mondok di pesantren. Suami masih aktif bekerja. Praktis segala persiapan diurus sendiri. Alhamdulillah saat ini telah dikaruniai 2 cucu generasi saleh. "Ya Rabb kembali aku bermohon kepada-Mu jadikan cucu-cucu kami penyejuk hati dan menjadi generasi yang cemerlang."

Usia senja makin menghinggapi diri menyelimuti kalbu
Tak terasa sisa waktu pun akan segera berlalu Namun apa daya diri masih merasa tak mampu
Raga terseok mengejar impian kalbu

Bantu aku mengejar asa
Bantu aku menaati syariat-Nya
Kuatkan diri ya Rabb untuk bisa memahami aturan-Mu
Pilihkan orang-orang yang mampu menggapai surga-Mu

Hingga raga ini pantas dekat dengan-Mu
Walau luka dan lara terus mendera
Walau tubuh bergelimang dosa
Aku berharap Engkau limpahkan rahmat-Mu

Senja telah memasuki usia 60 tahun. Aku rela untuk belajar bersama mereka yang belia. Meski penat kadang menghampiri, kecanggihan teknologi pun tak kumengerti, namun alhamdulillah dikelilingi orang-orang yang ikhlas membantu. Ya, membantuku dalam belajar online. Meski aku banyak tanya karena ketidakpahaman dalam menggunakan gadget, mengerjakan soal via online, dan melaporkannya lewat website. Serasa membuat kepala ini pusing tujuh keliling. Aku pun pasrah dengan semua ini. Harus mengerjakan soal ujian dengan menjawab soal yang ada dalam kuis. Hafalan dan setoran jawaban secara online. Wow rasa tak sanggup karena usia yang tak muda lagi. Namun harus kulalui demi sebuah harapan. Untuk bisa mengerti membaca kitab gundul.

Di dunia maya pun tak kenal dengan orangnya. Namun, sungguh aku merasa takjub. Betapa ikhlas dan ridanya dia mengajariku. Ustazah Fitriyani, dialah yang membimbingku tak kenal lelah, siang hari hingga jam 10 malam hari. Terkadang rasa kantuk dan lelah menyerang mata. Namun ia tetap semangat hingga aku mampu mengerjakan soal sampai tuntas.

Tidak berhenti di situ. Aku mulai memberanikan diri melintasi dunia literasi. Aku mulai belajar menulis via online. Kuikuti beragam kelas menulis online agar tetap produktif meski usiaku telah senja. Aku bersyukur dikelilingi orang-orang yang mencintaiku dengan tulus. Tanpa mereka tak mungkin kelas online-ku akan berlanjut. Bersyukur bisa gabung di kelas desain AMK bersama Cikgu Neni Susilawati yang rela membimbing kami. Demi menunjang dakwah yang ada di pundak kami.

Bersyukur berada di Akademi Menulis Kreatif berkat arahan sohibku Rita Handayani, sehingga diperkenalkan dengan Founder AMK Mpu Apu Indragiry. Menjadi salah satu membernya yang jumlahnya ratusan orang hingga ribuan.

Akhirnya bisa berkarya lewat goresan pena mengisi usia senja. Mengirimkan naskah ke berbagai media online. Hingga karya tulis bisa terpajang dengan penuh perjuangan. Meski diawali dengan keputusasaan, merasa tak layak bersaing dengan yang muda. Entah dari mana asalnya hingga bisa berkawan akrab dengan Direktur Pendidikan AMK Bunda Hj. Nur Fitriyah Asri dan juga bendahara AMK Bunda Etti Budiati.

Hingga memberanikan diri mengirim naskahku ke media NarasiPost.Com. Sebuah media online yang super ketat dalam menyeleksi naskah yang layak publish. Pertama kali naskah kukirimkan ke Pemred media NarasiPost.Com yaitu Mbak Andrea Aussie, bolak-balik dikembalikan. Hal ini sempat membuatku down. Namun aku beranikan diri untuk terus mengedit dan akhirnya tayang. Aku sapa salah satu tim NP (Narasi Post) Mbak Dia dan alhamdulillah direspon dengan baik. Ketika Pemred dan tim NP membukukan karya yang telah publish, alhamdulilah karya sastra dan motivasiku lolos seleksi masuk buku antologi bersanding dengan para penulis hebat yang lain. Betapa bahagia hati ini, perjuangan yang sempat bikin down akhirnya berbuah bahagia.

Kali ini aku beranikan diri kembali untuk ikut challenge yang diadakan oleh media NP. Meski ragu dan sanksi biarlah semoga ini sebagai wasilah untuk tetap eksis dalam mencerahkan umat dengan cahaya Islam. Aku tak berharap banyak, yang aku inginkan mampu mengisi hal-hal bermanfaat di sisa usia yang senja ini, khususnya dalam karya tulis-menulis. Karya yang mencerdaskan umat dengan ketaatan terhadap syariat-Nya. Hingga raga ini mendapatkan rahmat-Nya dan dimudahkan Allah untuk berakhir hidup dengan husnul khatimah.

Tiada jalan yang benar kecuali dengan Islam
Tiada aturan yang wajib ditaati kecuali aturan Allah Swt.
Tiada janji yang diingkari kecuali janji Allah
Sang Maha Pencipta dan Penguasa alam semesta
Yang Maha Adil dan Maha Agung

Allah Swt. berfirman:
"Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu." (TQS. Al-Maidah: 3)

Wallahu a'lam bishawab.[]


Photo : Pinterest

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com
Dewi Kusuma Kontributor NarasiPost.Com & Pemerhati Umat
Previous
Buah Busuk Sistem Sekuler: Rakyat Melarat, Penguasa Abai
Next
Problematik Umat Kian Pelik: Probabilitas Islam Satu-satunya Problem Solver Dunia
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

2 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Nurochmah
Nurochmah
2 years ago

Tiada kata terlambat ...
Bagus ..
Merangkai kata menjadi kalimat indah perlu latihan terus menerus ..
Tetap semangat ...
Dan bahagia selalu

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram