"Hungaria menggapai kondisi terbaiknya yakni mampu menyejahterakan dan memberi kenyamanan kepada masyarakat ketika berada dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah) di mana seorang khalifah diangkat melalui baiat yang berlandaskan Al-Qu’ran dan sunah untuk memerintah. Sifat seorang khalifah pun sebagai junnah (perisai) atau wiqayah (pelindung) bagi warga negaranya."
Oleh. Irma Ummu Niswah
(Kontributor NarasiPost.Com dan Aktivis Dakwah Nisa Morowali)
NarasiPost.com-Parlemen Uni Eropa (UE) dalam sebuah pernyataan mengabarkan bahwa "Hungaria tidak dapat lagi dianggap sebagai negara demokrasi penuh". Parlemen mengatakan situasi Hungaria telah memburuk sehingga bertransisi dari demokrasi menjadi autokrasi elektoral. Parlemen UE menambahkan, bahwa kurang tegasnya tindakan UE merupakan pengaruh dari kehancuran demokrasi, supremasi hukum, dan hak-hak dasar di Hungaria, dan mengubah salah satu negara anggotanya menjadi rezim hibrida autokrasi pemilu.
Secara umum, para anggota parlemen UE menyatakan keprihatinan tentang sistem konstitusional dan pemilihan Hungaria, independensi peradilan, risiko korupsi, serta adanya kebebasan media, akademik, dan agama. Para anggota parlemen juga mengatakan Hungaria telah meninggalkan banyak nilai-nilai demokrasi yang sejalan dengan UE. (CNN.com, 16/09/2022)
Sebuah resolusi turut disahkan untuk memperkuat pandangan tersebut. Resolusi ini disahkan lewat pemungutan suara dengan hasil sebanyak 433 anggota setuju dan 123 anggota tidak setuju, sedangkan ada 28 anggota yang lebih memilih abstain. Salah satu bagian dalam resolusi berisi kecaman atas upaya yang disengaja dan sistematis dari pemerintah Hungaria untuk merusak nilai-nilai pendiri Uni Eropa.
Banyak anggota parlemen UE yang menyalahkan 26 negara anggota Uni Eropa, karena menutup mata terhadap kemungkinan adanya pelanggaran selama Viktor Orban menjabat sebagai Perdana Menteri Hungaria. Selama 12 tahun menjabat, Viktor Orban menyebut negaranya bergerak dengan sistem demokrasi yang tidak liberal.
Pemungutan suara tersebut menjadi langkah terbaru yang dilakukan Uni Eropa dalam menindak pemerintah Orban. Badan eksekutif Uni Eropa, Komisi Eropa bahkan diperkirakan akan mengumumkan bahwa mereka siap menangguhkan pembayaran sejumlah uang Uni Eropa ke Hungaria atas dugaan pelanggarannya.
Sementara itu, Peter Szijjarto selaku Menteri Luar Negeri Hungaria mengatakan bahwa realitanya pada pemilihan di Hungaria secara sadar memberikan suaranya kepada Orban dalam empat pemilihan parlemen berturut-turut. Hungaria pun telah lama menunjukkan sikapnya yang bertentangan dengan mayoritas anggota Uni Eropa. Termasuk yang terbaru adalah menentang beberapa sanksi Uni Eropa terhadap Rusia, terutama pembekuan aset patriark Gereja Ortodoks Rusia, dan juga sanksi terkait energi terhadap Moskow (kontan.co.id, 16/09/2022).
Hungaria dalam Dekapan Islam (Turki Usmani)
Turki Usmani yang berpusat di Anatolia telah menjadi salah satu kekuatan terbesar, karena Turki Usmani telah memperluas wilayahnya dan terus merambah daratan bagian Eropa Tenggara. Pada akhirnya, di tahun 1500-an Turki Usmani pun mengancam Hungaria.
Hungaria kalah melawan Turki Usmani pada Pertempuran Mohacs yang kini lokasinya berada di sebelah selatan Hungaria modern. Pada tahun 1526, pasukan Turki Usmani yang dipimpin oleh Sultan Suleiman I berhasil menghancurkan pasukan Raja Louis II. Raja Louis II bahkan tewas dalam pertempuran tersebut karena tenggelam di sungai setelah dikejar pasukan Turki.
Pada tahun 1541, Turki Usmani yang telah berhasil menguasai banyak wilayah bagian tengah dan selatan bekas Kerajaan Hungaria pada abad pertengahan, yaitu hampir seluruh dari daerah dataran Hungaria Besar (kecuali bagian timur laut) dan Transdanubia Selatan. Turki Usmani pun memusatkan kekuasaannya di bagian Kota Buda dan membagi Hungaria menjadi distrik administratif.
Militer Turki Usmani juga membangun benteng-benteng besar Buda, Pest, Szekesfehervar dan Esztergom. Turki Usmani hanya menempatkan sekitar 20 ribu pasukan tentaranya di benteng-benteng tersebut. Selama pemerintahan Turki Usmani, rakyat Hungaria yang beragama Kristen tidak dipaksa memeluk agama Islam.
Turki Usmani mulai terusir dari Hungaria setelah kalah dalam pengepungan kota Wina pada tahun 1683. Disini kekuatan Eropa tergabung yang terdiri dari Kekaisaran Romawi Suci, Monarki Habsburg, Polandia-Lithuania dan Venesia. Secara bertahap, pasukan gabungan tersebut mengusir Turki dari tanah Hungaria sampai akhir tahun 1600-an. Dalam perjanjian Karlowitz pada tahun 1699 Turki Usmani secara resmi keluar dari Hungaria.
Hungaria dalam Dekapan Komunisme (Uni Soviet)
Saat Perang Dunia II, Hungaria berperang di pihak Nazi dan mereka kehilangan banyak prajurit ketika berperang melawan Rusia. Ketika Nazi kalah, Hungaria pun jatuh ke pelukan komunis Soviet. Selama berada di bawah pengaruh Soviet, Hungaria tidak selamanya dalam keadaan tenang ataupun damai. Pada tahun 1956, terjadi huru-hara besar karena rakyat menuntut sistem politiknya diganti menjadi sistem demokratis dan bebas dari penindasan para komunis, ini disebut revolusi Hungaria 1956.
Pemberontakan nasional Hungaria yang kian membesar membuat Soviet mengirim tank-tanknya ke Budapest untuk menghentikan pemberontakan tersebut, pertempuran di jalanan pun terjadi dengan brutal. Dalam pertempuran itu, diperkirakan 2.500 orang Hungaria tewas dan 200 ribu orang lainnya melarikan diri sebagai pengungsi. Perlawanan gerilya oleh rakyat Hungaria lebih lanjut menyebabkan gangguan ekonomi di wilayah tersebut.
Pada tahun 1989 ketika Soviet di ambang kehancuran, rezim di Hungaria mulai terasa longgar. Bahkan beberapa pagar di perbatasan yang beraliran listrik mulai dimatikan dan dirobohkan. Merosotnya komunisme ini juga memicu Hungaria menyetujui pemilihan multi-partai, hingga Hungaria memproklamasikan diri pada 23 Oktober 1989.
Hungaria dalam Dekapan Demokrasi-Kapitalisme
Runtuhnya Soviet telah membuat terjadinya transisi dari sistem komunis menjadi sistem demokrasi-kapitalisme di Hungaria dengan model multi-partai. Sepanjang tahun 1990-2000, Hungaria dipimpin oleh Presiden Arpad Goncz, salah satu tokoh yang berperan penting dalam revolusi Hungaria 1956.
Hungaria bergabung dengan NATO pada tahun 1999 dan menjadi anggota Uni Eropa pada tahun 2004. Selama transisi dari komunisme menjadi demokrasi-kapitalisme, sektor pariwisata, manufaktur, elektronik, dan juga bagian otomotif sangat kuat menggerakkan perekonomian negara ini.
Hungaria saat ini adalah salah satu anggota Uni Eropa (UE). Hungaria menjadi republik parlementer dengan presiden dan perdana menteri yang menguasai cabang eksekutif. Saat ini, Hungaria dipimpin oleh Presiden Janos Der dengan Perdana Menterinya Viktor Orban.
Cabang legislatif Hungaria adalah Majelis Nasional dengan 386 anggota, dipilih lewat kombinasi perwakilan dan pemilihan langsung. Sedangkan cabang yudikatif Hungaria adalah Mahkamah Konstitusi independen, berdiri ketika Uni Soviet hampir runtuh. Sistem peradilannya dibagi menjadi tiga wilayah yurisdiksi yaitu pidana, perdata, dan administrasi.
Hungaria Menggapai Kondisi Terbaiknya
Jika kita bandingkan dari ketiga sistem di atas, di mana Hungaria menggapai kondisi terbaiknya, mampu menyejahterakan, dan memberi kenyamanan masyarakat Hungaria, tentu jawabannya adalah sistem pemerintahan Islam. Kenapa? Karena sistem pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Allah Swt. Tuhan semesta alam adalah sistem Khilafah. Yang mana dalam sistem Khilafah ini seorang khalifah diangkat melalui baiat yang berlandaskan dari Al-Qu’ran dan sunah untuk memerintah. Sifat seorang khalifah pun sebagai junnah (perisai) atau wiqayah (pelindung).
Sistem pemerintahan Islam atau Khilafah berbeda dengan seluruh bentuk pemerintahan yang ada dunia, baik dari segi asas yang mendasarinya, pemikiran, pemahaman, maqayis (standar), hukum-hukum dalam mengatur berbagai urusan, konstitusi dan undang-undangnya yang di legislasi untuk diimplementasikan dan diterapkan, ataupun dari segi bentuknya yang mencerminkan Daulah Islam.
Pertama, sistem pemerintahan Islam bukan sistem kerajaan.
Hal itu karena dalam sistem kerajaan seorang anak atau putra mahkota menjadi raja karena pewarisan. Di sini umat tidak memiliki andil dalam pengangkatan seorang raja. Sedangkan dalam sistem Islam yakni Khilafah tidak ada pewarisan, akan tetapi baiat dari umatlah yang menjadi metode pengangkatan seorang khalifah.
Dalam sistem kerajaan, seorang raja memerintah, mengatur negeri dan penduduknya sesuai dengan keinginan dan kehendak hawa nafsunya. Raja juga tidak tersentuh hukum meskipun ia berbuat buruk atau zalim kepada rakyat. Berbeda dalam sistem Islam, seorang khalifah tidak diberi hak-hak khusus yang mengistimewakannya di hadapan pengadilan, akan tetapi khalifah merupakan wakil umat dalam menjalankan pemerintahan.
Kedua, sistem pemerintahan Islam bukan sistem imperium atau kekaisaran.
Karena sesungguhnya sistem imperium sangat jauh dari Islam. Sistem imperium tidak menyamakan pemerintahan di antara suku-suku dalam wilayah imperium, akan tetapi sistem imperium memberikan keistimewaan kepada pemerintahan pusat imperium, baik dalam hal pemerintahan, harta, maupun perekonomian. Sedangkan Islam menjadikan semua wilayah kekuasaan negaranya sebagai satu kesatuan, meskipun jaraknya saling berjauhan dan penduduknya berbeda-beda suku. Islam memberikan segala bentuk hak pelayanan dan kewajiban-kewajiban kepada nonmuslim yang memiliki kewarganegaraan. Mereka semua memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum muslim secara adil.
Ketiga, sistem pemerintahan Islam bukan sistem federasi.
Bahwa wilayah-wilayah negara terpisah satu sama lain dan memiliki kemerdekaan sendiri, mereka dipersatukan dalam masalah pemerintahan atau hukum yang bersifat umum. Sedangkan sistem pemerintahan Islam adalah sistem kesatuan. Di mana keuangan seluruh wilayah atau provinsi dianggap sebagai satu kesatuan dan APBN-nya juga satu, dibelanjakan untuk kemaslahatan seluruh rakyat tanpa memandang provinsinya.
Keempat, pemerintahan dalam Islam bukan model kabinet.
Bahwa setiap departemen memiliki kekuasaan, wewenang, dan anggaran yang terpisah. Hal ini mengakibatkan banyaknya hambatan dalam mengatasi berbagai kemaslahatan rakyat, karena banyaknya intervensi dari beberapa departemen yang hanya mengurusi satu kemaslahatan rakyat saja. Padahal yang seharusnya, segala bentuk kemaslahatan rakyat itu dapat ditangani oleh satu struktur administrasi. Sedangkan dalam Islam, tidak terdapat departemen yang memiliki kekuasaan pemerintahan secara keseluruhan. Akan tetapi, khalifah dibaiat untuk memerintah mereka menurut sesuai aturan Allah Swt. dan sunah Rasul saw. Khalifah berhak menunjuk para mu'awin untuk membantunya mengembang tanggung jawab kekhalifahan.
Kelima, sistem pemerintahan Islam bukan sistem demokrasi.
Dalam demokrasi kedaulatan ada di tangan rakyat yang berwenang membuat hukum sesuai kehendak mereka berdasarkan suara terbanyak, menghalalkan dan mengharamkan, serta menetapkan status terpuji dan tercela. Individunya memiliki kebebasan dalam segala perilakunya, mereka bebas berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya, seperti bebas meminum khamar, berzina, murtad, serta mencela dan mencaci hal-hal yang disucikan dengan dalih demokrasi dan kebebasan individual.
Demokrasi juga menetapkan kebebasan kepemilikan, menjadikan pihak yang kuat mengeksploitasi pihak yang lemah dengan berbagai sarana, sehingga yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Demokrasi pun menetapkan kebebasan berpendapat bukan kebebasan dalam mengatakan yang hak, tetapi kebebasan dalam mengatakan hal-hal yang menentang berbagai kesucian yang berada di tengah-tengah umat.
Jadi dapat dikatakan bahwa semua sistem kecuali sistem Islam adalah sistem kufur, karena memberikan kewenangan membuat hukum berada di tangan manusia bukan pada Allah Swt. Tuhan semesta alam. Islam memberikan kewenangan untuk membuat hukum berada di tangan manusia merupakan suatu kejahatan besar. Wallahu a'lam bisshawab[]