“Midun pun berpamitan pergi. Baru saja melangkah beberapa meter, ulama yang pernah berguru di surau Tuanku Nan Tuo itu memberi pesan kepada Midun, "Wahai, anak muda! Di depanmu ada sebuah kampuang yang dihuni oleh semua pelaku maksiat. Berhati-hatilah saat kau melewatinya! Bila kau selamat darinya, maka terujilah iman di dada."
Oleh. Rosmiati, S.Si.
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- "Berhenti! Letakkan barang bawaan Saudara!!!"
"Siapa kalian?!" sahut Midun, lelaki muda yang saat itu sedang dalam perjalanan panjang.
"Dasar, bodoh! Serahkan saja barang bawaanmu bila kau masih ingin selamat!" bentak salah seorang dari gerombolan yang Midun temui.
Lelaki yang baru menginjak usia 25 tahun itu tersenyum, "Kau pikir semudah itu untuk menyerahkan barang berhargaku ini?"
"Ayolah, anak muda! Kami sedang kelaparan! Berikan kami apa yang kau miliki dan kau lantas pergi dari sini dengan selamat," goda pria dengan pakaian lusuh tak terurus, di tangan kanannya terhunus besi tajam. Pria itu mencoba menipu Midun.
"Cuih!!! Kau pikir aku percaya dengan bujuk rayumu? Sini, hadapi saja aku!" tantang Midun. Kaum lelaki memang pantang untuk menyerah.
"Hahahahahaha…."
Sahut-sahutan tawa terdengar cukup memekakkan telinga. Midun pun segera membalikkan badan. Lelaki itu kaget kala melihat ke sekelilingnya. Betapa tidak? Gerombolan itu berjumlah sangat banyak.
Penampilan mereka dekil. Mata yang hitam akibat jarang tidur, menghias wajah sangar mereka.
"Bagaimana … kau masih berkeras hati tak menyerahkan hartamu? Lihatlah kami! Rasanya kau tak akan mampu mempertahankan di— aaakhhhh," teriak sang pimpinan gerombolan. Sebuah anak panah menancap di lehernya. Ia roboh ke tanah.
"Berlindung!!!" teriak salah satu dari mereka.
Midun segera menepi dan berdiri di balik pepohonan.
Satu per satu anggota gerombolan itu jatuh telentang dengan jeritan kesakitan. Sementara yang lain melarikan diri masuk ke dalam hutan.
Midun dengan lihai memainkan sudut matanya. Pemuda itu mencari dari mana anak panah itu berasal.
Baru saja hendak melangkah, tepukan tangan hinggap di bahu kanannya. Silat Melayu yang sudah dikuasainya, membuat Midun sontak menoleh dengan menghunuskan belatinya.
"Husst! Tahan, wahai, anak muda! Saya bukan bagian dari kawanan rampok itu," sambut lelaki tua dengan pakaian serba putih.
Midun mengamati dalam-dalam wajah itu dalam pekatnya malam.
"Maafkan saya, Tuanku. Hampir saja saya gelap mato tak bisa lagi membedakan mana jo golongan putih dan hitam di nagari ini," tukas Midun dengan sedikit putus asa.
"Tak mengapa. Ikutlah bersama kami. Insyaallah, kamu akan sedikit aman dari kawanan rampok. Mereka kini berada di banyak tempat. Jalan ini kerap dijaga oleh mereka," jelasnya kepada Midun.
Tanpa berpikir panjang, Midun pun berjalan mengikuti jejak lelaki bersorban tersebut. Dalam benaknya, telah terpikir bahwa si pak tua ini adalah bagian dari kaum Paderi.
Kaum Paderi adalah mereka yang taat beragama. Umumnya mereka akan berpakaian serba putih dan tak luput memelihara jenggot di dagu. Di tangan mereka selalu tergantung tasbih. Mereka selalu membela kebenaran dan memerangi kemungkaran. Informasi itu Midun dapatkan dari Mamaknya (paman) di kampung halaman.
Anak muda yang sejak kecil berada dalam perawatan adik Ibundanya itu pun terus berjalan di belakang sang ulama yang diikutinya. Betapa tertegunnya ia kala tiba di dalam sebuah hutan. Di sana berdiri perkemahan. Mereka semuanya adalah para lelaki yang berpakaian serba putih.
"Ayo, duduklah di sini!" ajak lelaki yang sudah menyelamatkannya dari maut itu.
Midun pun menganggukkan kepala dan duduk di atas batang kayu.
"Katakan, hendak kamano dan dari nagari mana anak mudo berasal?" tanya sang ulama membuka pembicaraan.
"Perkenalkan, awak Midun dari Sibolga. Hendak menuntut ilmu ke Bonjol. Tersiar kabar di tanah kami … di sana ramai ulama hebat membuka surau, membumikan kalamullah dan kerap berjuang di jalan haq. Awak ingin menimbah ilmu sekaligus berjuang dalam barisannyo."
"Sungguh mulia niat anak mudo. Kalau boleh tahu … adokah anak atau istri yang sadang manunggu di rumah ?" selidik sang ulama. Ia penasaran akan asal-usul pria di sampingnya.
"Belum, Tuanku."
"Baiklah. Rupa-rupanya, perjalanan ini dilakukan oleh seorang anak bujang. Ikutlah bersama kami. Pagi-pagi sekali, selepas salat Subuh, kita akan berangkat ke Bonjol. Namun, ketahuilah, nagari yang akan kau lalui nanti penuh dengan uji dan tipu dunia. Kuatkanlah imanmu sebab ada kampung yang akan kau lewati dan di dalamnya penuh dengan berjuta maksiat."
Midun pun menganggukkan kepala. Informasi itu telah ia dengar dari para Mamaknya di kampung halaman.
Saat itu, hampir semua nagari di Minangkabau sedang hidup kacau balau. Perampokan, judi, zina, sabung ayam, dan aktivitas haram lain berseliweran dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Semua penduduknya muslim, tetapi hanya sekadar nama. Perbuatan mereka sungguh sangat jauh dari nilai-nilai Islam sesungguhnya.
Kondisi ini semakin tak tertolong, kala para penghulu adat ikut mempraktikkan kemungkaran di tengah kehidupan mereka. Inilah yang membuat geram para ulama. Realisasi hukum agama kerap dicampur dengan tradisi non-Islam. Tak ayal, desa-desa ini kerap menjadi sasaran dakwah para ulama dan santrinya. Tak jarang pula, para ulama mengirim utusan ke sana guna menyampaikan ajaran Islam yang murni di tengah-tengah kehidupan mereka.
Sekian jam dihabiskan di hutan. Waktu yang ditunggu akhirnya tiba. Midun kembali melanjutkan perjalanannya bersama seorang ulama yang semalam telah menolongnya.
Setelah beberapa hari berjalan, rombongan itu telah mencapai pertigaan jalan. Di sini, mereka akan berpisah.
Lelaki tua yang mengajaknya untuk menempuh perjalanan bersama itu memanggil Midun ke depan. Lelaki yang terpanggil hatinya untuk mengubah nagarinya itu segera berlari ke hadapan ulama Paderi yang telah banyak membantunya.
"Midun, kau lihat benteng itu?" tunjuk sang ulama ke arah dataran tinggi yang cukup indah diapit oleh gunung dan bukit.
"Ya, awak melihatnya, Tuanku."
"Syukurlah. Di sanalah tempat yang akan kautuju itu. Tempat itu dihuni oleh ulama karismatik. Pengaruhnya di nagari ini cukuplah besar. Nama kecilnya Muhammad Sahab dan kini orang Minang mengenalnya sebagai Tuanko Mudo Imam dari Negeri Bonjol. Bukankah dia sosok yang kaucari?"
Midun terperanjat, raut bahagia terpancar dari wajahnya. "Iya, iya, betul, Tuanku. Sungguh dengan apa awak harus balas jasa Tuanku semua yang telah sudi menunjukan jalan pada musafir malang ini."
"Tak usah risau. Adalah budaya kito orang Islam, harus tolong menolong dalam kebaikan. Niat ananda sungguhlah mulia. Kami harus menunjukkan jalan," jelas lelaki dari Air Bangis itu.
"Tetapi, kami tak bisa mengantar Saudara ke sana," lanjutnya.
"Kenapa, Tuanku? Bukankah rombongan ini juga hendak ke sana?" tanya Midun penuh harap.
Lelaki tua yang merupakan penganut Thariqat Syattariyah itu telah memiliki misi yang berbeda. Itulah mengapa, Midun hanya diantar sampai ke pertengahan jalan.
"Pergilah! Bila ada umur yang panjang, Insyaallah kita ‘kan berjumpa lagi," ungkap sang ulama sembari menepuk pundak tangguh anak muda di depannya.
Midun pun berpamitan pergi. Baru saja melangkah beberapa meter, ulama yang pernah berguru di surau Tuanku Nan Tuo itu memberi pesan kepada Midun, "Wahai, anak muda! Di depanmu ada sebuah kampuang yang dihuni oleh semua pelaku maksiat. Berhati-hatilah saat kau melewatinya! Bila kau selamat darinya, maka terujilah iman di dada."
Langkah pemuda asal Sibolga itu pun terhenti. Baru saja ia hendak membalikkan badan, sang ulama kembali berkata, "Lanjutkan perjalananmu!"
Mentari bersinar terik. Awan biru menghias cakrawala. Midun berjalan dengan menyeka peluh di wajah. Sudah berhari-hari ia menempuh perjalanan. Kini, tibalah ia di sebuah kampung yang sunyi senyap siang itu.
"Coba tengok, ada orang asing memasuki kampung kita!" ucap seorang wanita muda di atas rumah.
Mendengar itu, Midun lekas menengadahkan kepala.
"Astagfirullahaladzim!" sontak Midun mempercepat langkahnya.
"Udo, handak kamano? Mampirlah ke rumah kami!" ajak seorang wanita yang menghentikan perjalanan Midun.
"Tidak, Uni. Saya sedang terburu-buru!" tolak Midun mencoba mengambil jalan lain.
Sayang, wanita itu kembali mengadangnya. Sadar bahwa Midun bukan lelaki seperti kebanyakan orang, wanita itu berkata dengan lebih manis lagi.
Midun yang tak tahan mendengarnya segera melepas tangan sang wanita dan berlari memasuki hutan. Sejurus kemudian, tubuh wanita penghibur itu tersungkur ke tanah. Tak terima diperlakukan demikian, ia lantas berteriak memanggil orang kampung untuk mengejar lelaki yang sudah membuatnya dimabuk cinta sejak pandangan pertama itu.
Karena tak menguasai medan, Midun dengan mudah ditemukan. Ia pun diseret ke jalan kampung dengan tuduhan hendak membakar kampung karena menganggap perbuatan penduduknya tak sejalan dengan syariat Islam.
Midun pun dilempari bebatuan dan kotoran kerbau. Sementara wanita penghibur tadi datang dengan baju terkoyak.
"Biarkan ia ikut bersamaku. Akan kukurung dia bersama kerbau-kerbau peliharaan," pinta Rukmini, wanita kaya yang sehari-harinya melayani lelaki hidung belang.
Midun berjalan sempoyongan. Badannya berlumuran darah dan tak mampu lagi membela diri.
Rukmini tersenyum puas kala menyaksikan anak muda itu mendekap di salah satu ruangan di rumahnya.
Ia pun mulai menyuruh beberapa pengawalnya untuk menjaga kamar di mana Midun berada. Sementara, dirinya bersolek secantik rupa guna menyambut malam tiba. Senyum semringah terpancar di wajahnya. Rukmini merasa telah menemukan tambatan hatinya.
Seorang pekerja lelaki yang telah sepuh masuk ke dalam bilik di mana Midun terbaring. Lelaki tua yang terpaksa bekerja sebagai penggembala kerbau milik Rukmini itu ditugaskan untuk mengobati luka di sekujur tubuh Midun.
"Kasihan sekali anak ini. Dia masih sangat muda. Semoga Allah Swt. melindungimu dari tipu daya wanita terkutuk macam Rukmini itu," ucapnya sembari memberi ramuan obat-obatan.
Malam hari pun tiba. Rumah Rukmini kembali ramai. Para lelaki duduk di kursi-kursi yang telah disiapkan. Tak lupa para wanita muda duduk membersamai mereka.
Midun yang sudah tersadar beberapa menit selepas kepergian lelaki sepuh yang mengobatinya, mengintip dari balik pintu.
"Astagfirullahaladzim. Di mana awak, Yaa Allah? Mengapa awak bisa berada di tempat sesat ini?" lirih Midun dari dalam kamar.
Tak lama, seorang wanita yang tadi siang mencegatnya, berjalan menuju bilik di mana ia berada. Midun pun bersembunyi di balik pintu. Sayang, sang tuan rumah tentu telah mengenali istananya. Midun dengan mudah ia temukan.
Rukmini mendekat dengan penuh rayuan manis. Namun, Midun mencari jalan untuk menjauhinya. Rukmini tak suka. Wanita itu pun berusaha menarik baju Midun dari belakang.
Pemuda yang pandai bersilat itu sekonyong-konyong menekan lengan Rukmini dengan kencang. Wanita itu kembali terperosok jatuh ke lantai. Midun membuka jendela dan hendak melompat dari sana.
Melihat hal itu, Rukmini segera bangkit dan sontak berusaha menarik kaki kiri Midun. Sayang, langkah wanita sebatang kara itu terhalang oleh meja kecil hingga membuat wajahnya terjebak ke dalam wadah lampu yang menerangi ruangan. Sontak Rukmini menjerit kesakitan. Orang-orang di ruang tengah pun panik bukan main. Mereka berlari ke seluruh penjuru rumah mencari di mana datangnya suara.
Seorang rekan dekat Rukmini yang tahu pasal kedatangan Midun segera berlari ke arah kamar belakang dekat dapur. Ia mendapati Rukmini yang sudah tak berdaya. Wajah cantiknya telah gosong dimakan api.
Midun terus berlari tanpa menolah ke belakang. Tiba-tiba, seorang lelaki tua mengadang jalannya. Midun pun kembali terhenti. Anak muda itu kini telah pasrah dengan apa yang akan kemudian terjadi. Dengan manahan rasa sakit di sekujur tubuh, ia coba bertanya kepada lelaki sepuh tersebut, "Apa Pak Tua adalah utusan wanita tadi untuk membawaku kembali ke tempat itu?"
"Tidak, Nak. Saya justru akan membantumu ke Bonjol. Selamat! Kau telah berhasil melewati ujian berat ini."
Mendengar hal itu, Midun merobohkan badannya ke tanah. Sungguh anak yatim piatu itu tak kuasa lagi menahan perih di sekujur tubuhnya.
Lelaki Tua yang mengantarnya ke pertigaan jalan kembali datang menjemput dan membawanya ke Bonjol. Sementara, lelaki sepuh yang mengadang Midun saat lepas dari rumah Rukmini adalah utusan yang dikirim oleh para ulama untuk berdakwah di kampung tersebut. Ia pula yang mengobati Midun sekaligus melonggarkan jendela sehingga anak muda asal Sibolga itu dapat menyelamatkan dirinya.
Selesai
Photo : Pinterest
Mantap ceritanya menarik, sukses buat saya penassran,. Kitain masih ada lanjutan eh ,tahunya uda finish aja.
Masya Allah...
Tulisan yang sangat mencerahkan pemikiran dan juga mencerdaskan