Benarkah Hungaria Berpaling dari Demokrasi?

”Hungaria masih mengamalkan demokrasi liberal sebagaimana hakikatnya. Adapun berbagai pelanggaran yang dilakukan merupakan bukti kebobrokan demokrasi yang telah gagal menyolusikan berbagai problematik kehidupan manusia.”

Oleh. Tsuwaibah Al-Aslamiyah
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Nilai demokrasi kian memudar di daratan Eropa yang dijuluki Kota Spa ini. Negara tersebut telah bertransformasi dari kerajaan, kekhilafahan Islam, komunisme, hingga demokrasi-kapitalisme. Konsep demokrasi illiberal yang dijagokan sang Perdana Menteri Hungaria Viktor Orban nyatanya utopis belaka.

Diwartakan dari Republika.co.id (19/9/2022) bahwa parlemen Uni Eropa (UE) merekomendasikan penangguhan pendanaan untuk Hungaria sebesar 7,5 miliar euro. Ini merupakan sanksi keuangan baru yang diperkenalkan UE sejak dua tahun lalu sebagai respons atas terkikisnya demokrasi di Hungaria.

Sungguh mencengangkan, Perdana Menteri Hungaria Viktor Orban yang telah berkuasa selama empat periode senantiasa menggaungkan ’demokrasi illiberal’ dan menciptakan ’rezim hibrida autokrasi elektoral' (Tempo.co, 6/4/2022).

Lantas demokrasi macam apa yang diterapkan di Hungaria? Bagaimanakah transformasi sistem pemerintahan Hungaria dari masa ke masa? Benarkah negeri Danau Balaton ini pernah ada dalam dekapan Khilafah? Apa dan bagaimana demokrasi dalam perspektif Islam?

Demokrasi Illiberal ala Hungaria

”Sudah saatnya kita mengganti demokrasi liberal yang telah karam dengan demokrasi Kristen abad ke-21 yang menjamin kebebasan dan keamanan orang-orang.” Pernyataan itu lantang disuarakan Viktor Orban pada 2018 silam di hadapan anggota parlemen Budapest, saat itu ia masih menjadi politikus, namun akhirnya melenggang menjadi perdana menteri Hungaria selama 4 periode.

Namun harapan tinggallah harapan, demokrasi ala Orban itu berujung kerusakan bagi Hungaria dan Eropa. Realisasinya, muncul ragam kebijakan populis dan konservatif, bahkan condong pada otoritarianisme. Padahal, Orban dulunya seorang aktivis antikomunis yang memperjuangkan kehidupan demokratis.

Sejak Orban terpilih menjadi perdana menteri Hungaria pada 2010 silam, perlahan ia memusatkan kekuasaannya dan mengontrol seluruh lini kehidupan bernegara agar sejalan dengan kepentingannya. Penguasaan media ia ambil alih, regulasi ia manipulasi, ia lemahkan aturan hukum dengan menempatkan pendukungnya pada jabatan strategis. Tak segan, ia ’gebuk’ pihak-pihak yang kritis dan vokal terhadap kinerja pemerintahnya. Kengerian ia tebar sedemikian rupa pada kaum imigran dan kelompok minoritas.

Demokrasi illiberal ala Orban dalam praktiknya menjadikan demokrasi sebagai formalitas belaka, faktanya menerapkan otoritarianisme. Hal ini pun dituturkan oleh Zack Beauchamp dalam tulisan yang berjudul ”It Happened There: How Democracy Died in Hungary” yang diterbitkan Vox (2018). Di antara indikatornya sebagai berikut:

Pertama, penyelenggaraan pemilu yang manipulatif. Tak dimungkiri rezim Orban tetap menyelenggarakan pemilu. Namun sungguh menakutkan, seribu cara licik dilancarkan untuk memperpanjang eksistensinya dalam kekuasaan seperti memosisikan loyalisnya pada pos strategis di lembaga pengawas pemilu, dan mengintervensi kelompok oposisi.

Kedua, Orban bersama kroni-kroninya mencengkeram kepemilikan media hingga mencapai 90 persen. Media ini dijadikan alat propaganda. Nihil independensi. Media kritis diteror dan ditekan untuk menjual kepemilikannya ke negara atau oligarki di lingkaran Orban. Jika bersikeras menolak, tagihan pajak atas fee dari iklan dengan jumlah fantastis dan irasional akan dilayangkan pada media tersebut.

Ketiga, penguasaan terhadap perusahaan vital milik negara pun dikuasai Orban dan kroninya. Sehingga, membuka lebar penyalahgunaan dan penyelewengan dana negara untuk kepentingan para elite.

Keempat, bongkar pasang institusi. Resolusi aturan negara yang diinisiasi Orban itu ternyata disetujui oleh 433 anggota parlemen, sementara itu hanya 123 anggota yang tidak setuju dan 28 lainnya abstain.

Selain itu, tersiar kabar kemesraan Orban dengan presiden Rusia, Vladimir Putin. Inilah berbagai indikator yang menjadi dasar pertimbangan UE mengeklaim bahwa Hungaria telah berpaling dari demokrasi sekaligus melakukan pelanggaran serius terhadap norma-norma UE (Tirto.id, 13/10/2019).

Transformasi Hungaria dari Masa ke Masa

Setidaknya Hungaria mengalami 4 kali transisi pemerintahan sepanjang usianya yakni: Kerajaan Kristen, Kekhilafahan Islam, Republik ala komunisme, dan Republik ala demokrasi-kapitalisme.

Berawal dari masa pendudukan bangsa Hun; Roman; Celtic; Gepid; Slavia; dan Avar, terbentuklah Kerajaan Hungaria pada akhir abad ke-9 oleh Pangeran Agung Arpad. Kerajaan ini bertahan selama 9 abad. Namun, pada awal abad ke-16 sebagian wilayahnya ditaklukkan oleh Khilafah Turki Utsmaniah, berjaya hingga 1,5 abad. Pada akhir abad ke-17, Hungaria direbut dari dekapan Utsmani dan kembali menjadi Kekaisaran Habsburg. Wilayahnya kemudian menjadi bagian dari Kekaisaran Austro-Hungaria. Negara ini terseret pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Nahas, negara ini mengalami kerugian hebat dan kehilangan lebih dari 71% wilayah dan separuh penduduknya.

Kekaisaran Austro-Hungaria kemudian bertransformasi menjadi negara Republik komunis atas arahan Uni Soviet selama empat dekade (1947-1989) dan memerintah dengan ’tangan besi'. Pada 23 Oktober 1989 hingga saat ini, Hungaria menjadi republik parlementer yang menerapkan demokrasi dan kini tergolong dalam negara berkembang.

Hungaria dalam Dekapan Khilafah Utsmaniah

”Hongaria Utsmaniyah” inilah julukan masyhur bagi sebuah wilayah di Hungaria pada abad pertengahan yang berada di bawah naungan Kekhilafahan Turki Utsmaniah. Kekuasaannya bertahan hingga 1,5 abad terhitung sejak tahun 1541 M hingga 1699 M. Wilayahnya meliputi bagian tengah dan selatan bekas Kerajaan Hungaria.

Khilafah Utsmani atau biasa dikenal sebagai Ottoman melakukan futuhat pada Kerajaan Hungaria pada awal abad ke-16. Namun, ada bagian-bagian Hungaria yang tidak ditaklukkan oleh Ottoman, kemudian dianeksasi oleh Austria (penguasanya raja-raja Kerajaan Hungaria).

Penaklukan itu dipimpin oleh Sultan Sulaiman Al-Qanuni dengan mengerahkan 6.362 pasukan elite Janissari. Pada 21 Agustus 1541, pasukan Utsmani berhasil mencapai kota Buda dan terlibat dalam pertempuran dengan 20 ribu pasukan Habsburg pimpinan Wilhelm Freiherr bin Roggendorf. Pertarungan dimenangkan oleh pasukan Sulaiman Al-Qanuni dan Roggendorf tewas.

Tak dimungkiri populasi penduduk Hungaria pada masa Utsmani mengalami penyusutan dikarenakan peperangan, penjualan budak, dan gelombang migrasi para bangsawan yang kehilangan tanah-tanah mereka. Namun, Utsmani tidak berdiam diri. Dengan segala kebijaksanaannya dia merangkul dan mengizinkan berbagai etnis dan agama untuk tinggal dalam wilayahnya, asalkan bersedia tunduk pada regulasi hukum yang ditetapkan Utsmani berikut menunaikan kewajiban jizyah pada negara. Konsekuensinya, mereka akan mendapatkan hak kesejahteraan dan perlindungan sebagaimana warga negara lainnya.

Menurut Bruce Alan Masters dalam ”Encyclopedia of the Ottoman Empire Facts on File Library of World History Gale” selama Khilafah Utsmaniah memimpin Hungaria, banyak orang muslim dan Yahudi yang diselamatkan dari keganasan akuisisi Spanyol dan menyediakan tempat yang layak bagi komunitas Yahudi untuk menetap di sana. Sayangnya, kejayaan itu hanya berlangsung 150 tahun saja. Sebab, pada akhir abad ke-17 Austria beserta sekutu Kristennya merebut Hungaria dari genggaman Utsmani (Chanelmuslim.com, 21/9/19)

Hakikat Demokrasi

Demokrasi telah melebarkan sayapnya sedemikian rupa. Kini, menjelma menjadi ideologi politik dengan negara follower terbanyak di dunia, bahkan termasuk negeri-negeri Islam. Sihir demokrasi mampu ’menghipnotis' pengembannya dan bersikeras mendaulat demokrasi menjadi ideologi terbaik, yang diyakini mampu membentuk tatanan masyarakat yang egalitarian, adil, dan sejahtera. Tiap kebobrokan dan pengkhianatan para elite penguasanya distempel dengan dalih ’akibat macetnya saluran demokrasi'. Kepercayaan dunia akan demokrasi semakin memuncak setelah kebangkrutan sistem otoriter-komunis di sejumlah negara bekas Uni Soviet dan Eropa Timur.

Sejatinya tidak ada teori demokrasi yang baku. Konsep demokrasi berkembang dinamis dari waktu ke waktu dan turunannya pun beragam. Ketidaksempurnaannya membuka celah kritik tajam, menyiratkan keraguan akan kemampuannya menjawab berbagai tantangan zaman.

Bentuk pemerintahan republik atau kerakyatan yang demokratis menjadi viral dan mendunia setelah lahirnya sekularisme di Eropa, tepatnya terjadi setelah Perjanjian Westphalia 1648. Saat itu kekuasaan politik negara diceraikan dari aturan agama, agar rasionalitas akal manusia diposisikan dalam tempat tertinggi nan suci dalam melahirkan berbagai aturan kehidupan manusia. Demikianlah ide sekularisme menjadi fondasi dasar dari demokrasi.

Bagai gayung bersambut, Robespierre seorang politikus paling berpengaruh pada Revolusi Prancis melayangkan semboyan Liberte (kebebasan), Egalite (persamaan), dan Fraternite (persaudaraan) sebagai prinsip dari demokrasi yang diimplementasikan dalam warna-warni bendera nasional.

Demokrasi dan kapitalisme bagai dua sisi mata uang, tak bisa terpisahkan satu dengan yang lainnya. Pemilu merupakan bagian dari prosedural demokrasi, membutuhkan dana fantastis untuk membiayai kampanye legal-ilegal, rasuah, money politic, pencitraan partai dan politikus. Mustahil semua itu dibiayai dari kocek pribadi atau partai semata. Di sinilah para kapital/pengusaha/korporasi mendapatkan ruang untuk mengendalikan kekuasaan. Walhasil, penguasa yang seharusnya mengabdikan diri pada rakyat, malah menjalin hubungan intim dengan pengusaha tersebab ’jasanya’.

”No free lunch” alias tidak ada makan siang gratis. ’Bantuan dana' dari pengusaha tentu saja memiliki maksud tertentu. Di antaranya jaminan bagi keberlangsungan bisnisnya, harapan untuk memenangkan tender proyek pemerintah, serta penguasaan pada aset rakyat (SDA) dan negara. Jadilah elite politik disetir untuk kepentingan pengusaha.

Demokrasi pun berkelindan dengan liberalisme. Sebab negara yang demokratis dapat dipastikan menjamin kebebasan beragama, pendapat, berekspresi, dan kepemilikan. Oleh karena itu, ide demokrasi illiberal hanyalah isapan jempol semata, mustahil terwujud!

Dari sini dapat disimpulkan bahwa Hungaria masih mengamalkan demokrasi liberal sebagaimana hakikatnya. Adapun berbagai pelanggaran yang dilakukan merupakan bukti kebobrokan demokrasi yang telah gagal menyolusikan berbagai problematik kehidupan manusia.

Demokrasi dalam Perspektif Islam

Islam tidak pernah melahirkan demokrasi sepanjang usianya. Sebab, demokrasi memang produk Barat, walaupun kini banyak diadopsi negeri muslim. Bila ditelisik dari perspektif Islam, demokrasi mempunyai 5 pilar utama yakni:

Pertama, demokrasi merupakan hasil cipta karsa akal manusia, bukan wahyu Allah Swt. Bahkan, tak berkaitan sedikit pun dengan ajaran agama samawi mana pun. Kedua, demokrasi terpancar dari sekularisme (paham yang memisahkan agama dari kehidupan).

Ketiga, demokrasi menjadikan rakyat sebagai kedaulatan tertinggi dan sumber kekuasaan. Keempat, demokrasi dibangun berdasarkan suara mayoritas. Semua keputusan berkaitan dengan hukum, penguasa beserta kebijakannya diambil dari suara mayoritas. Tentu saja yang dimaksud mayoritas di sini bukan keinginan rakyat secara keseluruhan, namun cukup diwakili oleh suara para wakil rakyat ’yang terhormat'. Tepatnya, suara minoritas yang mendapat otoritas dapat memuluskan kepentingan tanpa batas di balik suara mayoritas.

Kelima, demokrasi menjamin kebebasan mutlak (liberalisme) dalam hal beragama, berpendapat, berekspresi, dan kepemilikan. Faktanya, semua hal yang seirama dengan kepentingan penguasa akan terjamin eksistensinya, namun yang kontradiktif dan kritis siap-siap ditebas habis.

Dari sana jelas terbukti bahwa demokrasi merupakan sistem batil dan haram untuk diadopsi kaum muslim. Bahkan, Islam menegaskan bahwa manusia tidak pantas menggubah sendiri aturan hidup manusia. Sebab, hanya Allah saja yang berhak untuk mengatur hidup manusia. Sedangkan manusia hanyalah pelaksana aturan itu. Sebagaimana firman Allah Swt. yang artinya: ”Katakanlah (Muhammad): “Aku (berada) di atas keterangan yang nyata (Al-Qur’an) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah kewenanganku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah.” (QS. Al-An’am: 57)

Kebebasan tanpa batas itu tidak ada. Sebab, segala perilaku manusia harus senantiasa terikat dengan hukum syarak (aturan Allah), bukan hawa nafsu belaka. Oleh karena itu, liberalisme dan kapitalisme yang lahir dari sekularisme haram hukumnya, tanpa tawar menawar lagi.

Khatimah

Demokrasi memiliki cacat bawaan yang tidak bisa ditutupi dengan topeng apa pun. Penerapannya hanya menghasilkan kerusakan belaka. Sepanjang sejarah Hungaria, hidup dalam naungan Khilafah Utsmaniah yang berlandaskan Islam, terbukti mampu menorehkan prestasi terbaiknya dalam kepengurusan warga negara sesuai fitrah manusia. Kini, sudah saatnya Hungaria termasuk dunia memalingkan diri dari demokrasi jika ingin selamat dari dahsyatnya azab dunia dan akhirat.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Tsuwaibah Al-Aslamiyah Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Pelonggaran Aturan Siswi Hamil, Solutifkah?
Next
Ikhlas Berbagi Ilmu
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Entin
Entin
2 years ago

Demokrasi bukan dari Islam, tidak akan menyelamatkan bahkan akan menyebabkan kehancuran

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram