Sadarkan Diri dari Uang Beracun

"Bahkan si tante yang ia sayangi pun, meski sudah sadar kematian sang suaminya tahun lalu adalah karena depresi berat akibat riba utang bank, namun beliau masih tetap saja tidak terima akan keputusan Andi yang mengeluarkan diri dari arena pekerjaan haram itu dan memilih untuk hanya menjadi pedagang bakso keliling sambil membuka usaha pemesanan catering makanan."

Oleh. Mi'ratul Lailiyah
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com- Tok… tok….tok, tangan Andi terasa sangat berat mengetuk pintu rumah debitur bank yang akan diberinya surat peringatan keterlambatan pembayaran utang bank. Sebab sang debitur yang saat ini terjebak masalah kredit macet itu adalah pamannya sendiri yang sedang dilanda kebangkrutan bisnis dalam usahanya.

Ya, memang selama ini ia cukup berani untuk bersikap tegas menagih utang para debitur lain yang bersembunyi dan melarikan diri. Kini, ketegasan itu memang terasa sangat memberatkan untuk ia berikan pada seorang debitur yang tidak lain masih tergabung dalam tali kekeluargaan dengannya yang sejak dulu banyak menyiramkan kasih sayang padanya.

“Hei… maaf Mas, rumah itu sedang kosong. Karena yang punya rumah sedang sakit dan dirawat di rumah sakit. Terus, istrinya juga sedang menjaganya di sana,” teriak seorang tetangga pamannya dari seberang jalan.

Andi pun terkejut. "Hah ?!…sa…sakit ? sejak kapan, Bu ?"

"Ya, sudah sekitar 2 hari yang lalu," jawab tetangga pamannya.

"Ba…baik…, terima kasih ya, Bu atas informasinya," balas Andi.


"Ta…Tan…Tante. Maaf, bagaimana kondisi paman?" tanya Andi terbata-bata, sembari segera mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan tantenya yang sedang duduk di samping pamannya yang tergeletak lemas dalam kamar rumah sakit.

"Lho, Andi?" kata tantenya terkejut. "Kok, kamu tahu aku disini ?" tambah tantenya bertanya.

"Iya, maaf saya baru tahu tadi dari tetangga depan rumah Tante, saat saya ke rumah Tante," jawab Andi.

"O… Kamu tadi ke rumahku, tho?!"

Andi mengangguk pelan.
"Ada apa kamu ke rumahku tadi, Nak ?" tanya tantenya. Andi terkejut pada pertanyaan tantenya itu. Ia tersentak gemetar, ketakutan untuk menjawabnya. Karena muncul tugas wajib dari meja kerjanya yang mengotori rasa rindunya untuk mengunjungi sang paman dan tante yang sudah ia anggap sebagai orang tua kandungnya sendiri.

"Ehm…e… saya, ya cuma ingin silaturahmi aja," jawab Andi pelan sambil menyembunyikan tujuan asli kedatangannya.

"Oo…begitu. Aku kira disuruh bank tempat kerjamu itu. Karena kalau disuruh bank, mungkin baru ada uangnya beberapa hari lagi. Sebab, transaksi uang penjualan rumahku yang mau aku pakai bayar utang banknya itu baru dikirim pembeli rumahnya seminggu lagi," ujar tantenya panjang lebar.

"Hah… rumah Tante, dijual ?!" Andi terkejut. Si tante bernapas dalam-dalam, bibirnya murung dan digigit pelan sebelum melontarkan jawaban. "Ya, mau bagaimana lagi ? Aku sudah tidak pegang uang atau harta buat melunasi utang bank itu. Apalagi…butuh tambahan uang juga buat biaya pengobatan pamanmu yang sedang sakit berat gara-gara takut melarat ini sekarang," sambung sang tante menjawab.

Mata Andi berat untuk tetap terbuka. Ada kesedihan yang mendesak keluar dari dalam dirinya.


Kesedihan dan keberatan perasaan dalam dada Andi semakin bergejolak keluar, menyulut mendung di wajahnya, membuat garis senyum sapaan yang biasanya tumbuh di bibirnya saat saling berpandangan dengan orang lain menjadi lesu, murung sekali.

“Lho, Andi ?! Alhamdulillah. Hei…apa kabar kawan?” ujar seorang lelaki muda yang berpapasan dengan Andi di pelataran masjid. Ia baru saja melaksanakan ibadah salat Isya.

Andi masih merasa keberatan dalam dadanya untuk menanggapi lelaki muda yang berpapasan dengannya itu, tapi ia memaksa untuk melukis senyum keramahan. “Baik," jawab Andi pelan.
“Hei, ingat aku gak? ini aku Rusman, kawan kamu kuliah dulu sobat!" kata lelaki muda itu menunjukkan identitasnya.

Andi mengangkat kedua bola matanya, mulai teringat kembali kawannya itu, si Rusman yang terkenal jadi mahasiswa berprestasi di kampus. Seorang mahasiswa yang sukses meraih beasiswa yang membuatnya tidak sulit mencari lowongan kerja setelah diwisuda. Karena ia segera mendapatkan tawaran pekerjaan di kantor manajerial bank ternama.

“Hei…kerja dimana kamu sekarang sobat ?" tanya Rusman. Andi menunduk kaku, iya agak ragu dan malu untuk menunjukkan profesinya yang sedang bermasalah itu.

"Kalau kamu masih tetap di kantor bank itu, kan?" tanya Andi dengan segera sebelum menjawab pertanyaan Rusman untuk mengalihkan pembicaraan.

"Kalau aku sih sudah enggak di bank lagi. Tapi sekarang cuma jadi guru honorer SMP swasta aja," jawab Rusman.

"Lho, kenapa ? Bukannya lebih baik di kantor bank yang gajinya lebih mantap itu?" tanya Andi.

Rusman tersenyum kecut. "Iya gaji besar emang didapat, tapi rasa nikmat udah pasti gak bakal bisa dinikmati dengan mantap…."

"Hah, kok bisa?" potong Andi. Rusman mengangkat kedua alis matanya. "Ya, coba kamu pikir. Percuma, kan gaji zaman sekarang yang cepat habis buat memenuhi semua kebutuhan pokok yang harganya pada mahal?Sampai bikin banyak keinginan dan impian kita yang nggak bisa terpenuhi juga."

Andi tersenyum tipis, membenarkan kalimat Rusman. Kemudian Rusman melanjutkan lagi penjelasannya, "Dan bukan cuma itu, Sobat. Kenikmatan yang udah jelas gak bisa dirasakan saat kita masih hidup di dunia ini bakal lanjut juga jadi kerugian abadi saat kita sudah mati nanti. Karena kalau kita kerja di bank, berarti kita kerja dalam lumpur dosa riba yang udah jelas diharamkan Allah dalam Al-Qur'an, iya kan?"

"Astaghfirullah, iya juga…” ucap Andi lirih.

"Lagian kalau tetap lanjut kerja di ladang keharaman yang udah diberitahukan Allah yang Maha Tahu ketentuan terbaik bagi semua hamba-Nya itu, udah pasti juga efek negatifnya bakal bikin lebih numpuk lagi buat semua orang yang terikat tali kerja sama bank ini," tambah Rusman menjelaskan.

Andi mengerutkan matanya, "Maksudnya?"

"Ya, buat nasabah yang sebenarnya tujuan utamanya itu menyimpan uang di bank biar hartanya aman, eh ternyata malah dikhianati pihak bank yang justru keliling-keliling minjemin duit simpanan itu ke orang lain, tanpa izin resmi pemilik asli uang. Nah, kalau kerjaanku disuruh berkhianat gitu, maka itu sama artinya bikin karakterku jadi pembohong yang hina dan makin berdosa. Terus juga, makhluk sosial yang harusnya kita saling tolong menolong, ternyata justru bikin donatur makin kesulitan ditikam duit riba yang selalu membengkak minta tambahan pembayaran," kata Rusman menjelaskan.

Andi makin tersentak kaku dan malu akan kebenaran penjelasan Rusman. Ia merasa durhaka, tidak berbalas budi dan tidak berkasih sayang pada paman dan tantenya. Sebab, pekerjaannya yang berkecimpung dalam dunia bank yang berulang kali menagih uang riba pada mereka itu sudah jelas membuat mereka makin terjepit masalah yang menyusahkan mereka.


“Bang, baksonya udah siap diantar, nih !” teriak istri Andi yang menyuruhnya untuk mengantarkan pesanan catering.

"Oke, tunggu sebentar, ya ! Aku siap-siap ngeluarin motornya dulu," sahut Andi menjawab teriakan istrinya.
Tak lama setelah itu Andi pun bergegas masuk dalam dapur, mengambil panci bakso yang akan diantarkanya. "Eh, Rin… dua panci catering itu langsung aku bawa aja ya, satu aku taruh depan dan satu lagi aku ikat di boncengan belakang. Supaya aku nggak bolak-balik antar dan bisa irit bensin juga yang lagi mahal sekarang," kata Andi. Rina, istri Andi tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya.

"Eh…eh… jangan…! Jangan begitu, An. Nanti takut pancinya jatuh kalau kamu ngelewatin jalanan yang rusak," cegah sang tante Andi.

“Ya, tapi pancinya akan saya ikat kok, Tan !” jawab Andi mengelak.

“Aduh, meski udah diikat tapi kalau jalanan rusak itu bikin motormu berguncang-guncang, ikatannya itu mudah putus juga, kan? Terus mudah juga bikin pancinya jatuh dan kamu malah jadi rugi, terus aku sama istrimu juga capek, percuma masaknya, iya kan?”

“Ya, udah Bang. Biar aman, mending ngantarnya tetap dua kali aja dan aku ikut antar juga untuk pegang pancinya biar gak jatuh," kata Rina sambil mengedip-ngedipkan matanya pada Andi untuk mencegah perdebatan antara suaminya itu dengan sang tante.

“Nah, iya betul begitu aja, An." sahut tante Andi.

"Semuanya memang sedang mahal, mau irit tetap sulit, mau cari kerja juga jarang ada lowongan. Makanya mending kamu balik dan menetap aja kerja di bank itu," sambung tantenya. Andi tertunduk lesu. Rina menarik napasnya dalam.

"Ya, tidak apa-apa kok, Tan… meski Mas Andi setiap harinya sekarang hanya jadi pedagang bakso keliling. Tapi pesanan catering yang selalu diterimanya ini pun, insyaAllah bisa jadi awalan mantapnya buat jadi pengusaha sukses yang mendatangkan uang halal yang berkah…," kata Rina mencoba untuk mengalihkan keinginan tante Andi yang masih berharap agar keponakan tercintanya itu kembali mendapatkan gaji tinggi, yang beliau kira dapat meringankan beban hidupnya saat ini.

"Hey… aku, sih nggak apa-apa kalau kamu tetap kerja di sana, Nak. Kamu tidak perlu merasa bersalah kalau ditugaskan nagih-nagih utang begitu, sampai pamanmu wafat karena tagihan utang begitu pun, mungkin itu sudah takdirnya. Justru aku yang mau berterima kasih karena kamu mau menumpangi aku yang sedang hidup sendirian ini, tanpa suami, tidak punya anak keturunan dan gak punya rumah lagi," ujar sang tante.

Rina dan Andi saling berpandangan lesu mendengar komentar tantenya itu.


"Astaghfirullah…," Andi yang sedang duduk dalam kamar mengulang-ulang istigfarnya dalam hati usai mengantarkan pesanan bakso catering -nya.

Ia sangat kecewa besar melihat pemikiran para umat manusia saat ini. Mereka hanya menyadari pahit dan sulit dalam menjalani kehidupan. Namun, kebanyakan mereka juga tidak mau bangkit untuk menyelesaikannya.
Bahkan si tante yang ia sayangi pun, meski sudah sadar kematian sang suaminya tahun lalu adalah karena depresi berat akibat riba utang bank, namun beliau masih tetap saja tidak terima akan keputusan Andi yang mengeluarkan diri dari arena pekerjaan haram itu dan memilih untuk hanya menjadi pedagang bakso keliling sambil membuka usaha pemesanan catering makanan.

"Kenapa Bang? Masih kepikiran masalah sama tante tadi, ya?" tanya Rina.

Andi mengangguk pelan. "Hmm… Gimana ya biar tante itu nggak kolot dan keliru terus-terusan begitu ? Karena kalau mau aku sanggah kalimat suruhannya itu, masih ada benarnya juga ngeliat suasana duit kehidupan yang makin gawat darurat begini, " keluh Andi.

"Ah, benar apanya, Bang? Kalau benarnya cuma dalam suasana ekonomi kehidupan kita yang lagi kacau berantakan gara-gara riba haram ini emang benar, sih. Buktinya, zaman sekarang negara kita yang nekat ambil utang bank dunia, jelas bikin tambah sulit ngatur kasnya. Sampai harga bensin dan kebutuhan pokok lainnya pun terasa tambah mahal, sulit didapatkan. Beda jauh banget kalau teknik riba itu dihapus total sesuai petunjuk sempurna dari Allah Swt. Kayak zaman Rasulullah dulu, saat jadi pimpinan negara Islam di Madinah. Unsur riba yang dilakukan kaum Yahudi dalam semua pasar Madinah dilarang total. Dan alhamdulillah itulah yang bikin semua rakyat jadi makmur. soalnya penipuan ekonomi udah ditangkap dan dibuang."

"Ya, emang benar gitu, sih..," sahut Andi.

"Tapi, kalau mau membenarkan suruhannya tante buat Abang untuk balik bekerja mencatat keharaman itu, udah jelas nggak benar, Bang!" kata Rina mengawali penjelasan panjangnya.

"Tuh, dalam hadisnya Rasulullah aja, beliau sudah bilang bahwa Allah mengutuk para pemakan riba, pemberi makan riba, kedua saksi transaksinya, dan pencatat ribanya," lanjut penjelasan Rina. "Nah, kalau kerjaan haram itu aja dikutuk sama Sang Pencipta kita, Allah Swt. udah pasti gaji Abang nanti nggak bakal berkah buat biaya hidup kita di dunia, tapi yang lebih pasti bikin dosa besar ke alam neraka. iya kan ?"

"Iya sih, emang yang benar itu bukti efek negatifnya riba yang sudah dirasakan juga sama tante. Tapi, yang aku bingungkan itu gimana biar tante sadar rasa pahitnya dan berhenti juga memengaruhi aku buat kerja negatif begitu?" keluh Andi.

"Ya, emang saat orang itu keliru isi pikirannya, maka semua perbuatannya juga jadi selalu salah berantakan dan ngajak-ngajak kita terus buat balik lagi ke dalam arus kesalahan. Makanya buat kita-kita yang udah tahu petunjuk kebenarannya dari Allah, tentu gak bisa juga kita diam. Biar gak balik lagi nurutin kesalahan," jawab Rina memberi nasihat penyemangat bagi suaminya.

"Hmm…tapi aku gak diam juga… Aku udah pernah bicara menjelaskannya," kata Andi.

"Ya, tapi ngasih penjelasan biar orang yang salah itu sadar akan kesalahannya nggak bisa cuma sekali. Harus berkali-kali…. Biar hati dan pikirannya terbuka dari nafsu yang sering dipengaruhi bisikan setan dalam dadanya," ujar Rina meyakinkan.

Andi tersenyum tipis. Lalu, Rina pun menggenggam kedua tangannya. "InsyaAllah, aku bakal bantu Abang buat bicara, mendakwahi tante, karena dakwah adalah kewajiban kita dari Allah Swt. Bahkan, kalau kita hanya gak suka dalam hati, tanpa bangkit beraksi akan kesalahan yang terjadi, maka itu artinya kita lagi lemah iman."

Andi menganggukkan kepalanya, ia tersenyum puas, membenarkan kalimat sang istri salehahnya yang baru ia nikahi tiga bulan lalu. Itu. Ia sangat bahagia karena mendapat seorang jodoh beriman yang setia menerima kondisi apa adanya dalam hidupnya. Sungguh ia sangat bersyukur pula mendapat hadiah dari Allah Swt melalui proses ta'arufnya setelah bertobat dari dalam ruang maksiat pekerjaan bank yang haram.

"Ya dah, Bang. Yuk, kita salat Isya' jemaah sambil nanti kita berdoa pada Allah Swt Yang Maha Membolak-balikkan hati para hambaNya, agar Dia limpahkan kesabaran dalam hati kita dan Dia balikkan juga hati tante menuju pintu kebenaran Islam," ajak Rina.
Andi menarik napasnya dalam-dalam, ia makin puas dan bahagia dalam hatinya.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Mi'ratul Lailiyah Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Seindah Pelangi
Next
Bukan Muslimah Biasa!
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram