"Air merupakan sumber kehidupan bagi umat manusia. Seharusnya negeri ini memiliki visi politik SDA yang berorientasi pada kemaslahatan rakyat. Terlebih negeri ini memiliki wilayah perairan yang lebih luas ketimbang daratannya."
Oleh. Tri S, S.Si
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Masyarakat Indonesia selalu berharap adanya iklim tropis bisa memberikan manfaat yang signifikan untuk kelangsungan hidup di negeri ini. Harapannya ketika musim hujan mereka bisa menanam padi dengan hasil yang memuaskan, ketika musim kemarau bisa menanam jagung tanpa merasa takut kekurangan air. Mayoritasnya memang begitu, namun apa daya faktanya saat hujan, kebanjiran adalah problem rutin yang tak pernah absen. Sedangkan ketika kemarau, kekurangan air dan kebakaran hutan juga selalu menghantui.
Perihal iklim memang bukan kuasa manusia, namun bila dicermati pengelolaan alam oleh manusia membawa pengaruh besar akan perubahan iklim saat ini. Seperti pemanasan global misalnya, menjadikan perubahan iklim kian ekstrem. Belakangan ini cuaca panas makin terasa di berbagai wilayah, khawatir adanya kemarau yang berujung pada kekeringan merupakan hal yang wajar.
Sebagaimana yang telah terjadi pada masyarakat nelayan di Dusun Toroh, Kecamatan Kenuak, Lombok Timur yang menerima bantuan air bersih dan sembako dari Polres Lombok Timur. Dikarenakan sepanjang tahun, wilayah ini kerap kekurangan air bersih. Bahkan mereka harus membeli air seharga Rp50.000 untuk kebutuhan sehari-hari selama sepekan. Sangat disayangkan, meski memiliki potensi sumber air yang melimpah, ternyata negeri ini tidak bebas dari krisis. Dampak kekeringan tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain seperti di India, Afrika Timur hingga Cina. Kekeringan diprediksi akibat beberapa faktor di antaranya fenomena El Nino, kuatnya Muson Australia, dan anomali peningkatan suhu udara akibat perubahan iklim.
Kelangkaan air bersih bagi manusia selalu menjadi ancaman dari tahun ke tahun. Jika iklim terus berubah pada tahun 2025, kekurangan air akan semakin parah. Bahkan di tahun 2050 nanti diperkirakan dua pertiga penduduk bumi akan mengalami kekurangan air. (Bmh.or.id, 02/09/2022)
Di Indonesia sendiri hampir sebagian wilayah mengalami kekeringan dan krisis air. Sebagaimana yang dilaporkan Bappenas, wilayah pulau Jawa dan Bali ketersediaan air sudah tergolong langka dan kritis. Kelangkaan air bersih juga berlaku untuk air minum. Menurut RPJMN 2020-2024, hanya 6,87% rumahtangga yang memiliki akses air minum aman. (envihsa.fkm.ui.ac.id, 30/09/2022)
Di antara penyebab kekeringan di Indonesia ialah kelangkaan hutan yang memicu terjadinya krisis air baku, terutama pulau-pulau yang tutupan hutannya rendah, seperti Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Selain itu berkurangnya daerah resapan yang dikarenakan pengalihan fungsi lahan terbuka hijau menjadi bangunan tempat tinggal. Adanya kebijakan liberalisasi SDA menjadikan swasta leluasa mengeksploitasi sumber daya air. Dan juga kerusakan hidrologis seperti rusaknya wilayah hulu sungai akibat pencemaran air, sehingga kapasitas dan daya tampung air berkurang. Krisis air sudah pasti akan berdampak pada produktivitas pertanian, sebab gagal panen akan mengganggu persediaan pangan, kekurangan gizi dan kelaparan akut. Jika hal ini terus berlanjut, ancaman krisis pangan bukan tidak mungkin akan menjadi fakta mengerikan di negeri ini.
Air merupakan sumber kehidupan bagi umat manusia. Seharusnya negeri ini memiliki visi politik SDA yang berorientasi pada kemaslahatan rakyat. Terlebih negeri ini memiliki wilayah perairan yang lebih luas ketimbang daratannya. Akan sangat ironis jika krisis air terus berulang. Islam telah memberikan aturan, bahwasanya kepemilikan SDA seperti hutan, air, sungai, danau, laut merupakan milik rakyat keseluruhan. Maka, ia harus dikembalikan tidak boleh diliberalisasi, melainkan harus dikelola oleh negara untuk kemaslahatan rakyat. Selain itu, negara juga harus secara langsung terlibat dalam proses produksi, distribusi, pengawasan, pemanfaatan air. Dan menyalurkannya kepada masyarakat melalui industri air bersih perpipaan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Terhadap pengelolaan ini, tidak boleh diserahkan ke individu maupun swasta, negara wajib memberdayakan ahli terkait agar memudahkan rakyat menikmati air bersih.
Negara juga harus melakukan rehabilitasi dan memelihara konvensi lahan hutan agar daerah resapan air tidak hilang. Serta mengedukasi masyarakat agar bersama-sama menjaga lingkungan dengan pembiasaan hidup bersih dan sehat. Tak lupa juga memberi sanksi tegas bagi para pelaku kerusakan lingkungan.
Sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini memandang bahwa alam itu sebagai sumber daya yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk mendatangkan keuntungan materi. Dengan paham kebebasan kepemilikan telah membuat manusia mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam (SDA), tanpa memikirkan dampak ke depan. Baru jika ada masalah, diselesaikan secara parsial, yang tentu tak mampu menuntaskan persoalan. Belum lagi tugas negara hanya sebagai regulator dan “sedikit” turun tangan langsung. Makanya sangat tak suka mengurus publik dengan detail, “khawatir memanjakan” itu dalihnya.
Sungguh kita perlu penguasa dan negara yang peduli, dan tak apa menjadi pihak yang menjamin segala yang dihadapi masyarakat. Sebagaimana sabda Nabi :
“Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR. Al-Bukhari)
Belum lagi jika bicara kesadaran masyarakat, dalam sistem kapitalis sudah lazim publik cenderung acuh. Yang penting urusannya beres. Masyarakat yang islami, akan sangat peduli karena peduli urusan umat adalah kewajiban. Semua berdosa atas pengabaian masalah di sekitarnya. Maka, mudah bagi seorang individu atau komunitas masyarakat yang bermasalah kekeringan atau kebanjiran dalam Khilafah. Mau mengadu jelas tempatnya, yaitu penguasa. Tetangga juga sangat peduli dan saling menolong.
Apalagi dalam Islam, tidak ada yang luput sedikit pun di dunia ini tanpa adanya syariat yang mengaturnya. Banyaknya peristiwa yang terjadi seharusnya menjadi cermin yang mengingatkan manusia atas kekeliruannya dalam mengelola sumber daya alam. Silih berganti musibah adalah wujud teguran atas dosa serta kezaliman yang dilakukan oleh tangan- tangan manusia tak beradab. Sehingga hilir mudik petaka, baik di darat maupun di laut, menjadi sanksi alam bagi manusia. Semakin banyak kerusakan terhadap alam yang dilakukan oleh manusia, semakin besar dampak yang akan dirasakan oleh mereka sendiri.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia. Supaya Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka. Agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (TQS. Ar-Rum:41)
Islam sebuah agama yang penuh rahmat, di dalamnya telah disempurnakan hukum dan aturan yang sesuai bagi manusia. Dalam hal pengelolaan air sebagai kebutuhan vital masyarakat, Islam mengklasifikasikannya sebagai milik publik. Yang dimaksud air di sini seperti sungai, danau, waduk dsb. Dalam aturan Islam, negara wajib mengelola sepenuhnya untuk kemaslahatan rakyat, dan haram diserahkan kepada swasta. Tujuannya memudahkan masyarakat agar tidak kesulitan mengaksesnya. Negara turut mengupayakan pendistribusian sebaik mungkin agar masyarakat di mana pun bisa mendapatkan air dengan mudah. Termasuk mengoptimalkan pembiayaan dari Baitulmal agar dapat mengembangkan teknologi mutakhir untuk melayani seluruh kebutuhan rakyat terhadap air, baik untuk air minum, industri, atau pun pertanian.
Juga wajib, negara mengatur pola pengembangan kawasan dengan tata kota terbaik dan menjauhkan dari pengalihan fungsi yang justru menyebabkan rusaknya alam, bumi di mana manusia tinggal. Negara juga wajib melakukan pengawasan terhadap alam dan pemanfaatan oleh masyarakat (untuk kebutuhan sehari-hari) melalui Muhtasib (pengadilan Hisbah) yang tugas pokoknya menjaga terpeliharanya hak publik secara umum. Negara juga wajib mencegah segala bahaya (dharar) atau kerusakan (fasad) pada sungai,hutan, dll. Juga melakukan konservasi lahan, menjaga keanekaragaman hayati (biodiversity), melakukan penelitian dsb.
Sanksi ta’zir yang tegas oleh negara akan dijatuhkan kepada semua pihak yang merusak alam. Ta’zir ini dapat berupa denda, cambuk, penjara bahkan hukuman mati, tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya. Pada prinsipnya, dengan adanya ta’zir akan menimbulkan efek jera agar kejahatan perusakan alam tidak terjadi lagi.
Melalui penerapan syariat Islam secara menyeluruhlah, semua mampu diwujudkan. Kekeringan maupun banjir yang merupakan kodrat alam, dapat diatasi secara tuntas dengan seperangkat aturan dan dinaungi oleh negara yang tunduk pada syariat. Sehingga kemaslahatan bisa dirasakan seluruh lapisan masyarakat. Allah berfirman : “Jikalau sekiranya penduduk negeri ini beriman dan bertakwa pastilah kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat Kami, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatan mereka.” (TQS. Al A’Raf : 96)
Semoga peristiwa yang terjadi ini dapat diambil sebagai iktibar untuk segera berbenah, agar rahmat bagi semesta bisa dirasakan seluruh anak beserta keturunan kita.
Walahu’alam bish shawab.[]