Kota Layak Anak Makin Banyak, Kekerasan Anak Tetap Merebak

"KLA tak dapat menghentikan laju peningkatan kekerasan pada anak. Sebab, akar permasalahan bukan hanya pada apa yang terlihat, tetapi berangkat dari sistem yang tidak mampu menjamin kesejahteraan bagi rakyat, juga memisahkan agama dari kehidupan."

Oleh. Nurjanah Triani
(Aktivis Dakwah dan Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com- Kota layak anak (KLA) merupakan suatu gagasan yang mengeklaim bahwa kota tersebut adalah kota terbaik untuk tumbuh kembang anak. Tak hanya terlihat secara fisik, kategori KLA adalah lingkungan yang memberikan anak ruang untuk meng- eksplore dunianya dengan nyaman dan aman, serta memfasilitasi pendidikan dunia anak yang sesuai dengan dunia anak.

Pada tanggal 23 Juli 2022, Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menganugerahkan penghargaan KLA ini pada 320 kabupaten/kota. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 275 kota/kabupaten. Artinya, semakin lama, kota yang termasuk ke dalam kategori KLA semakin banyak. Namun, mengapa kekerasan terhadap anak justru terus bertambah?

“Lembaga Save The Children melakukan pendampingan terhadap 32 kasus kekerasan terhadap anak dan 28 kasus kekerasan terhadap perempuan di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT). Lembaga kemanusiaan ini menyatakan bahwa tingkat kekerasan terhadap anak dan perempuan di kawasan NTT cukup tinggi.” (tempo.co, 13/09/2022)

Kekerasan terhadap anak semakin merebak meski sejalan dengan meningkatnya KLA. KLA seolah hanya menjadi sebuah ajang perebutan untuk setiap kota, namun nihil implementasinya. Lantas, mengapa peningkatan KLA tak mampu menurunkan angka kekerasan terhadap anak? Bagaimana seharusnya respons negara menanggapi kemandulan fungsi KLA? Lalu, bagaimana cara Islam memberikan jaminan keamanan terhadap tumbuh kembang anak?

Aset Peradaban

Anak sejatinya merupakan anugerah. Seorang anak adalah aset yang sangat berharga, baik dalam keluarga, negara, bahkan peradaban dunia. Peranan anak tak lepas dari estafet kehidupan. Tak heran, bagaimana para orang tua begitu berjerih payah memberikan pakaian, makanan, dan pendidikan terbaik untuk anaknya. Lebih dari lingkup keluarga, anak merupakan aset peradaban yang harus dijaga. Penjagaan terhadap anak tak bisa hanya berupa fisik semata, tetapi juga dari segi pendidikan, lingkungan, serta rasa aman agar anak memiliki ruang untuk meng- eksplore dunianya. Terjaminnya lingkungan yang baik untuk anak, akan menciptakan bibit-bibit unggul untuk perubahan di masa depan.

Kekerasan pada anak tentu akan menjadi penghambat untuk tumbuh kembang anak. Rasa trauma dan gangguan kecemasan dapat terekam jelas dalam jiwa seorang anak. Bak peniru andal, anak dapat mempelajari kejadian di sekitarnya. Ini akan sangat berbahaya jika yang ia lihat dan yang ia rasakan bukanlah tontonan yang baik, bukan perlakuan yang baik dan bukan lingkungan baik. Sebab tak hanya sampai pada fase trauma, anak juga akan mengikuti pola perilaku yang diterimanya. Kekerasan yang terjadi pada anak juga tidak hanya mengakibatkan anak terluka secara fisik, tetapi juga mental. Seorang anak yang mendapatkan kekerasan, akan melahirkan luka-luka tersembunyi yang sulit disembuhkan. Luka ini pula yang jika dibiarkan menganga berdampak pada karakter buruk yang mendarah daging pada dirinya hingga sulit untuk diubah. Jika kekerasan terjadi pada diri seorang anak, maka hal ini akan menciptakan karakter anak menjadi pemarah, pemurung, penakut dan perilaku negatif sebagai dampak pelarian rasa sakit yang diterimanya.

Peran negara dalam hal ini sangatlah penting. Menjamin keamanan untuk anak menjadi hal yang urgent dilakukan. Sebab karakter penerus bangsa diciptakan dari lingkungan dan pendidikannya. Jika karakter seorang anak itu terus tergerus akibat kekerasan dan rasa tidak aman yang dirasakan anak, maka negara akan sulit menemukan bibit unggul dengan karakter yang baik untuk melanjutkan estafet kehidupan. Adanya kategori KLA seharusnya membuat anak-anak menjadi lebih tenang. Namun, realitanya kekerasan pada anak justru menjamur di berbagai wilayah, baik kota maupun desa. Bahkan kekerasan pada anak juga banyak terjadi di kabupaten kota yang sudah dikategorikan sebagai KLA. Artinya, adanya KLA tetap tak memberikan jaminan keamanan untuk anak. KLA tak menyelesaikan permasalahan yang dihadapi seorang anak. Masih banyak anak yang terus mendapatkan kekerasan fisik, bullying, hingga eksploitasi. Kehadiran KLA ini seolah hanya formalitas yang realitanya tak menyelasaikan dan mencegah permasalahan anak secara tuntas.

Kapitalis Membuat Anak Menangis

Keberhasilan sebuah negara dan ideologinya dapat terlihat dari kemampuannya memberikan jaminan keamanan dan menjaga hak-hak rakyatnya. Salah satunya adalah terhadap anak-anak yang merupakan kelompok rakyat terlemah dalam sebuah struktur sosial masyarakat yang acap diabaikan. Kapitalis-liberal adalah suatu ideologi yang kini banyak dianut diberbagai negara, termasuk Indonesia. Ideologi dengan landasan sekulerisme ini meletakkan agama dalam kotak yang sempit. Agama didefinisikan sebagai ibadah ritual dan urusan personal, bukan menjadi common rules dan common sense. Di sistem ini, agama –khususnya Islam- terlarang untuk menjadi acuan dalam mengatur kehidupan. Dampaknya, kehidupan bermasyarakat dan bernegara ‘kering’ dari nilai-nilai keagamaan. Hal ini juga termasuk di dalamnya kehidupan dalam keluarga. Tingginya angka perceraian, KDRT, penelantaran anak, kenakalan remaja, dan yang sejenisnya merupakan buah pemisahan agama dari kehidupan.

Cengkeraman liberalisme di Indonesia telah masuk dalam nilai sosial dan keluarga. Komnas perlindungan anak dan Komnas HAM berulang kali mengatakan bahwa Indonesia masuk fase darurat kekerasan pada anak, pelecehan seksual, dan kekerasan pada wanita. Tragedi pilu ini sebenarnya sudah terjadi diberbagai negara penganut liberalisme, seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Situs metroparent.com misalnya, menerbitkan tulisan yang memperkirakan ada 1,6 juta anak di AS yang melarikan diri setiap tahunnya.

Amerika Serikat juga menyimpan mimpi buruk terhadap anak, remaja dan keluarga. Pasalnya, lebih dari satu dekade terdapat lebih dari 20 ribu anak Amerika yang terbunuh oleh anggota keluarga mereka sendiri. Angka ini mendekati 4 kali angka tentara AS yang terbunuh di Irak dan Afganistan. Catatan kelam ini menempatkan AS sebagai pemegang rekor terburuk penghasil kekerasan pada anak.

Tak hanya kekerasan, sistem liberal juga melahirkan budaya child abuse dan memproduksi kemiskinan bagi banyak keluarga. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase penduduk miskin di Indonesia sebesar 9,54% per Maret 2022. Namun, tentunya data penduduk miskin ini dihitung berdasarkan standar kemiskinan. Adapun tolak ukur penduduk miskin ini mengacu pada masyarakat yang hidup di bawah angka garis kemiskinan per Maret 2021, dengan batas pendapatan Rp472.525 per kapita per bulan. Tentu ini adalah standar kemiskinan yang sangat rendah.

Pemerintah bukan lagi menurunkan angka kemiskinan secara real, namun menurunkan standar kemiskinan itu sendiri dengan sangat rendah. Astagfirullah.
Kemiskinan jelas menjamin ancaman bagi anak dan remaja. Selain asupan gizi yang buruk yang berdampak pada kesehatan dan kecerdasan, juga rawan menciptakan kejahatan di level anak dan remaja. Selain itu, anak yang berasal dari keluarga miskin rawan dieksploitasi sebagai buruh dengan upah murah, atau menjadi korban trafficing. Kemiskinan juga membuat anak mengorientasikan hidupnya untuk sekadar mendapatkan pendapatan yang tinggi. Terlepas dari fungsi pendidikan yang seharusnya ditujukan untuk mendapatkan ilmu untuk bekal masa depan, justru hanya menjadi ajang mendapatkan selembar kertas sebagai syarat mencari pekerjaan yang lebih layak. Akibatnya, pendidikan pada anak anak dan remaja tidak dapat menghasilkan generasi unggul, sebab tujuannya telah berbelok arah dari ilmu menjadi tujuan material.

Jika kita melihat fakta yang lebih luas, maka tak heran jika KLA tak dapat menghentikan laju peningkatan kekerasan pada anak. Sebab, akar permasalahan bukan hanya pada apa yang terlihat, tetapi berangkat dari sistem yang tidak mampu menjamin kesejahteraan bagi rakyat, juga memisahkan agama dari kehidupan. Penyebab kekerasan pada anak yang berasal dari keluarga misalnya, bisa terjadi karena kegagalan negara dalam mencetak wanita sebagai al ummu madratul 'ula untuk anaknya, orientasi orang tua pada dunia, kedua orang tua yang pergi bekerja meninggalkan anak karena impitan ekonomi, kurangnya pemahaman ilmu parenting, kurangnya peran ayah sebagai qowwam bagi istri dan anaknya, serta kegagalan negara dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, seperti mahalnya pendidikan, bahan baku, biaya kesehatan, dan impitan ekonomi lainnya. Sehingga membuat tingkat stres orang tua meningkat, yang mengakibatkan salah satunya melampiaskan amarah kepada anak. Maka jelas sudah, sistem liberal tak pernah memberikan solusi tuntas dalam permaslahan umat, justru memberikan buah-buah baru dari masalah sebelumnya.

Islam Solusi Anak Terlindungi

Tak ada satu pun sistem yang mampu memberikan solusi bagi problematika masyarakat -termasuk problem anak- selain sistem Islam dalam naungan Khilafah Islamiah. Perlindungan anak di sistem Islam begitu paripurna, solutif, dan menenangkan.

Dalam sistem Khilafah, anak mendapatkan perlindungan sejak saat mereka masih berupa nutfah hingga lahir dan mencapai usia dewasa. Di antara perlindungan negara terhadap anak-anak dalam sistem Islam akan dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, perlindungan anak dalam hak hidupnya sejak masih berupa nutfah. Motivasi dalam Islam untuk kehamilan yang halal dan janji pahala yang besar di sisi Allah, serta larangan aborsi tanpa alasan syar’i tercantum dalam Q.S Al-Isra : 31.

Kedua, Islam mewajibkan para ayah untuk mencukupi nafkah sesuai kemampuan secara makruf pada ibu dan anaknya (Q.S Al- Baqarah ; 233).

Ketiga, Negara memberikan santunan kepada anak-anak balita dalam pemenuhan kebutuhan vital pertumbuhannya. Ini dicontohkan di masa Umar bin Khattab menjadi khalifah dan memberikan santunan untuk bayi-bayi dan anak yang telah disapih oleh ibunya.

Keempat, Anak-anak yatim menjadi tanggungan negara secara penuh jika tidak memiliki kerabat, dan memotivasi masyarakat untuk menyantuni anak yatim sebagai amalan yang luar biasa pahalanya di sisi Allah.

Dengan 4 kebijakan di atas, anak-anak akan memiliki kesempatan hidup yang layak dan terpenuhi kebutuhannya.

Perlindungan anak atas fitrah dan kecerdasan akal, yakni anak berhak untuk memiliki orang tua yang saleh sebelum anak dilahirkan. Hal ini berkaitan dengan memilih pasangan yang akan menjadi calon ayah dan calon ibu. Dalam hal ini, negara berperan untuk menyiapkan pemuda Islam yang memiliki kesiapan dan kesalehan untuk menjadi orang tua. Perbekalan keimanan dan ketakwaan akan diberikan oleh negara untuk seluruh masyarakat termasuk di dalamnya pemuda, agar siap menjadi orang tua yang saleh.

Hak mendapatkan pendidikan formal yang gratis dari negara. Dalam sistem pendidikan Islam, sekolah akan digratiskan dan kurikulum akan disesuaikan dengan akidah Islam. Sehingga output yang dihasilkan adahala generasi Islam yang taat dak bertakwa.

Hak memiliki guru-guru yang saleh melalui penyediaan guru-guru dengan standar pemahaman Islam yang baik dan keilmuan yang memadai. Untuk mendukung hal ini, negara akan memberikan upah yang tinggi untuk tenaga pendidik, dikarenakan besarnya peranan seorang pendidik di mata Islam.

Mendapatkan hak pembinaan dari para ulama sebagai tambahan pendidikan luar sekolah.

Perlindungan anak dari tindakan kejahatan adalah sebagai berikut:

Pertama, Setiap anak akan memiliki hak perwalian, hubungan nasab, mahram, dan privasi dalam kehidupan domestik. Hal ini menjadikan anak memiliki pelindung, penanggung jawab serta keamanan dari kejahatan luar.

Kedua, syariat menutup aurat dan berpakaian terhormat. Salah satu syariat Allah adalah menutup aurat, hal ini akan menutup pintu-pintu kejahatan seksual, menjaga fisik dan jiwa anak dari kerusakan akhlak. Tertutupnya aurat mencegah bangkitnya syahwat orang-orang sekitar.

Ketiga, larangan berkhalwat, dan larangan safar muslimah tanpa mahram. Khalwat akan membangkitkan syahwat dan seringkali melahirkan perzinaan dan pemerkosaan. Sementara mahram dalam safar-nya seorang muslimah adalah sebagai pelindung dan penjaga keamanan dan kehormatan.

Keempat, adanya pengawasan Qodhi Hisbah di tempat-tempat publik. Anak-anak dan masyarakat terjaga keamanannya, meski berada di area umum.

Kelima, adanya sanksi tegas terhadap pelaku kriminal, hal ini dilakukan sebagai jawabir (penebus dosa) dan zawajir (pencegah), agar kejahatan serupa tidak terulang.

Demikianlah sistem Islam akan menjamin perlindungan bagi masyarakat luas, dan khususnya anak-anak.

“Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Q.S Al-Maidah : 50)

Wallahua’lam bish showab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Nurjanah Triani Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Noktah Merah
Next
Jangan Sampai, Bjorka Datang Sambo Hilang
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram