"Dimulai dari bertele-telenya pengungkapan kasus, perlakuan berbeda terhadap istri yang berstatus tersangka, hingga adanya aturan Perpol yang bisa menjadi celah masuk kembali ke kepolisian. Jika ini benar, sulit bagi kita menyangkal bahwa pengaruh Sambo di kepolisian masih kuat. Di saat seperti inilah fenomenon Bjorka muncul dan mengambil alih perhatian publik. Membuat pengawalan terhadap kasus Sambo melemah."
Oleh. Nisrina Nitisastro
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Respons pemerintah yang terlihat gercep (gerak cepat) menindaklanjuti fenomena Bjorka, membuat banyak pihak curiga ini adalah upaya pengalihan perhatian publik dari kasus Sambo dan kenaikan BBM. Tidak tanggung-tanggung, istana sampai membentuk tim khusus bersama Polri untuk membekuk Bjorka.
Padahal sebelumnya, kasus pembunuhan Brigadir J telah menahan perhatian publik selama berminggu-minggu. Entah sadar atau tidak, publik mulai mengarahkan perhatiannya kepada Bjorka. Bjorka menjadi isu baru yang mengisi channel televisi, perbincangan dunia maya, hingga obrolan warung kopi. Aksi akrobat polisi dalam mencari Bjorka pun diumbar begitu rupa. Mulai dari penetapan tersangka seorang pemuda di Madiun hingga seorang pemuda Cirebon. Bjorka sebegitu berbahayanya hingga Timsus yang dibentuk terdiri dari lintas kementrian atau lembaga, yaitu Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Kementrian Komunikasi dan Informatika, Polri, hingga Badan Intelijen Negara.
Bukan apa-apa, Bjorka dianggap “nakal” karena sudah berani mengungkap ke publik data pribadi pejabat negara termasuk presiden. Istana dikabarkan sempat kalang-kabut karenanya.https://narasipost.com/2022/09/20/data-penduduk-diretas-keamanan-negara-terhempas/
Kalau mau jujur, kebocoran data bukanlah hal baru di Indonesia. Dilansir Suara.com (Jumat, 2/2/2022), pada Mei 2021 telah terjadi kebocoran data BPJS Kesehatan. Tercatat sebanyak 279 juta data pengguna BPJS Kesehatan dijual di situs Raidforums.com seharga 0,15 bitcoin atau sekitar RP87,6 juta.
Reuters (Selasa/27/7/2021) pernah mewartakan data sekitar 2 juta nasabah asuransi BRI Life diduga telah bocor dan dijual ke internet. Peretas menjualnya di forum online. Seorang anggota forum ada yang menjual 460 ribu dokumen seharga $700 atau sekitar Rp101 juta.
Pada Oktober 2021, data milik KPAI disebar dan dijual di forum online. Pengguna forum mengaku telah memperoleh data tersebut dengan membobol keamanan sistus KPAI yang disebutnya sangat lemah. Tak lama setelah kasus KPAI, database Bank Jatim juga dijual seharga US$250 ribu.
Database Polri juga pernah diretas. Bukan hanya ribuan informasi pribadi, daftar pelanggaran yang dilakukan Polri ikut bocor. Sebelumnya, peretas juga melakukan serangan deface ke situs resmi BSSN.
Daftar ini bisa kita perpanjang. Kita ingat di April 2021, Facebook dilaporkan mengalami kasus kebocoran data pribadi pengguna. Setidaknya 533 juta akun terkena efeknya. Juga ada kebocoran data IndiHome pada Agustus 2022 lalu, kebocoran data pengguna PLN pada bulan yang sama, dan yang teranyar, bocornya data pemilik kartu SIM.
Dari sekian banyaknya kasus kebocoran data di atas—yang diambil hanya dari tahun 2021-2022 saja, itu pun tidak semua—tindakan apakah yang telah dilakukan pemerintah untuk mengatasinya? Sama sekali tidak terdengar pemerintah membentuk tim khusus ketika dua juta nasabah BRI Life mengalami kebocoran data. Padahal data tersebut juga memuat NIK dan nomor HP, sesuatu yang sama pentingnya dengan nomor vaksin Jokowi dan nomor HP Johnny G. Plate.
Tak aneh jika publik curiga bahwa Bjorka adalah isu yang diembuskan sebagai distraksi terhadap konsentrasi publik atas Sambo. Yang lebih memprihatinkan, kasus Brigadir J dinilai berjalan begitu lambat. Sudah hampir tiga bulan pemeriksaan, penanganan kasus masih jalan di tempat. Pengacara korban, Kamaruddin Hidayat, menyesalkan kinerja Polri yang sedemikian lamban. Keprihatinannya cukup beralasan. Kita saksikan sendiri lambatnya penanganan KM50 akhirnya berbuah pahit. Begitu banyak kejanggalan dalam penanganannya. Jangan sampai bertele-telenya kasus pembunuhan Brigadir J pun berujung serupa.
Ditambah lagi, publik masih merekam dengan jelas perbedaan perlakuan yang diberikan Polri terhadap istri Sambo. Tidak sedikit yang menduga bahwa itu pertanda pengaruh Sambo masih kuat mencengkeram Polri. Hingga kini, istrinya tak bisa disereret masuk bui seperti yang terjadi pada perempuan lain yang menjadi tersangka.
Perlakuan berbeda seringkali terlihat dalam penanganan kasus pidana di negeri kita. Dalam kasus Jaksa Pinangki, misalnya, ia divonis 10 tahun, disunat menjadi 4 tahun dan kini ia sudah bebas. Hal serupa terjadi juga kepada 22 napi korupsi lainnya yang dinyatakan bebas bersyarat oleh Kemenkumham dan diamini Kejagung. Membuat kita semua bertanya-tanya sejauh apakah komitmen rezim ini memberantas korupsi. Padahal korupsi sudah dinyatakan sebagai oxtraordinary crime.
Sambo memang sudah dipecat dari Polri melalui sidang Kode Etik. Permohonan bandingnya pun ditolak. Namun, tidak mustahil ia masuk lagi ke dalam institusi kepolisian. Hal ini diungkap oleh mantan Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo. Menurut Peraturan tentang Polisi (Perpol) Nomor 7 Tahun 2022 dijelaskan bahwa Kapolri berhak meninjau kembali hasil sidang etik terhadap anggotanya. Gatot menilai peraturan itu dapat menjadi celah bagi Sambo untuk kembali ke kepolisian tiga tahun lagi jika kini ia dihukum dengan Pemberhentian Tidak dengan Hormat (PTDH).https://narasipost.com/2022/09/01/duhai-polri-tubuhmu-kian-keropos/
Melihat perkembangan ini, tampaknya kasus Sambo belum akan tuntas dalam waktu dekat. Sepertinya berbagai upaya tengah dilakukan untuk membebaskan Sambo atau setidaknya mencegahnya mendapatkan hukuman maksimum. Dimulai dari bertele-telenya pengungkapan kasus, perlakuan berbeda terhadap istri yang berstatus tersangka, hingga adanya aturan Perpol yang bisa menjadi celah masuk kembali ke kepolisian. Jika ini benar, sulit bagi kita menyangkal bahwa pengaruh Sambo di kepolisian masih kuat. Di saat seperti inilah fenomenon Bjorka muncul dan mengambil alih perhatian publik. Membuat pengawalan terhadap kasus Sambo melemah.
Mendudukkan Bjorka dan Sambo
Bjorka adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, bisa jadi ia adalah karakter yang disusupkan untuk memecah perhatian masyarakat dari isu-isu besar, sebut saja pembunuhan Brigadir J dan gonjang-ganjing kenaikan harga BBM disusul demo besar-besaran. Di sisi lain, Bjorka adalah metafora dari vigilantisme di dunia maya. Vigilantisme adalah kondisi ketika masyarakat merampas peran penegakan hukum tanpa kewenangan legal, orang biasa menyebutnya main hakim sendiri.
Berbeda dari peretas lain yang bermotif ekonomi—mereka menjual data hasil retasan di forum online—Bjorka menampilkan dirinya lebih bermotif politis. Ini bisa dilihat dari pilihan korbannya, para pejabat yang kebijakannya tidak populis di mata rakyat. Tak heran di awal kemunculannya ia disambut dengan sorak euforia. Bjorka seolah meledek dengan nakalnya, dan rakyat yang terlampau kecewa menyukainya.
Terlepas dari faktor yang manakah ia sebenarnya, apa yang dilakukannya tidak dapat dibenarkan jika kita menggunakan timbangan hukum syariat. Peretasan yang dilakukannya terkategori sebagai tajassus (memata-matai).
Dalam surat Al-Hujurat ayat (12) Allah berfirman yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka karena sebagian dari prasangka adalah dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari keburukan orang lain.”
Rasulullah saw juga bersabda yang artinya: “Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah seburuk-buruknya dusta. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba yang bersaudara.”
Di sebuah negara yang menerapkan Islam secara totalitas, tajassus adalah perkara yang dilarang oleh negara. Islam adalah agama yang memuliakan manusia, oleh karena itu Islam melarang setiap muslim melakukan hal yang merusak hubungan sesama manusia. Kehormatan manusia dijaga sehingga menyebarkan rahasia manusia bisa dikategorikan melakukan dosa besar.
Negara dalam hal ini bertanggung jawab menjaga data pribadi warga negaranya agar tidak disalahgunakan oleh pihak lain. Kasus banyaknya kebocoran data pribadi di Indonesia dan tidak adanya upaya serius mengatasinya menunjukkan betapa abainya negara menjaga keamanan warga. Negara tidak hadir ketika keamanan rakyat terancam. Padahal keamanan merupakan kebutuhan primer komunal yang harus diperoleh setiap individu rakyat.
Dilihat dari sisi mana pun, apa yang dilakukan Bjorka tidak dapat dibenarkan. Setiap upaya menyuarakan kritik pada penguasa haruslah menggunakan cara-cara yang juga benar. Tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara. Namun, tingkah Bjorka jadi terasa benar dan absah karena rakyat sudah terlalu banyak disakiti dan dizalimi oleh penguasa. Rasa ingin membalas itu ada dan terpelihara. Menemukan salurannya ketika muncul sosok Bjorka. Bjorka mewakili rasa frustasi rakyat yang hari-harinya kian tak pasti. Kenaikan BBM diikuti harga-harga yang kian tinggi. Inilah vigilantisme. Dalam vigilantisme, masyarakat tidak lagi memperhatikan legal atau tidaknya jalan yang diambil.
Pun demikian, masyarakat tidak boleh lengah terhadap berbagai upaya akal-akalan menutupi borok kebijakan. Isu-isu strategis yang berdampak luas pada rakyat harus terus disuarakan dan dikawal, jangan mudah terbelokkan oleh letupan sesaat. Dengan meletakkannya seperti ini, maka tidak ada alasan untuk mengesampingkan kasus Sambo dan isu strategis lainnya. Tidak ada yang lebih penting dilakukan selain membongkar makar yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya sendiri.
Khatimah
Kericuhan demi kericuhan datang dan pergi di negeri ini. Pengelolaan negara dijalankan dalam keadaan tersandung-sandung dan terbentur-bentur. Penyebabnya tidak lain adalah ketidakcakapan penguasa dan sistem hukum yang lemah. Penguasa tidak muncul sebagai “perisai” yang siap melindungi rakyat melainkan sebagai serigala yang siap memanfaatkan kelengahan mangsa.
Ketidakpercayaan rakyat menumbuhkan sikap antipati pada penguasa. Sebuah reaksi emosional yang melahirkan vigilantisme. Peretasan oleh Bjorka, contohnya. Sebenarnya ini berbahaya dilihat dari sisi emosi yang melandasi euforia massa. Rentan disusupi kepentingan lain yang justru bisa menjadi bumerang bagi rakyat. Tapi demokrasi memang bediri di atas “kemungkinan-kemungkinan salah”. Tak dapat dilepaskan dari sifat alami manusia yang tidak sempurna. Dan justru selalu di situlah masalahnya.
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah: [50])
Polemik akan selalu muncul selama kita enggan menggunakan tata hukum yang sempurna. Permasalahan datang silih berganti hingga masyarakat tak lagi dapat membedakan yang manakah yang merupakan masalah inti dan yang bukan. Tak hanya sampai di situ, mereka pun gagal paham untuk menentukan penyelesaian. Wallahu a’lam. []