“Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” (QS. An-Nisa’ ayat: 19)
Oleh. Deena Noor
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Kulihat wajahnya sayu. Ada mendung yang seolah hampir gerimis di matanya. Ketika kutanya, ia hanya menggeleng dan mengatakan bahwa tidak ada apa-apa. “Kamu sakit?” tanyaku lagi padanya. Sebaris senyum canggung menjadi jawabannya.
Nina adalah sahabatku yang pendiam dan sedikit tertutup. Meskipun demikian, ia perempuan yang ceria dan selalu berpikiran positif. Ia juga seorang yang penyabar dan setia. Perempuan lembut, tetapi juga tangguh. Jarang kudengar ia mengeluhkan sesuatu. Seingatku bahkan mungkin tidak pernah ia berkeluh kesah.
Makanya, ketika kulihat ia pagi ini bermuram durja membuatku sangat kepikiran. Tak biasanya ia begini. Pasti ada hal yang benar-benar mengganggu hatinya.
“Nin, aku tahu kamu sedang ada masalah. Kamu bisa bercerita padaku. Aku akan mendengarkannya,” ujarku bersungguh-sungguh.
Tiba-tiba, ia menangis. Air matanya mengalir deras. Kutepuk bahunya mencoba memberi dukungan. Biarlah ia tumpahkan dahulu segala yang menggelayuti hatinya.
Setelah tenang, ia bercerita tentang apa yang membuatnya dirundung kelabu. Rupanya, ia tengah merasakan sakit hati akibat perkataan suaminya. Mengalirlah kalimat-kalimatnya seakan tak terbendung. Sesekali ia sesenggukan. Sesekali nada bicaranya meninggi menggambarkan amarah yang terpendam. Sesekali ia menggigit bibir mencoba menahan kecewa yang mendalam.
Intinya, ia sakit hati dengan perkataan sang suami. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali suaminya berkata-kata pedas padanya. Suaminya kerap kali marah-marah pada hal yang sebetulnya kecil.
Suami Nina memiliki pekerjaan yang bagus di sebuah perusahaan elektronik. Ia naik jabatan beberapa bulan yang lalu. Pekerjaan meningkat, gaji pun naik. Namun, tentu tanggung jawabnya menjadi lebih besar. Suaminya semakin sibuk dan jarang di rumah.
Itulah yang menurut Nina menjadi penyebab perubahan sikap sang suami yang tak selembut biasanya. Ia merasa menjadi tempat pelampiasan suaminya. Seolah tekanan pekerjaan di kantor dilepaskan di rumah. Emosi mudah tersulut. Siapa saja menjadi sasaran. Meskipun akhirnya sang suami meminta maaf, namun perkataan menyakitkan yang sudah terlanjur keluar tak bisa dihapus begitu saja.
Sekali, dua kali, ia maafkan sang suami. Ia memang tak mengerti seberapa berat pekerjaan suaminya di kantor. Ia mencoba memahaminya. Pikirnya, mungkin ini hanya sebentar saja sampai suaminya bisa beradaptasi dengan keadaan dan kembali seperti dulu. Namun, lama-kelamaan Nina lelah. Suaminya tak kunjung berubah. Rumah tangganya kini tak seindah dahulu kala.
Aku mencoba mengerti perasaan dan kondisi sahabatku itu. Aku juga seorang istri dan ibu rumah tangga sepertinya. Mengurus anak tidaklah mudah. Lelah bukan hanya di fisik, tetapi juga di jiwa dan mental. Apalagi ketika anak-anak masih kecil, pekerjaan rumah seperti tiada habisnya. Pekerjaan itu bukan hanya sehari atau dua hari, tetapi setiap hari, sepanjang waktu. Kelelahan, sakit dan rasa jemu sudah pasti menyergap. Namun, semua harus segera ditepiskan agar urusan rumah tangga tak terbengkalai.
Mendapat perlakuan kasar dari suami bukanlah hal yang diinginkan oleh istri mana pun. Seorang istri butuh disayangi, tak hanya dicukupi secara materi. Harta bisa dicari, tetapi hati istri yang tersakiti akan sulit pulih kembali. Mungkin sesaat sakit itu bisa diabaikan. Namun, ketika itu terus terjadi tanpa ada pemulihan berarti, bisa saja hati itu hancur berkeping-keping dan mati. Teringatlah akan sebuah hadis Rasulullah saw.: “Hendaklah engkau memberinya makan jika engkau makan, memberinya pakaian jika engkau berpakaian, tidak memukul wajah, tidak menjelek-jelekkannya.” (HR. Ibnu Majah)
Istri yang telah mengurus rumah suaminya, merawat anak-anaknya, dan menjaga kehormatan dan kesetiaannya adalah wanita yang berharga. Ia layak mendapatkan perlakuan yang baik dari suaminya. Bahkan, itu menjadi hak yang harus diberikan oleh sang suami kepadanya.
Meskipun istri memiliki banyak kekurangan dan sering melakukan kesalahan, namun ia berhak mendapat bimbingan yang baik dari suaminya. Bukan dimarahi dengan lontaran caci maki. Bila istri salah, maka kewajiban suami untuk meluruskannya dengan cara yang makruf. Menasihatinya dengan lemah lembut, tidak menghardiknya, tidak berlaku jahat, dan tetap menjaga perasaannya. Perlakuan yang tetap proporsional terhadap istri sesuai tuntunan syariat sebagaimana yang dinyatakan dalam surah An-Nisa’ ayat 19: “Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.”
Itulah kewajiban suami terhadap istrinya. Melalaikannya tentu saja akan mendatangkan konsekuensi. Suami terlalu sibuk bekerja sehingga melupakan kewajiban untuk memperlakukan istri dengan baik. Selain istri yang tersakiti, Allah juga tak meridai. Bila Allah tak rida, sangat mudah bagi-Nya untuk mengambil nikmat yang telah diberikan. Kesenangan bisa berubah menjadi kesedihan. Kebahagiaan berganti penderitaan. Ketenteraman menghilang dan datanglah kesengsaraan.
Bila kondisi rumah tangga tak membuat tenteram manusianya, maka patutlah introspeksi diri dilakukan. Pasangan tak lagi menyenangkan hati. Anak-anak seperti menjadi beban yang menyusahkan. Nikmat kebahagiaan dalam berumah tangga semakin berkurang. Allah ambil satu per satu rasa yang menenteramkan jiwa. Keberkahan perlahan dicabut oleh-Nya.
Bisa jadi dari perkataan yang menyakitkan hati dan tingkah laku yang buruk terhadap istri, menjadikan rezeki suami terhambat. Ia sudah bekerja keras, namun hasilnya tak sesuai harapan. Siang dan malam membanting tulang, namun hanya lelah yang didapatkan. Rumah tak lagi terasa nyaman.
Hati-hati. Itu bisa menjadi pertanda rezeki tengah terhambat. Kita tahu bahwa rezeki bukan hanya berupa uang saja, tetapi juga bisa berbentuk kesehatan, ketenangan, anak-anak yang menyejukkan mata dan hati, pasangan yang penuh kasih sayang, dan keluarga yang bahagia. Keharmonisan keluarga adalah rezeki yang amat berharga dari Allah taala.
Rezeki suami yang terhambat bisa mempengaruhi kehidupan rumah tangga yang dibangun dengan istrinya. Satu perbuatan buruk yang membawa dampak negatif kepada seluruh anggota keluarga. Karena meninggalkan kewajiban dalam berlaku baik terhadap istri, rezeki pun seret. Allah tidak rida dengan sikap suami yang melalaikan amanahnya. Allah tunda rezekinya supaya ia menyadari kesalahan dan berubah.
Membina rumah tangga diperlukan kerja sama yang baik antara suami dan istri. Saling menjalankan peran dan tugas masing-masing dengan senantiasa menjadikan Allah sebagai sandarannya. Mencintai, melayani, dan memberikan hak pasangan sesuai dengan tuntunan syariat. Mengabaikan amanah tidak akan berani dilakukan karena tahu bahwa Allah pasti meminta pertanggungjawaban atasnya.
Bila Allah yang melandasi setiap perlakuan, maka berkah akan selalu menyertai. Cinta akan semakin kuat karena berdiri di atas cinta kepada-Nya. Kasih sayang akan semakin subur karena disiram dengan ketaatan kepada Allah. Kebahagiaan dan ketenteraman dalam rumah tangga terwujud nyata dalam balutan rida-Nya. Inilah nikmat yang dikaruniakan kepada pasangan yang menjadikan Allah di atas segalanya.
Wallahu a’lam bishshawwab[]