"Karena pondasi dari sistem ini adalah manfaat kepentingan pribadi dan kelompok.Tak aneh, jika di berbagai bidang dibuat hukum yang bisa memberikan keuntungan besar bagi kelompok pembuatnya. Alhasil, sistem politik demokrasi hanya melahirkan sosok pengabdi kursi kekuasaan bukan pelayan rakyat yang merasakan pedihnya penderitaan mereka."
Oleh. Nurjanah Triani
(Kontributor NarasiPost.Com dan Aktivis Dakwah Kampus)
NarasiPost.Com- Pasca pemulihan pandemi, rakyat masih membenahi ekonomi yang 2 tahun belakangan ini hampir mati. Banyaknya PHK besar-besaran hingga pemotongan gaji menjadi pil pahit dampak dari pandemi. Seolah tak ada jeda untuk bernapas lega, rakyat dihadapkan dengan harga-harga bahan pokok yang melambung tinggi, mulai dari kenaikan BBM yang tak terkendali hingga harga telur yang menguras emosi. Disusul pula dengan kabar Indonesia mengalami inflasi dan pembangunan IKN yang merogoh dana fantastis.
Di antara jeritan-jeritan rakyat yang digempur permasalahan ekonomi, pemerintah justru sibuk berkontestasi. Sebagaimana diwartakan, telah terjadi pertemuan antara Ketua DPP PDI-P Puan Maharani dengan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto pada Ahad, 4 September 2022. Hal tersebut dinilai bisa mengancam ambisi Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar untuk menjadi calon wakil presiden pada Pilpres 2024.(tempo.co)
Hal ini tak ayal membuat masyarakat gusar. Dengan kondisi yang semakin menjadi, ditambah para petinggi yang seolah tak punya nurani. Di tengah cekikan keadaan yang mengimpit masyarakat, para petinggi justru berebut ingin menjabat. Tanpa mau melihat, problematik apa saja yang membuat masyarakat terjerat.
Lantas, bagaimana nasib masyarakat selanjutnya? Bagaimana sikap yang seharusnya ditunjukkan para pemimpin? Dan bagaimana cara kepemimpinan dalam Islam yang bisa menciptakan kesejahteraan masyarakat?
Rakyat Tanpa Perlindungan
Melonjaknya harga bahan bakar minyak membuat masyarakat kelimpungan. Kabar kenaikan BBM ini sudah tercium kabarnya sejak Agustus 2022. Hingga pada 31 Agustus 2022 masyarakat berbondong-bondong mengisi kendaraan mereka yang mengakibatkan antrean panjang. Kebijakan pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM ini dengan alasan sekitar 70% subsidi BBM dinikmati kelompok masyarakt mampu, disebut pengamat ekonomi sebagai upaya yang tidak tepat dan salah sasaran.(BBC News, 6/9/2022)
Bahkan, untuk menambah daftar derita yang masyarakat rasakan, pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani juga berencana mengubah skema dana pensiun yang dipandang menjadi beban negara. Pemerintah pun sudah bulat mulai tahun depan menghapus pegawai honorer. Tak hanya sampai di sana, kepahitan yang dirasakan masyarakat berlanjut dengan naiknya iuran BPJS dan naiknya bahan baku yang menjadi kebutuhan masyarakat.
Rentetan cekikan yang masyarakat rasakan tak membuat pemerintah sedikit pun mengiba. Salah satunya tanggapan Menteri Koodinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan tentang kenaikan BBM. Dirinya berujar, “Mungkin pada periode tertentu akan painful buat kita, ada sakit buat kita. Tapi, saya kira setelah beberapa bulan tidak ada masalah. Asal kita kompak aja”. (detikfinance.com, 4/9/2022)
Hal ini jelas menunjukkan tak adanya empati kepada masyarakat. Anehnya, fenomena kenaikan BBM ini berbanding terbalik dengan negara lain, contohnya Malaysia yang justru mengalami penurunan.
Sebelumnya, ketika bahan baku mengalami kenaikan, solusi yang dilayangkan para petinggi justru sangat tak menuntaskan akar masalahnya. Semisal, naiknya harga cabai masyarakat disarankan untuk menanam sendiri di rumah, naiknya harga ayam masyarakat disarankan mengkonsumsi siput, naiknya harga beras, masyarakat diperintahkan untuk melakukan diet, dan naiknya harga minyak, masyarakat diperintahkan untuk makan makanan yang direbus. Sungguh solusi yang membuat rakyat meringis.
Masyarakat seperti hilang arah tanpa perlindungan. Ketika melakukan pengaduan atas himpitan kehidupan akibat kebijakan yang diterapkan, justru yang didapatkan adalah statement-statement dan saran yang sangat tak menuntaskan permasalahan.
Saat rakyat sibuk mencari solusi sendiri atas permasalahan yang ditimbulkan dari kebijakan pemerintah, para petinggi negara termasuk ketua wakil rakyat justru sibuk mematut diri, mencari pasangan kontestasi hingga memoles diri agar tampak layak kembali mendapat kepercayaan. Sepatutnya rakyat sadar kondisi demikian adalah watak asli sistem demokrasi.
Demokrasi Menguras Hati
Sistem buatan manusia memanglah rentan melahirkan masalah. Begitu pula dengan sistem demokrasi. Sistem yang lahir dari paham kapitalisme-liberal ini membuat para pelakunya merasa memiliki kebebasan penuh atas kehidupan. Karena pondasi dari sistem ini adalah manfaat kepentingan pribadi dan kelompok. Tak aneh, jika di berbagai bidang dibuat hukum yang bisa memberikan keuntungan besar bagi kelompok pembuatnya. Alhasil, sistem politik demokrasi hanya melahirkan sosok pengabdi kursi kekuasaan bukan pelayan rakyat yang merasakan pedihnya penderitaan mereka.
Mirisnya, tak jarang mereka memanfaatkan kondisi terpuruk rakyat demi kepentingan politik. Wajar saja, jika rakyat hanya dibutuhkan saat kompetisi pemilu untuk meraih kekuasaan. Selebihnya, peran dan suara rakyat diabaikan.
Karena asas sistem ini adalah kepentingan semata, maka tak heran jika sistem demokrasi hanya menghasilkan pemimpin yang tak amanah. Aktivitasnya jauh dari pengurusan urusan umat, namun dekat dengan mengurusi kepentingan pemilik modal.
Jika penguasa dan partai tidak lagi bisa diharapkan untuk mengurus urusan rakyat, maka rakyatlah yang harus mengadang kuatnya kekuasaan. Rakyat harus melawan arus seorang diri, mempertahankan hidup masing-masing. Tak ayal, timbul berbagai kriminalitas yang terjadi, semisal, pencopetan, pencurian, judi, pemerkosaan, narkoba, dan sebagainya.
Politik Islam Menyejahterakan
Dalam melawan kemungkaran, dibutuhkan kesadaran memahami politik dengan benar. Umat tidak boleh antipolitik, karena politik dalam Islam tidak sebatas kekuasaan. Politik dalam Islam adalah ri’ayah su’unil ummah yaitu mengurusi urusan umat. Salah satu aktivitas politik adalah meluruskan penguasa zalim, mengoreksi kebijakan yang bertentangan dengan Islam, dan menasihati penguasa. Aktivitas politik terwujud dalam dakwah amar makruf nahi mungkar.
Politik pragmatis yang ditampilkan sistem sekuler sejatinya tidak akan melahirkan pemimpin, negarawan, dan politisi sejati. Sebab, mereka menganggap politik hanya cara untuk meraih kekuasaan dan mempertahankan kekuasaannya. Bahkan, mereka menghalalkan segala cara untuk memenangkan kekuasaan tersebut.
Dalam Islam, politik mendapatkan tempat dan kedudukan yang mulia. Bahkan, hukumnya bisa menjadi wajib, karena mengurus urusan kaum muslimin merupakan bagian dari kewajiban syariat Islam. Pentingnya politik dalam Islam tercermin dalam nasihat Imam Al-Ghazali,
"Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar yang tidak bisa dipisahkan”.
Sejak awal turunnya Islam, kaum muslimin sudah berpolitik. Yaitu, menghukumi persoalan dengan syariat Islam, ikut kegiatan bernegara seperti berjihad, mengirim utusan ke penguasa nonmuslim, bahkan mendirikan negara. Contoh politisi dan negarawan terbaik telah ada pada diri Rasulullah saw., khulafaurasyidin, serta para pemimpin Islam terdahulu.
Orientasi politik dalam Islam bukan meraih kekuasaan setinggi-tingginya. Kekuasaan hanyalah jalan untuk menegakkan hukum Allah. Tujuan politik dalam Islam adalah menerapkan syariat sebagai solusi fundamental bagi permasalahan umat manusia, termasuk dalam hal jaminan terpenuhinya kebutuhan pangan masyarakat.
Politik Islam inilah yang harus diperjuangkan oleh umat sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw. di Madinah, yang berikutnya dikenal dengan istilah Khilafah. Sifat dan karakter para pemimpin pada masa Khilafah terbukti mempunyai nilai lebih di atas rata-rata, jika dibandingkan dengan para pemimpin dan pejabat saat ini. Mereka bukan sekadar menyampaikan basa-basi, pemanis kampanye dan sumpah jabatan, namun terbukti langkah nyata dalam proses jabatannya. Itu semua karena para pejabat pada masa Khilafah memegang teguh syariat Islam, baik dalam hal keimanan, maupun dalam hal syariat muamalah.
Para pejabat yakin, bahwa setiap kebijakan yang diambil akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Balasannya hanya dua, surga atau neraka. Kekuatan iman inilah yang akan menjadi pegangan pertama, sehingga tidak tertarik melakukan kemaksiatan dan kezaliman walau dengan imbalan dan iming-iming yang menggiurkan.
Dengan panduan syariat Islam, para pejabat Khilafah Islam mempunyai sifat dan karakter yang baik dan memberikan rasa aman kepada masyarakat. Khilafah juga memiliki komitmen mencukupi kebutuhan masyarakat. Ini adalah hal penting yang menjadi fokus tugas khalifah dan seluruh pejabatnya.
Sejatinya, itulah esensi adanya negara, yakni menjadi pelayan bagi rakyatnya. Artinya, negara hadir untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. Dengan begitu tak ada lagi kemiskinan di seluruh wilayah Khilafah. Semuanya minimal di atas kriteria mustahiq atau orang yang berhak untuk mendapatkan zakat. Komitmen ini bukan merupakan janji atau sumpah jabatan yang minim realisasi alias omong kosong belaka. Namun dijalankan dan diwujudkan menjadi kenyataan. Hanya dalam sistem politik Islam, yakni Khilafah Islamiah akan lahir pemimpin yang benar-benar mengurusi urusan rakyatnya.
Wallahu a'lam bish showwab[]