"Pelonggaran aturan bagi siswi yang hamil tersebut sekilas tampak menjadi solusi bagi dunia pendidikan saat ini.Tapi jika kita mau menelisik sejauh mana efek dari aturan tersebut tampaknya justru aturan tersebut akan menjadi "pintu gerbang" bagi para siswi untuk membenarkan/melegalkan aktivitas gaul bebas (maksiat) yang saat ini menjadi tren para remaja."
Oleh. Bunda Aufa
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Kasus siswi melahirkan di sekolah kembali terjadi. Seorang siswi SMA di Jumapolo, Karanganyar mengalami kontraksi saat jam pelajaran. Siswi tersebut mengakui kalau dirinya hamil oleh sang pacar yang akan menikahinya setelah sebelumnya harus mengajukan dispensasi nikah dari PA Karanganyar di karenakan keduanya belum genap berusia 19 tahun. Yang menarik adalah siswi tersebut akhirnya tetap bisa melanjutkan sekolahnya walaupun kondisinya sudah punya anak.
Psikolog Anak dan Pendidikan, Karina Adistiana, menyampaikan bahwa berdasarkan pasal 32 UUD 1945 setiap anak Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang layak, tidak terkecuali para siswi yang tengah mengandung. Karena pada kenyataannya, banyak siswi hamil yang tidak lagi mendapatkan hak yang sama dengan pelajar lainnya yakni dikeluarkan dari sekolah sehingga tidak bisa mengikuti Ujian Nasional.
"Sebetulnya kembali ke pendidikan sebagai hak semua orang, termasuk siswi hamil. Jadi, hak mereka untuk ikut ujian,baik lulus ataupun tidak," katanya kepada Okezone, Jum'at (5/4/2013).
Fenomena siswi hamil memang kerap kali terjadi dan sejauh ini biasanya jika terjadi kasus siswi hamil atau bahkan sampai melahirkan di sekolah akan berakhir dengan pengeluaran siswi tersebut dari sekolah, sehingga otomatis dia tidak lagi punya kesempatan untuk menyelesaikan sekolahnya. Tampaknya hal ini menjadi perhatian khusus bagi para pegiat HAM untuk mereka bisa memperjuangkan nasib para siswi yang terlanjur hamil atau melahirkan tersebut agar tetap bisa melanjutkan sekolahnya. Para pegiat menilai bahwa pemberian sanksi dengan mengeluarkan siswi yang terlibat kasus hamil di luar nikah adalah bentuk pelanggaran HAM karena hak anak untuk memperoleh pendidikan menjadi bagian tak terpisahkan dalam hak asasi seorang manusia. Bahkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode sebelumnya, Muhammad Nuh dan Anies Baswedan, memberikan perhatian khusus dengan memberikan keputusan (walaupun tidak dituangkan dalam peraturan menteri) secara tegas memperbolehkan siswi hamil untuk mengikuti Ujian Nasional.
Dari sini tampak jelas bahwa para siswi yang tersandung kasus hamil di luar nikah, mereka akhirnya mendapatkan kelonggaran aturan yang tadinya langsung di- cut , sekarang justru diberikan peluang.
Pelonggaran aturan bagi siswi yang hamil tersebut sekilas tampak menjadi solusi bagi dunia pendidikan saat ini.Tapi jika kita mau menelisik sejauh mana efek dari aturan tersebut tampaknya justru aturan tersebut akan menjadi "pintu gerbang" bagi para siswi untuk membenarkan/melegalkan aktivitas gaul bebas (maksiat) yang saat ini menjadi tren para remaja, mengingat sampai hari ini Indonesia masih menjadi negara penganut sekularisme liberalisme yang mengajarkan manusia untuk menjauhkan aturan Sang Pencipta dari kehidupan mereka, serta menjadikan kehidupan manusia bebas sesuai kehendaknya dalam segala hal termasuk dalam masalah pergaulan.
Masalah pendidikan dan pergaulan bukanlah masalah yang terpisah satu sama lain, sehingga masing-masing penanganannya cukup dengan solusi secara parsial saja. Faktanya justru antara pendidikan dan pergaulan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan sehingga seharusnya yang dilakukan penguasa adalah justru membenahi kedua sistem tersebut dan juga sistem yang lainnya secara bersamaan. Karena pada dasarnya semua sistem yang ada berkaitan dengan pendidikan maupun pergaulan.
Sistem pendidikan saat ini yang jelas-jelas berasaskan sekularisme serta profit orientid faktanya telah menciptakan para pelajar yang jauh dari sifat takwa dan hanya mengejar kesenangan duniawi. Begitu pula sistem pergaulan dalam masyarakat yang berjalan saat ini juga berlandaskan liberalisme dan faktanya telah menjadikan masyarakat dalam bergaul layaknya seperti hewan yang seenaknya sendiri. Hal ini juga didukung oleh tatanan negara yang masih melandaskan aturannya pada sekularisme dan liberalisme.
Tentunya untuk membenahi tatanan pendidikan dan tatanan pergaulan harus dimulai dari pembenahan tatanan negara secara benar yakni dengan mengganti asasnya dari sekularisme menjadi berasakan akidah Islam. Selanjutnya, membenahi sistem-sistem yang ada, baik itu sistem pendidikan, pergaulan, hukum, ekonomi, dsb. secara bersamaan dengan sistem Islam.
Sejarah telah membuktikan bagaimana sistem pendidikan Islam telah mampu mencetak generasi rabbani yang mumpuni. Begitu pula sistem pergaulan Islam juga telah mampu menempatkan manusia sesuai fitrahnya dan hidup dalam ketaatan, serta keberkahan. Dan negara yang mampu mewujudkan hal tersebut tidak lain adalah Daulah Khilafah Islamiah, bukan negara kapitalis demokrasi. Wallohu a'lam bishawab.[]