”Politik luar negeri Turki tak mengindahkan hukum syarak. Padahal, Islam mengajarkan hubungan bilateral dilakukan dengan pertimbangan apakah negara kafir tersebut memusuhi umat Islam atau tidak.“
Oleh. Ikhtiyatoh, S.Sos.
(Kontributor NarasiPost.Com serta Pemerhati Sosial dan Politik)
NarasiPost.Com-Tak habis pikir, negeri berpenduduk mayoritas muslim melakukan hubungan diplomatik dengan negara penjajah Yahudi Israel laknatullah. Israel merupakan bangsa barbar yang tak memiliki rasa kemanusiaan. Mereka tak cukup merampas tanah rakyat Palestina, tapi juga mengusir dan membunuh jutaan jiwa tak berdosa. Setiap hari, nyawa rakyat Palestina terancam. Mirisnya, negara-negara yang tergabung dalam organisasi perdamaian dunia hanya pandai beretorika. Negeri-negeri muslim pun hanya mengecam melihat kondisi Palestina yang suram.
Hubungan Diplomatik Penuh
Umat Islam harus mengelus dada melihat hubungan pemerintah Turki-Israel kembali mesra. Kedua negara tersebut bersepakat memulihkan hubungan diplomatik penuh dengan mengirim kembali duta besar ke negara masing-masing. Padahal, Islam mengharamkan negeri muslim memiliki hubungan kerja sama dengan negara kafir harbi fi’lan yaitu negara kafir yang memusuhi Allah, Rasulullah dan umat Islam. Mirisnya, Turki sebagai negara terakhir yang memiliki jejak Kekhilafahan justru bermesraan dengan Yahudi.
Padahal, sejak kepemimpinan Recep Tayyip Erdogan, umat Islam di seluruh dunia menaruh banyak asa akan kebangkitan Islam. Masih ingat saat mendengar kabar Hagia Shopia diaktifkan kembali menjadi masjid. Pertama kalinya masjid tersebut dipakai untuk salat Jumat pada 24 Juli 2020 setelah 85 tahun menjadi museum. Saat itu, Amerika, Rusia, dan Perancis menolak kebijakan tersebut. Bahkan, Keuskupan Agung Yunani Ortodoks di New York meminta umat kristiani berkabung satu hari atas terlaksananya ibadah pertama di Hagia Sophia.
Melihat protes negara-negara Barat, Erdogan bergeming hingga dielu-elukan umat Islam sebagai pemimpin yang berani melawan hegemoni Amerika sekutu. Sayangnya, Turki tak jauh berbeda dengan negeri muslim lain yang menerapkan sekularisme. Politik luar negeri Turki tak mengindahkan hukum syarak. Padahal, Islam mengajarkan hubungan bilateral dilakukan dengan pertimbangan apakah negara kafir tersebut memusuhi umat Islam atau tidak.
Bermain Dua Kaki
Rasanya, baru saja Israel menyerang Gaza pada Jumat (5/8/2022). Komandan kelompok milisi Islamic Jihad, Tayseer Al Jabari tewas dalam serangan tersebut. Dilansir dari bbc.com, Kementerian Kesehatan Palestina mengatakan, serangan tiga hari tersebut menewaskan 44 orang, 15 orang di antaranya adalah anak-anak. Anggota dewan keamanan dan sekaligus komandan wilayah selatan Khaled Mansor turut meninggal dunia. Selain itu, ada 300 orang mengalami luka-luka (8/8/2022). Gaza membara dan membalas dengan menembakkan 100 roket ke Israel.
Pemerintah Turki mengecam keras serangan tersebut. Ironisnya, tak lama kemudian bersepakat memulihkan hubungan diplomatik penuh dengan Israel (17/8/2022). Memang, hubungan diplomatik kedua negara tersebut sudah dimulai sejak tahun 1949. Satu tahun setelah Israel mengumumkan kemerdekaan yaitu tanggal 14 Mei 1948. Hubungan keduanya sempat beku setelah tentara militer Israel membunuh 10 warga sipil asal Turki di Kapal Mavi Marmara. Kapal tersebut membawa bantuan untuk Palestina saat operasi militer Gaza tahun 2010.
Meski pemerintah Turki memiliki hubungan diplomatik penuh dengan Israel, Erdogan mengaku tetap mendukung upaya pembebasan Palestina. Cara Presiden Turki yang bermain dua kaki tersebut tentu tak akan menyolusi masalah Palestina. Mungkinkah Erdogan beranggapan, dengan melakukan hubungan diplomatik penuh bisa mempengaruhi kebijakan Israel? Tidakkah ia melihat bahwa bangsa Yahudi terkenal dengan karakternya yang keras kepala, suka merusak, suka perang, barbar, suka ingkar, dusta dan tak bisa dipercaya?
Selama ini, setiap serangan yang dilancarkan Israel kepada Palestina selalu diiringi kecaman negara-negara dunia. Namun, kecaman demi kecaman tidak mempengaruhi hati, pikiran ataupun kebijakan negara Yahudi tersebut. Apatah lagi jika negara-negara di dunia bersikap manis kepada mereka. Tentu, Israel semakin jemawa dan bangga melancarkan aksi barbarnya. Pemulihan hubungan diplomatik penuh bisa dimaknai bahwa Turki bersikap manis dan welcome kepada negara penjajah Yahudi Israel.
Dengan kesepakatan hubungan diplomatik penuh tersebut, pemerintah Turki harus melindungi harta dan nyawa warga Israel yang berkunjung ke negaranya. Dilansir dari news.detik.com, pemerintah Turki menahan delapan orang yang diduga bekerja sebagai intelijen Iran yang mendapat tugas membunuh turis-turis Israel di Istambul. Penahanan tersebut dilakukan setelah pemerintah Israel mengimbau warganya untuk segera meninggalkan Turki karena ada potensi ancaman Iran (23/6/2022).
Posisi seperti ini tentu membingungkan. Warga negara asal Iran yang merupakan negeri umat muslim ditahan dan bisa saja mendapat sanksi. Sementara warga kafir harbi Israel dilindungi. Disisi lain, tudingan terhadap warga Iran tersebut merupakan tudingan sepihak dari Israel. Bisa saja tudingan kepada warga Iran tersebut salah. Dunia tahu bahwa antara Israel dan Iran terjadi perang bayangan selama bertahun-tahun.
Back To Islam
Patut diduga jika kondisi ekonomi Turki yang sulit, menjadi penyebab hubungan Turki-Israel kembali mesra. Mata uang Turki, Lira mengalami kemerosotan yang sangat tajam. Turki mengalami inflasi 78% (yoy) pada bulan Juni 2022. Hal ini membuat harga kebutuhan pokok melonjak tinggi. Setelah perang Ukraina-Rusia, harga barang terutama yang berkaitan dengan energi dan bahan bakar semakin melonjak.
Ditambah lagi, Erdogan mengumumkan diri akan maju pada pilpres 2023. Sejumlah pihak menduga, krisis ekonomi serta minimnya dukungan rakyat, menjadikan Erdogan butuh dukungan Amerika dalam ajang pilpres. Jika dugaan tersebut benar, maka sungguh yang dilakukan Erdogan selama ini hanya permainan politik semata. Anggapan bahwa Erdogan peduli kebangkitan Islam patut ditepis. Nyatanya, politik luar negeri Turki tak lebih dari mencari keuntungan materi.
Dengan melakukan hubungan diplomatik penuh, salah satu pendapatan utama Turki yaitu sektor pariwisata akan kembali menggeliat. Aneh tapi nyata. Bagaimana mungkin seorang muslim berbahagia dengan kenaikan ekonomi akibat hubungan bilateral dengan Israel, sementara saudaranya di Gaza terus dibombardir? Padahal, Rasulullah saw. memberi perumpamaan orang-orang beriman saling mencintai laksana satu tubuh. Seharusnya, di saat muslim Palestina dirundung duka, muslim di belahan dunia lainnya turut merasakan luka.
Sayangnya, tak hanya Turki yang melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. Uni Emirat Arab dan Bahrain menandatangani perjanjian Abraham Accord di Gedung Putih, Washington DC Amerika pada tanggal 16 September 2020. Perjanjian tersebut merupakan kesepakatan damai dan menandakan hubungan kerja sama dengan Israel. Sudan dan Maroko juga melakukan normalisasi hubungan dengan Israel pada tahun 2020. Jauh sebelumnya, ada Yordania (1994) serta Mesir (1979).
Jika negeri-negeri kaum muslim justru melakukan hubungan diplomatik penuh dengan Israel, Palestina harus menyandarkan kepalanya di bahu siapa? Mengharap kepada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) jelas tidak mungkin. Seperti diketahui, salah satu anggota tetap PBB yaitu Amerika justru mendorong negara-negara di dunia termasuk negara-negara di Timur Tengah untuk mengakui keberadaan Israel. Tampaklah bahwa mengharapkan negara sekuler untuk membebaskan Palestina ibarat menunggu gajah bertelur. Tak akan mungkin terjadi.
Rasulullah saw. bersabda : “Apabila keluar panji-panji hitam dari arah Khurosan, tidak akan ada sesuatu apa pun yang dapat menolaknya hingga (panji-panji) ditancapkan di Ilya (Baitul Maqdis atau Yerusalem).” (HR. Tirmidzi)
Palestina menunggu kedatangan tentara dari Allah Swt. Pasukan dari suatu negara adidaya yang menerapkan Islam secara menyeluruh. Insyaallah negara adidaya tersebut akan segera datang membebaskan mereka dari belenggu kafir penjajah Yahudi Israel. Aamiiin.
Wallahu’alam bish showab.[]