Prahara di Balik Kemilau Ratu Elizabeth II

”Kematian Ratu Elizabeth II bukan hanya mengundang duka, namun sukacita bagi sebagian yang lain. Beberapa pihak memandang Ratu Elizabeth II sebagai simbol kerajaan kolonial Inggris, yang memperkaya diri melalui kekerasan, perampasan, dan penindasan.”

Oleh. Tsuwaibah Al-Aslamiyah
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Kematian Ratu Elizabeth II cukup menyita perhatian dunia. Ucapan duka dari petinggi dan masyarakat berbagai belahan dunia masih terus mengalir, bahkan hingga hari pemakamannya. Berbondong-bondong manusia dari kalangan rakyat biasa, artis, hingga pejabat elite dunia rela mengantre puluhan jam demi memberikan penghormatan terakhir yang berdurasi tak lebih dari 3 menit saja.

Dilansir dari Wikipedia.org bahwa pada 8 September 2022 menjadi hari berkabung dunia, sebab Elizabeth II sang Ratu Inggris meregang nyawa di usia yang tak lagi muda yakni 96 tahun di Kastel Balmoral di Skotlandia. Setelah 70 tahun penguasaannya atas Britania Raya dan negara-negara persemakmuran lainnya. Upacara pemakamannya diselenggarakan pada 19 September 2022, pukul 11.00 di Westminster Abbey.

Lantas, seperti apa kiprah Ratu Elizabeth II sepanjang hidupnya? Betulkah dia menjadi simbol kolonialisme Eropa? Pantaskah futuhat disejajarkan dengan kolonialisme?

Kiprah sang Ratu Selama 7 Dekade

Elizabeth II dengan nama lengkap Elizabeth Alexandra Mary merupakan putri sulung Pangeran Albert, Duke of York dan Lady Elizabeth Bowes-Lyon. Elizabeth muda diprediksi berpotensi untuk memimpin Kerajaan Inggris. Namun, saat itu yang sedang berkuasa adalah Raja Edward VIII, adik dari ayahnya.

Pada Desember 1936, Raja Edward III turun takhta dan digantikan Pangeran Albert dengan gelar Raja George VI. Otomatis, Elizabeth muda menjadi calon ahli waris takhta berikutnya. Inilah titik sejarah perjalanan kekuasaan Elizabeth dimulai. Elizabeth muda naik takhta menjadi Ratu Elizabeth II pada 6 Februari 1952. Saat itu ia menjadi pemimpin Kerajaan Inggris Raya dan Irlandia Utara termuda, di usia 25 tahun. Bahkan, ia menjadi Ratu Inggris yang berkuasa paling lama sepanjang sejarah yakni 70 tahun (1952-2022) mengalahkan leluhurnya, Ratu Victoria yang memerintah selama 64 tahun (1837-1901).

Berawal dengan gaya kepemimpinan monarki kuno yang kaku dan tradisional, Ratu Elizabeth II menyadari akan peran monarki modern. Perlahan berubah haluan menuju monarki modern. Gurita kekuasaan Ratu Elizabeth II meliputi:

Pertama, peran dalam parlemen. Otoritas legislatif tertinggi ada di genggaman parlemen. House of Commons merupakan majelis rendah, sedangkan House of Lord merupakan majelis tinggi. Namun, The Crown yang merupakan parlemen tertua kini hanya simbol ritual belaka. Namun, tetap bertaring untuk membubarkan parlemen Inggris sebelum pemilu digelar.

Kedua, menunjuk pemerintahan. Sehari pasca pemilu, Raja dan Ratu biasanya mengundang pemimpin partai politik yang telah memenangkan kursi terbanyak dalam House of Commons untuk menjadi perdana menteri.

Ketiga, persetujuan kerajaan. Melenggangnya RUU menjadi UU, selain atas persetujuan parlemen, pun harus direstui Raja dan Ratu Inggris. Jika pun ditolak, maka RUU batal. Namun kenyataannya, hal semacam itu hanyalah stempel karet belaka.

Keempat, tempat berkonsultasi petinggi pemerintahan. Sering kali para perdana menteri berkonsultasi terkait rencana sekaligus hambatan dan tantangannya pada Ratu Elizabeth II.

Kelima, menunjuk Lord dan Knight. Lord akan duduk di parlemen, sementara Knight merupakan gelar kebangsawanan yang diberikan Ratu atau Raja Inggris kepada siapa pun yang telah berjasa dan berkontribusi bagi masyarakat Inggris.

Keenam, memberlakukan hak prerogatif mereka dalam situasi darurat krisis konstitusional pada negaranya. Ketujuh, posisinya merangkap sebagai kepala gereja berwenang menunjuk uskup agung.

Akar Sejarah Kolonialisme Inggris

Inggris bukan hanya terkenal dengan sistem kerajaannya, namun identik pula dengan kolonialismenya. Inggris memulai aksi kolonialismenya di Amerika Utara pada tahun 1600-an. Ini menjadi tonggak berdirinya kekaisaran Inggris di seantero dunia. Bukan hanya Inggris, beberapa negara-negara Eropa melakukan kolonialisme dengan prinsip 3G yakni Gold (kekayaan), Glory (kekuasaan), dan Gospel (penyebaran agama Kristen).

‘Age of Discovery' muncul pada abad ke-16 di Inggris. Istilah ini berkaitan dengan adanya new world yang digadang-gadang memiliki penemuan terbaru. Inggris yang saat itu terbilang cukup maju menghendaki penguasaan terhadap lahan demi membangun sebuah komunitas yang disebut koloni. Kelak daerah koloni inilah yang akan menggelontorkan semua hal berharga (tanah, harta, bahan baku) untuk memenuhi syahwat anggota kerajaan, pejabat sekaligus masyarakat Inggris, pun mendapat cuan berlimpah dari hasil penjualan produknya ke negara lain.

Walau terkategori negara maju, namun pada masa itu Inggris hanya memiliki wilayah yang minim dengan populasi penduduk sedikit. Meskipun demikian, armada tempur Inggris mampu menyaingi Spanyol, Prancis, dan Ottoman (Khilafah Turki Utsmani). Gaya khas kolonialisme ala Inggris dengan cara mencengkeram kekuasaan tertinggi di negara jajahannya, sehingga bisa meminimalisasi SDM dalam pengelolaannya. Strateginya dengan menempatkan pemerintahan boneka yang disetir Inggris agar berjalan sesuai dengan arahannya. Inggris telah menjajah sekitar 94 negara di dunia. Adapun negeri mayoritas muslim yang pernah dijajah Inggris adalah: Moghul (India, Pakistan, Bangladesh), Syam (Palestina, Yordania, Lebanon, Suriah), Afganistan, Indonesia, Malaysia, Brunei, Mesir , Kuwai, Sudan, Irak, dan Tanzania.

Mengukuhkan Masa Persemakmuran

Commonwealth of Nations atau Persemakmuran Bangsa-Bangsa merupakan suatu persatuan yang melibatkan negara-negara bekas koloni Britania Raya. Inggris dikenal sebagai ibu negara bagi Britania Raya atau United Kingdom. Persemakmuran sebenarnya sudah eksis sejak 1926. Bahkan, 3 tahun sebelum Ratu Elizabeth II naik takhta konsep ini dikukuhkan dalam Deklarasi London 1949. Deklarasi ini menjadikan negara anggota menjadi bebas dan setara, namun tidak seutuhnya. Sebab, pengaruh kekuasaan kolonial masih sangat kental terasa mengingat konsep ini berkelindan dengan kekaisaran. Pun Raja atau Ratu Inggris menjadi Ketua Persemakmurannya.

Pada dasarnya negara-negara yang tergabung ini masih jajahan Inggris, namun diberikan otonomi lebih untuk memiliki pemerintahan sendiri. Konsekuensinya negara-negara ini tetap harus tunduk pada Inggris, menyetorkan _'upeti',_dan ikut mengerahkan militer untuk membantu Inggris dalam kondisi perang. Kompensasinya, negara-negara tersebut mendapatkan jaminan keamanan dan bantuan ekonomi dari Inggris (walaupun nilainya di bawah standar).

Saat ini Negara Persemakmuran telah menaungi 53 negara bekas koloni Inggris, membentang dari Afrika hingga Karibia. Hanya saja anggotanya memiliki sistem pemerintahan sendiri, misalnya: Malaysia, Singapura, India, Brunei, Australia, Kanada dan lain sebagainya.

Prahara Ratu Elizabeth II

Kematian Ratu Elizabeth II bukan hanya mengundang duka, namun sukacita bagi sebagian yang lain. Beberapa pihak memandang Ratu Elizabeth II sebagai simbol kerajaan kolonial Inggris, yang memperkaya diri melalui kekerasan, perampasan, dan penindasan.

Sebut saja Barbados, negeri yang menjadi cikal bakal komunitas perbudakan Inggris beserta kolonialismenya yang beringas. Menurut sejarawan Hillary Beckels, Inggris mengeksploitasi gula yang diproduksi melalui sistem perbudakan, tenaga kerja sekali pakai, dan penderitaan yang tak berujung. Tak kuat, akhirnya Barbados mengakhiri intimidasi ini dengan melepaskan diri dari negara persemakmuran yang dipimpin Ratu Elizabeth II.

Tak dimungkiri kolonialisme ini bisa memicu rasialisme sistemis. Hingga kini rasialisme menjadi problem mengakar yang belum bisa diatasi oleh Inggris sekali pun. Banyak darah tak berdosa yang tertumpah disebabkan isu rasialisme yang dipelihara negara ini.

Masyarakat dunia belum lupa tentang apa yang telah menimpa ribuan lansia di Kenya saat pemberontakan Mau Mau pada 1951-1960. Saat itu pasukan kolonial Inggris memperlakukan mereka dengan sangat buruk. Anggota suku Kikuyu di negara itu dibui di kamp konsentrasi, mereka disiksa dan alami pelecehan seksual. Menurut sejarawan Caroline Elkins, angka kematiannya mencapai 100 ribu orang.

Bukan hanya itu, terjadi pula peperangan di antaranya Perang Falklands antara Inggris dan Argentina; krisis ekonomi; kerusuhan di Irlandia Utara; Brexit atau keluarnya Inggris dari Uni Eropa, dan kebangkitan politik nasionalis sayap kanan (Cnnindonesia.com, 10/9/2022).

Jejak Kolonialisme Inggris Runtuhkan Khilafah

Khilafah Turki Utsmani (Ottoman) merupakan negara Islam yang pernah menjadi tonggak peradaban dunia. Pada masa kejayaannya, Turki Utsmani merambah Eropa, Afrika, dan Timur Tengah. Namun, sejak Renaissance dan revolusi industri menyapa Eropa, neraca pun berayun. Pada akhir Perang Dunia I (1914-1918) gurita Imperium Eropa mulai menggerogoti kekuatan Imperium Turki (Khilafah). Saat itu Turki bagai ‘the sick man' terombang-ambing pada instabilitas kondisi dalam negeri dan rong-rongan musuhnya. Posisi sang khalifah atau biasa disebut sultan melemah, kemudian muncullah sosok_'pahlawan'_ yang mampu ‘menyihir' umat dengan ide-ide pembaharuannya. Dialah Mustafa Kemal yang dinobatkan sebagai Bapak Turki, pengusung ide nasionalisme, sekularisme, dan westernisasi.

Mustafa Kemal, mempersembahkan kemenangan untuk Turki Utsmani pada Perang Gallipoli (1915) selama Perang Dunia ke-1. Namun, ia runtuhkan Khilafah pada tahun 1924 dan menggantinya dengan pemerintahan dan hukum sekuler yakni Republik. Syariat Islam dihabisi sedemikian rupa. Belum puas, ia pun menyeret Turki pada kekalahan telak di Perang Dunia ke-2, Khilafah dari masa ke masa yang telah bersusah payah menyatukan dua pertiga dunia itu akhirnya harus ’rela’ wilayahnya dikerat-kerat oleh kafir penjajah.

Lantas, siapakah sebenarnya Mustafa Kemal ini? Dia adalah seorang Yahudi yang diutus oleh Inggris dengan skenario ’pahlawan boneka' untuk merobek-robek kekuasaan Khilafah Turki Utsmani. Strategi ini mendulang kesuksesan yang luar biasa. Namun Inggris tak sendiri, dia pun berkonspirasi dengan negara Eropa lain seperti Prancis dan Italia untuk melakukan serangan politik (al-ghazw as-siyasi) untuk memecah belah wilayah Imperium Khilafah.

Hal ini dilakukan bukan tanpa maksud, dendam perang salib menjadi motivasi utama penghancuran ini, begitu pula motif ideologi. Permusuhan salib tertancap kuat pada jiwa bangsa Barat, khususnya Inggris. Sehingga, mereka mampu melancarkan strategi keji untuk melenyapkan Islam dan kaum muslimin dengan meluluhlantakkan institusi negara Islam sebagai perisai umat. Inggris sebagai pengemban ideologi kapitalisme-sekularisme tak menginginkan ideologi Islam termanifestasi dalam institusi negara. Sebab, Khilafah menjadi musuh utamanya.

Kolonialisme versus Futuhat

Praktik kolonialisme oleh bangsa Eropa sudah eksis sejak abad ke-15. Sedangkan imperialisme muncul sejak zaman Romawi. Kolonialisme berasal dari bahasa latin, colonus yang artinya petani. Begitu pun imperialisme berasal dari kata imperium yang artinya memerintah.

Kolonialisme merupakan bentuk penaklukan suatu negara terhadap negara lain dengan tujuan memperluas kekuasaan negara penakluk. Sedangkan imperialisme merupakan sistem politik yang dilakukan dengan menjajah negara lain, tujuannya untuk meraih kekuasaan dan keuntungan sebesar-besarnya. Keduanya sama-sama bersifat eksploitatif. Hal ini menjadikan negara penjajah makmur dan maju, sebaliknya negara terjajah miskin, terbelakang, dan menderita pula. Kedua strategi ini biasa dilancarkan oleh negara-negara pengemban ideologi kapitalisme untuk menjadikan negeri lain yang kaya SDM sebagai sapi perahan.

Adapun futuhat berasal dari bahasa Arab yakni fataha-yaftahu-fathan yang artinya pembukaan. Dalam konsep tarikh Islam dimaknai pembukaan atau pembebasan terhadap suatu wilayah-wilayah baru. Futuhat ini biasanya diawali dengan dakwah, ditindaklanjuti dengan jihad jika mereka menolak dua tawaran yang diberikan Khilafah. Rasulullah saw. bersabda: ”Jika kamu menjumpai musuhmu kaum musyrik, maka serulah mereka untuk memilih salah satu dari tiga perkara. Apa pun dari ketiganya yang mereka pilih maka kamu harus menerimanya. Serulah mereka untuk masuk Islam, jika mereka mau maka terimalah dan biarkan mereka…jika mereka tidak mau maka mintalah dari mereka jizyah, jika mereka mau maka terimalah dan biarkan mereka. Jika mereka tidak mau, maka mintalah pertolongan pada Allah perangilah mereka.” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad)

Praktik futuhat Islam berbeda dengan penjajahan ala Barat (kolonialisme dan imperialisme). Futuhat terbukti mampu memberikan kebaikan bagi umat manusia, mengingat Islam sebagai rahmatan lil alamin. Negara yang ditaklukkan diperlakukan sama sebagaimana warga negara lainnya, diperlakukan adil baik dalam hal penerapan aturan Islam secara kaffah, jaminan pemenuhan kebutuhan pokok individu dan kolektif, jaminan kesejahteraan dan keamanan.

Oleh karena itu, rakyat yang negerinya ditaklukkan oleh Khilafah tidak menganggap Islam sebagai penjajah. Justru sebaliknya, mereka menyatu dengan pemeluk Islam lainnya bahkan ikut mengikrarkan diri menjadi pembela Islam. Lihat saja rakyat Mesir, Libya, Suriah, atau Bosnia yang negerinya pernah di_futuhat_ Islam, alih-alih membenci Islam, justru negeri itu dibanjiri para pejuang Islam yang militan dalam membela agamanya. Jika Islam dianggap penjajah keji dan barbar yang getol menumpahkan darah orang tak berdosa, mana mungkin mereka menyerahkan loyalitas penuh demi membela dan memperjuangkan Islam?

Khatimah

Prahara di balik kemilau kerajaan Inggris itu nyata, semua tak seindah penampakannya. Tak pelak, Raja dan Ratu Inggris menjadi simbol kolonialisme. Ada darah dan air mata yang tertumpah, jerit tangis dan pilu, sumpah serapah yang terucap dari lisan orang-orang yang dijajahnya. Semua ini hanya bisa dihentikan dengan tegaknya kembali Khilafah di muka bumi ini.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Tsuwaibah Al-Aslamiyah Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Generasi Sumbu Pendek Kian Hilang Arah
Next
Normalisasi Turki-Israel: Dulu Merajuk, Kini Merujuk
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

2 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Entin
Entin
2 years ago

Begitulah dalam sistem kapitalisme, menjadikan kekuasaan sebagai jalan memperkaya diri sendiri bukan untuk mengurusi rakyat

Yuli Juharini
Yuli Juharini
2 years ago

Masyaallah, barakallah.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram