”Rezim Turki, Saudi, dan lainnya merupakan agen Barat yang lahir dari rahim kolonialisme. Maka tak heran jika mereka bersekutu, bergandengan tangan, bahkan saling mendukung satu sama lain. Wajar pula jika rezim-rezim negara muslim tidak menganggap penjajah Israel sebagai musuh.”
Oleh. Sartinah
(Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pasang surut hubungan Turki dan Israel terjadi beberapa tahun belakangan. Bahkan, sekitar lima tahun terakhir hubungan kedua negara itu terus memburuk. Turki yang sebelumnya ‘merajuk’ akibat kebijakan Israel soal Palestina, perlahan mulai melunak dan telah menyatakan ‘rujuk’ kembali dengan negara zionis tersebut. Turki menormalisasi hubungan dengan Israel mengikuti jejak negara Arab lainnya, yakni Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Sudan, Maroko, Yordania, dan Mesir.
Jika melihat buruknya hubungan Turki dan Israel beberapa tahun terakhir, lantas apa sejatinya alasan Turki menormalisasi hubungannya dengan Israel? Apakah normalisasi tersebut menguntungkan bagi rakyat Palestina? Bagaimana pula pandangan Islam tentang normalisasi dengan negara kafir penjajah?
Normalisasi Penuh
Pengumuman normalisasi kedua negara tersebut sebagaimana diungkapkan oleh kantor Perdana Menteri Israel, Yair Lapid, pada Sabtu (17/09/2022). Dalam laporan Routers, disebutkan bahwa pertemuan kedua negara tersebut menandai tonggak sejarah lain saat mereka bekerja untuk memperbaiki hubungan yang telah lama memanas. (Okezone.com, 08/08/2022)
Selain itu, normalisasi tersebut diputuskan sekali lagi untuk meningkatkan hubungan antara kedua negara menjadi hubungan diplomatik penuh, serta mengembalikan duta besar dan konsul jenderal. Presiden Israel bahkan mengatakan, pembaruan penuh kedua negara akan mendorong hubungan ekonomi yang lebih besar, pariwisata timbal balik, serta persahabatan antara rakyat Israel dan Turki.
Pasang Surut Hubungan Turki-Israel
Turki dan Israel bak dua sahabat lama yang berteman, bermusuhan, kemudian berbaikan kembali. Turki menjadi salah satu negara muslim yang diincar oleh Israel untuk memperbaiki hubungan bilateral. Sebagai informasi, sebelum terjadi serangan komando 2010 terhadap armada bantuan menuju Gaza yang menewaskan sepuluh aktivis Turki, Israel adalah sekutu regional lama Turki. Pasang surut hubungan Turki-Israel dapat dilihat dalam beberapa peristiwa, di antaranya:
Pertama, kemitraan strategis. Pada tahun 1996, Turki dan Israel sempat menandatangani ‘Kemitraan Strategis’, di mana angkatan udara mereka bisa berlatih di wilayah satu sama lain. Kesepakatan tersebut juga diikuti dengan beberapa perjanjian kerja sama senjata yang diketahui telah mendapat kritikan keras dari Iran dan beberapa negara Arab.
Kedua, hubungan Turki-Israel menurun. Hal ini terjadi ketika Perdana Menteri Turki saat itu, Recep Tayyib Erdogan, keluar dari Forum Ekonomi Dunia di Davos pada Januari 2009 silam. Keluarnya Erdogan ditengarai sebagai protes atas serangan besar-besaran tentara Israel terhadap gerakan Islam Palestina, Hamas, di Gaza. Operasi Israel tersebut telah membunuh 1.440 warga Palestina dan 13 warga Israel.
Ketiga, penyerangan terhadap armada bantuan Turki. Pada Mei 2010, Israel melancarkan serangan terhadap armada yang mengangkut bantuan untuk Jalur Gaza, yakni kapal Mavi Marmara. Akibat penyerangan tersebut Turki menarik duta besarnya dan mengurangi hubungan ekonomi dan pertahanan dengan Israel. Namun, atas desakan Presiden AS Barack Obama saat itu, pada Maret 2013 Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu meminta maaf kepada Turki dan berjanji akan memberikan kompensasi bagi keluarga yang terbunuh.
Keempat, Turki membatalkan tuntutan. Turki menyepakati perjanjian untuk membatalkan tuntutan terhadap mantan panglima militer Israel dan keduanya pun sepakat untuk mengangkat duta besar baru bagi negara masing-masing. Dari kesepakatan tersebut, Turki mendapatkan US$20 juta (hampir 18 juta euro) sebagai kompensasi. Kedua negara pun meresmikan proses normalisasi pada Juni 2016.
Kelima, perpindahan kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Saat Presiden AS Donald Trump memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem dan mengakui kota yang disengketakan tersebut sebagai ibu kota Israel pada Desember 2017, Erdogan memimpin oposisi muslim terhadap langkah AS tersebut. Bahkan, pada hari pembukaan kedutaan baru di Yerusalem pada 14 Mei 2018, Erdogan menuduh Israel sebagai negara teroris dan telah melakukan genosida terhadap puluhan warga Palestina yang terbunuh oleh roket Israel.
Pengkhianatan Terbuka Penguasa Muslim
Turki diketahui tidak hanya mencoba membangun kembali hubungannya dengan Israel, tetapi juga dengan negara Timur Tengah lainnya yang dahulu pernah retak. Di antaranya adalah UEA, Arab Saudi, dan Mesir. Meskipun upaya rekonsiliasi dilakukan dengan Israel, Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan mengatakan bahwa hal itu tidak akan mengurangi dukungan Ankara untuk perjuangan rakyat Palestina. Sebaliknya, kata Erdogan, langkah tersebut akan berkontribusi pada solusi masalah Palestina dan memperbaiki situasi rakyatnya. (Liputan6.com, 24/08/2022)
Pernyataan Erdogan tersebut menunjukkan bahwa Turki sedang memainkan peran ganda. Bagaimana tidak, di satu sisi Turki mengatakan akan tetap mendukung perjuangan rakyat Palestina, namun di sisi lain Turki juga mengakui keberadaan Yahudi sebagai sebuah negara. Padahal, rekonsiliasi dengan negara penjajah sejatinya merupakan pengkhianatan terbuka para penguasa negeri-negeri muslim terhadap Palestina dan Al-Quds, tanah yang diberkahi.
Turki misalnya, seolah-seolah berada di pihak Palestina dan membelanya. Namun, solusi dua negara yang disepakati Turki sejatinya telah melukai hati rakyat Palestina. Turki pun masih memiliki hubungan diplomatik dengan Israel hingga saat ini. Turki hanya berselisih terkait kebijakan politik Israel, namun tetap mesra menjalin kerja sama di bidang militer dan ekonomi dengan negara zionis tersebut. Dalam bidang ekonomi misalnya, ekspor Turki ke Israel meningkat setiap tahun, bahkan lebih besar daripada ekspor Israel ke Turki. Berdasarkan data Trading Economics, nilai ekspor Turki pada Desember 2020 mencapai US$484 juta atau sekitar Rp6,9 triliun. Sedangkan pada bulan Maret 2021, nilai ekspornya naik menjadi US$495 juta atau sekitar Rp7 triliun.
Pun demikian dengan negeri-negeri muslim lainnya yang seolah-seolah peduli terhadap Palestina, tetapi tidak melakukan tindakan apa pun untuk menghentikan aneksasi Yahudi di tanah kaum muslim tersebut. Iran sering kali menentang entitas penjajah Yahudi, namun hanya berhenti pada retorika belaka. Mesir pun berdamai dengan penjajah Yahudi saat negara itu berada di bawah penguasa militer Anwar Sadat (1979). Hal yang sama pun dilakukan Yordania yang berdamai dengan Israel saat di bawah kepemimpinan Raja Hussein (1994).
Sikap Arab Saudi pun tak kalah mencengangkan. Meski tidak memiliki hubungan resmi dengan Israel, pada tahun 2020, Arab Saudi mengizinkan penerbangan Israel-UEA melintasi wilayahnya. Bahkan, dalam sebuah wawancara dengan majalah Amerika, The Atlantik, Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman mengatakan bahwa negaranya tidak memandang Israel sebagai musuh, melainkan sebagai sekutu potensial dalam banyak kepentingan. Tanggapan tersebut menjadi kemungkinan jika Arab Saudi akan mengikuti UEA menjalin hubungan dengan Israel.
Rezim Bentukan Kolonialisme
Negara-negara muslim beramai-ramai ‘rujuk’ dengan zionis Israel demi kepentingan masing-masing. Padahal, normalisasi hubungan tersebut berseberangan dengan kepentingan rakyat Palestina dan negara-negara muslim lainnya yang pernah dijajah oleh Israel. Normalisasi tersebut bahkan tidak meninggalkan jejak kebaikan apa pun untuk rakyat Palestina. Palestina sejatinya menginginkan agar penjajahan dihapuskan, sehingga mereka dapat hidup dengan aman dan nyaman di tanah milik mereka sendiri. Dan satu-satunya cara agar harapan itu terjadi adalah dengan mengusir penjajah dari tanah kharajiyyah milik kaum muslim tersebut.
Bukankah penjajah Yahudi telah melakukan perbuatan yang sangat keji terhadap rakyat Palestina? Mereka mengusir jutaan rakyat Palestina, membunuh, menggusur pemukiman yang telah lama dihuni, menodai kesucian masjid Al-Aqsa, mengisolasi, bahkan membombardir Gaza tanpa belas kasihan. Tak terhitung sudah tetesan darah dan air mata yang telah tertumpah karena ulah penjajah Israel tersebut. Dengan fakta miris tersebut, lantas mengapa para penguasa Arab masih bergandengan tangan dan ‘bermesraan’ dengan penjajah yang nyata-nyata merampas tanah kaum muslim?
Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah bahwa rezim Turki, Saudi, dan lainnya merupakan agen Barat yang lahir dari rahim kolonialisme. Maka tak heran jika mereka bersekutu, bergandengan tangan, bahkan saling mendukung satu sama lain. Wajar pula jika rezim-rezim negara muslim tidak menganggap penjajah Israel sebagai musuh. Sebab, penjajah sesungguhnya yang telah membentuk entitas Yahudi adalah mereka juga yang telah membentuk penguasa boneka di negeri-negeri muslim yang berkuasa di atas puing-puing reruntuhan Daulah Islam. Mereka dengan setia menjaga kepentingan Barat di negeri kaum muslim, meski harus mengorbankan banyak kepentingan umat Islam.
Mereka melakukan normalisasi dengan entitas Yahudi, baik hubungan itu dilakukan di balik layar maupun secara terang-terangan seperti saat ini. Tak hanya itu, para penguasa negeri muslim bahkan menyepakati solusi dua negara untuk menyelesaikan masalah Palestina. Padahal, sikap dan solusi yang diambil para penguasa muslim sejatinya berakhir pada satu titik yang sama yaitu pengkhianatan, pengabaian, dan penyerahan sebagian wilayah dari tanah yang diberkahi (Palestina).
Tak Ada Normalisasi dalam Islam dengan Penjajah
Islam telah meletakkan segala sesuatu sesuai kedudukannya masing-masing. Sebagaimana telah menetapkan mana saja negara yang boleh menjalin kerja sama dengan negara Islam dan mana yang tidak. Tunduknya negara-negara muslim di bawah ‘ketiak’ penjajah Yahudi, sejatinya menunjukkan lemahnya kekuatan kaum muslim di bawah sekat nasionalisme. Mereka bahkan memuja Yahudi yang merupakan anak angkat dari Barat.
Padahal, entitas Yahudi itu ibarat harimau kertas (mainan), yang tidak mampu membalas perlawanan senjata ringan hanya dengan perbekalan minim. Yang membuatnya terlihat besar justru adanya pengkhianatan dan persekongkolan yang dilakukan oleh penguasa negeri muslim. Baik rezim loyalis maupun yang menentang, sejatinya mereka adalah sama. Sebab, mereka tidak menganggap Yahudi sebagai musuh yang harus diperangi.
Mereka bahkan mengabaikan titah Allah Swt. dalam kitab-Nya yang melarang menjadikan kaum kafir sebagai kawan, “Sungguh Allah hanya melarang kalian berkawan dengan orang-orang yang memerangi kalian karena agama, yang mengusir kalian dari negeri kalian, dan yang membantu (orang lain) untuk mengusir kalian. Siapa saja menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah kaum yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah [60] : 9)
Sejatinya Yahudi tengah melancarkan agresinya di kawasan Timur Tengah, Palestina, dan Al-Quds (Yerusalem). Dengan demikian, Yahudi adalah musuh yang nyata. Musuh haruslah diperlakukan sebagai musuh, bukan seperti teman. Terlebih, Yahudi merupakan entitas yang tengah memerangi umat Islam secara nyata atau disebut al-kafirah al harbiyah al-muhribah bi al fi’li.
Dengan status semacam ini, maka interaksi yang boleh terjadi terhadap negara penjajah hanyalah interaksi perang, bukan persahabatan apalagi diplomatik. Karenanya, tidak boleh ada perjanjian apa pun dengan negara kafir harbi fi’lan, baik perjanjian politik (seperti hubungan diplomasi), ekonomi (seperti ekspor dan impor), maupun hubungan lainnya. Allah Swt. pun berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” (QS.Al-Mumtahanah [60] : 1)
Khatimah
Sejatinya normalisasi dengan entitas Yahudi adalah bentuk pengkhianatan nyata terhadap perjuangan rakyat Palestina, Islam, dan kaum muslimin. Pengkhianatan seperti ini hanya mampu dihentikan oleh kekuatan adidaya yang tegak di atas dasar akidah, yakni Khilafah Rasyidah ‘alaa minhaj an-nubuwwah. Di bawah naungan Khilafah, penjajah Yahudi tidak akan memiliki ruang untuk menjalin kerja sama dengan negara muslim. Khilafah pula yang akan menyatukan seluruh negeri-negeri muslim di bawah panji Islam dan mengembalikan kejayaannya serta mengakhiri era gelap dunia di bawah naungan demokrasi kapitalisme.
Wallahu a’lam.[]