Noktah Merah

"Rasanya lelah menceritakan semua kepingan cerita tiap tahunnya. Bagas selalu menorehkan luka di setiap tahun pernikahan. Ia tampak asing bagiku saat itu. Jika kubahas tentang masa depan, tak pernah direspons. Apalagi jika bahas soal agama, ia selalu menyebutku “ustazah”."

Oleh. Isti Rahmawati
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com- Noktah merah itu selalu ia torehkan padaku. Entah masalah apa lagi yang ia perbuat. Sedang aku, terseok-seok mengambang di tengah lautan menyelamatkan bahtera ini.
“Bu, bapak melamun.”
“Panggil om Andi.”

Bagas, terduduk di tepi ranjang. Matanya menatap nanar tanpa isyarat. Ia tak menjawab bahkan tak menoleh ketika dipanggil.

“Bu, bapak keserang lagi.”

Suaraku tiba-tiba tercekat. Ya Allah, Rabbi. Apalagi yang kau berikan padaku, Mas! Batinku dipenuhi rasa kesal.


Menjadi istri adalah pencapaian yang dipertaruhkan bagi seorang wanita. Apa kata dunia kalau tak menikah? Pikirku begitu.
Akhirnya kuputuskan menikah di usia 23 tahun saat itu. Rasanya tentu lebih menenangkan, bukan? Ada yang mengantar pergi, ada yang menafkahi tiap bulan, tentu tak akan kekurangan cinta dan kasih sayang.
Itu pikirku saat gadis sebelum bertemu dengan Bagas. Ternyata, setelah 19 tahun berumah tangga, rasanya hanya sampai lima tahun kebahagiaan itu menempa keluarga kecilku. Sisanya, air mataku terkuras. Tubuhku makin ringkih.

“Mas, ini apa?” kutemukan plastik bening berisi pil pipih berwarna putih di plafon kamar mandi yang terbuka. Entah mengapa, sejak menikah, radarku ini semakin kuat kalau ada sesuatu yang disembunyikan.

“Itu obat biasa.”
“Obat apa?” tanyaku penasaran.
“Itu obat supaya gak lemes kalau kerja,” jawab Bagas.

Ia hanya seorang resepsionis di sebuah penginapan. Rasanya terlalu berlebihan kalau harus meminum suplemen. Radar di otak rasanya tak menerima alasan Bagas. Tanpa pikir panjang, dua pil berwarna putih masuk ke kerongkongan bersama seteguk air.

Satu menit, dua menit, tak ada hal aneh. Namun, di menit kelima tubuhku roboh. Kaki seperti melayang. Aku sadar, kalau ini bukan obat biasa. Ia sedang bermain api.

Kejadian pil yang kuminum adalah awal robohnya kepercayaanku pada Bagas. Ia emosi kalau aku sering membahas kejadian itu. Alhasil, setiap malam kami selalu bertengkar hebat.
Dengan sedikit bekal ilmu agama yang kumiliki, pernikahan ini sudah tak bisa disebut sakinah. Setiap kali Bagas di luar, pikiran liar memburu berbagai prasangka. Minuman apa yang akan ditenggaknya. Pil macam apa lagi yang akan ditelannya. Rasanya ingin kuakhiri pernikahan ini.

Tahun ketujuh pernikahan, Bagas di-PHK. Apa yang bisa diperbuat seorang perantau kalau tak ada lagi tempat mengais rezeki. Jadilah kami kembali ke Bogor, kampung halamanku dan Bagas. Alesa, anak sulungku saat itu duduk di kelas tiga SD. Saksi perjuanganku menyelamatkan pernikahan ini. Bukan pernikahan ini yang menjaganya, justru dialah yang menjaga pernikahan ini.

Bagas dan aku merintis usaha kecil-kecilan. Bermodalkan uang sisa pesangon, aku membeli sebuah gerobak bakso. Kupikir ini akan menjadi babak baru kehidupan kami. Berita baiknya, Bagas sudah jauh dari lingkungan gelapnya. Tak akan ada lagi pergaulan kotor yang merongrong keluarga kecilku.
Rasanya lelah menceritakan semua kepingan cerita tiap tahunnya. Bagas selalu menorehkan luka di setiap tahun pernikahan. Ia tampak asing bagiku saat itu. Jika kubahas tentang masa depan, tak pernah direspons. Apalagi jika bahas soal agama, ia selalu menyebutku “ustazah”.

Di tahun pernikahan ke-15, saat Alesa duduk di bangku SMP, Bagas pernah tersandung kasus serupa. Buruknya, teman-temannya ditangkap aparat. Bagas bersembunyi, tak lagi berjualan. Giliran pekerjaanku sebagai guru les menjadi pegangan hidupku tiap bulan. Pusing memikirkan Bagas, kuminta dia untuk pergi menemui kakaknya di Sukabumi. Sengaja kuacuhkan ia agar logikanya berpikir. Bertahun-tahun hanya begitu-begitu saja. Akhirnya ia meninggalkan aku dan Alesa untuk sementara.

[Na, aku bangun terlambat. Baru mau salat subuh] 

Sebuah pesan dari Bagas.
Lagu lama. Kapan terakhir ia salat dengan rajin dan tepat waktu. Rasanya buang waktu menanggapinya di saat seperti ini. Seorang istri yang seharusnya berada di sisi suami saat jatuh, aku malah membiarkannya. Bukan karena tak peduli, tapi biar waktu dan kesendirian yang menyadarkannya. Sejak Alesa kecil, kupendam semua rasa kecewa, marah, dan benci. Tak pernah 1 kalimat buruk tentangnya yang kuceritakan pada ibuku sendiri. Biarlah kisah ini hanya milikku seorang.

Ayah? Sudah lama sekali sebelum menikah ia tiada. Kadang selalu berangan-angan, mungkin ayah yang akan menasihati Bagas jika tahu apa yang ia perbuat padaku. Padahal, dulu aku ingin suami seperti ayah. Tapi, sudahlah, mungkin sudah jalan hidupku memiliki suami seperti Bagas.


“Ibu, harus ke RS.”
“Siapa?” tanyaku.
“Bapak.”

Bulir air mata merembes memenuhi kedua mataku. Keduanya berkedut menahan luka di dalam batin. Semakin ditahan, rasanya semakin kuat. Akhirnya, tumpah. “Alesa, ibu capek dengan ulah bapakmu!”

Alesa mengelus punggungku. Hangat.

“Bapakmu kaya gini akibat kelakuannya sendiri. Setiap tahun buat ulah! Giliran sudah seperti ini, kita yang harus tanggung.”

“Bu, nyebut, Bu,” seru Alesa.

“Apa lagi Mas? Capek aku! Hidupku celaka. Kalau bisa mundur waktu, aku gak mau ketemu kamu, Mas. Aku nyesel menikah denganmu.”
Bagas bergeming. Tampak jelas kerutan di dahi dan pelipisnya. Matanya merah tak lagi bercahaya. Aura wajahnya gelap tanpa kehidupan.

“Aku ajak kamu ngaji bareng aku, kamu nolak. Sekarang? Ya gini. Kamu yang bikin aku durhaka sama suami sendiri.”

“Ibu, udah Bu. Alesa sayang ibu sama bapak. Alesa juga kecewa sama bapak. Juga kasihan sama ibu. Biar kita bawa bapak ke RS dulu.”

Life must go on. Kutipan yang kini harus kuhadapi. Sekecewa dan semarah apa pun pada keadaan, harus kuhadapi. Dengan bantuan sepupu Bagas, aku menggotong Bagas masuk ke mobil yang sudah kupesan via aplikasi. Mobil kecil berwarna putih itu pun melesat membelah jalanan kota Bogor. Sepanjang jalan, aku sibuk mengumpulkan puing-puing perjalanan hidupku bersama lelaki di sampingku. Apa dosaku ya Rabb? Belum puaskah Bagas menaruh beban di pundakku? Apalagi ini?

“Ibu, tenang Bu.” Alesa menenangkan. Sebetulnya, aku pun kasihan melihat Alesa. Anak gadisku yang beranjak dewasa itu kekurangan figur seorang bapak. Hatinya mungkin lelah mendengar kisahku tentang bapaknya.

Kuasa Allah, tak pernah kulihat Alesa marah pada Bagas. Tak kulihat gurat kecewa dengan kelakuan bapaknya ataukah ia sedang menyembunyikannya? Ya, ini yang lupa kuperhitungkan saat menceritakan semua kisah kelam pernikahan pada anakku sendiri. Maafkan Ibu, Nak.

Mobil pun tiba di depan ruang IGD RSUD Bogor. Dengan sigap, dua perawat laki-laki menarik stretcherr/brankar dorong khusus pasien. Keduanya membantu menaikkan Bagas.
Aku dan Alesa menyusul di belakang. Dokter jaga pun tak kalah sigap mendatangi kami.
“Ini Bu Dina, wali pasien? Kenapa bapaknya, Bu?”

“Bangun tidur sudah seperti ini. Seperti linglung. Ditanya tidak ada respons,” jelasku.

“Kita tensi dulu bapaknya ya.”

Jantung rasanya terdetak dua kali lebih cepat. Sekesalnya aku pada Bagas, aku tetap berempati. Takut kalau keadaannya saat ini berkepanjangan.

“Ibu, tensi bapak 140/90. Itu tinggi ya, Bu. Bapak harus cek darah di sini ya, Bu. Suami ibu juga harus rawat inap di sini. Nanti ibu silakan ke petugas registrasi di ruangan pojok bawah tangga.”

“Iya, Dok.”

“Suami ibu ada darah tinggi? Dari gejala yang tampak, bapak stroke. Sepertinya ada pembuluh darah yang tersumbat ke otak. Makanya, pasien mendadak susah interaksi dan bicara.”

“Iya, Dok, punya hipertensi.”

“Berarti rajin minum obat darah tinggi?”

“Belum pernah diperiksakan lagi Dok. Sebetulnya ini serangan yang ketiga.”

“Waduh! Ibu bagaimana? Sudah stroke yang ketiga, tapi belum pernah konsul tentang strokenya.”

“Iya, suami saya cuek.”

“Silakan ibu urus dulu registrasinya supaya cepat dapat ruangan ya.”

Alesa masih berusaha berinteraksi dengan Bagas. Berkali-kali ia panggil dan bertanya. Hasilnya nihil. Tak lama, seprai di samping kasur basah. Bagas tak bisa menahan keinginannya untuk buang air kecil. Aku mengutuk diri. Mengapa semua ini menimpaku? Kurang sabarkah aku menghadapinya? Apakah ini teguran akibat rasa dingin pada suamiku sendiri selama ini?

“Sudah Sa, bapakmu stroke. Selama ini udah disuruh ke puskesmas gak pernah nurut. Sehat aja harus ibu yang mikirin. Aneh bapakmu itu! Panggil suster untuk ganti seprai,” pintaku.

“Mas, apa salahku Mas? Kamu hukum aku dengan cara seperti inikah?” ucapku pada Bagas sambil melepaskan pakaian dan celananya yang basah. Tak sadar, air mataku menetes membasahi tubuhnya. Tubuhku yang ringkih kini harus berupaya keras untuk sekadar memiringkan tubuhnya. Kini ia harus menggunakan popok dewasa agar nanti lebih mudah dibersihkan.


“Bu, kondisi saat ini sudah drop. Hasil lab menunjukkan kadar kolesterol dan gulanya tinggi. Ditambah tensi yang tinggi, itulah yang membuat pembuluh darah tersumbat. Beruntung tidak pecah. Kalau pecah bisa sampai tak sadarkan diri.”

“Selanjutnya?”

“Yang sabar ya, Bu. Keluarga harus menerima kondisi bapak. Memang jika sudah seperti ini, perlu waktu untuk bisa sehat lagi. Sehat pun, tidak akan seperti dulu.”

Alesa terisak di balik kain yang menutupi wajahnya. Sebuah berita yang menghantam bertubi-tubi. Aku menatap dingin ke arah Bagas. Mau apa lagi? Nasi sudah menjadi bubur.

“Kita stabilkan dulu bapak di sini, baru nanti bisa pulang dan selanjutnya kita fisioterapi.”


“Ba-ba ma-ma,” ucap Bagas.

Sudah dua minggu ia terus melatih kemampuan bicaranya yang hilang. Belum lagi fisioterapi untuk mengembalikan kemampuan berjalannya. Tubuh sebelah kanan lemas dan sangat sulit untuk digerakkan. Selama itu pula, akulah yang menuntunnya berjalan. Tak hanya itu, aku pula yang memandikan Bagas. Hal yang tidak pernah kulakukan. Bahkan, kepada ibuku sendiri yang sudah renta karena ia tinggal bersama kakakku.

Bagas kini hanya mampu mengucapkan kata yang tak beraturan. Apalagi untuk berdebat, sekadar mengutarakan keinginannya pun ia sudah tak lagi mampu. Kini, hidupnya seolah bergantung padaku. Malang nian nasibku!

“Assalamualaikum,” ucap seorang wanita di balik pagar.

“Walaikumsalam. Masuk, Bu.”

“Na, sehat kau?” tanya wanita berkerudung merah itu.

“Eka, kamu pulang ke Bogor?”

Eka, sahabatku semasa kecil. Kini ia menetap di Tangerang bersama suaminya. Satu-satunya orang yang dekat denganku. Kadang, entah dari mana ia pun tahu kasus-kasus yang mendera Bagas.

“Aku udah lama ingin ketemu kamu, Na,” ucap Eka.

“Eka, alhamdulillah kamu sehat ya.”

“Suamimu gimana?” sebuah pertanyaan yang selalu membuat napasku tercekat. Tak kuat menceritakan semuanya. Akhirnya, tangis tiba-tiba pecah di pundak Eka. Aku memeluknya erat. Entah tangis macam apa yang kutunjukkan ini.

“Yang kuat, Na. Aku tahu betul sekuat apa kamu. Harus kuat, Na.”

Sejak dulu ucapannya selalu benar dan menenangkan. Mungkin itu alasan menjadikan ia satu-satunya orang yang kupercaya.

Aku tak sanggup mengucapkan satu kalimat pun. Eka pun hanya mengusap punggungku dan membiarkan pundaknya basah.

“Ka… Aku….”
“Udah, udah, mana anakmu? Ada?”
“Kuliah,”
“Hebat kamu!”

Setelah membicarakan tentang Alesa, barulah aku bisa bercerita panjang lebar. Sedikit mengalihkan obrolan kami soal Bagas.

“Na, sakit itu penggugur dosa. Sakitnya suamimu, itu penggugur dosa baginya. Kalau kamu temani dia sampai akhir, terbayang besarnya pahala untukmu.”

Aku hanya bisa membisu. Egoku berontak mendengar ucapannya. “Lalu bagaimana dengan nasibku?”

“Nasibmu tak berhenti di sini. Ada jalan lurus menuju surga lewat suamimu.”

Air mataku kembali tumpah. Mendengar surga rasanya tak mungkin dengan hatiku yang saat ini. Setiap hari mengurus Bagas menahan luka dan sesak. Mengenang rasa sakit yang ia torehkan begitu menyesakkan dada.

“Ada sakit dan luka di hatimu? Biarlah itu keluar sampai puas. Selanjutnya, kau buat langkah-langkah baru meniti tujuan hidup ini. Untuk ibadah! Kau lelah? Istirahatlah! Sedih? Nangislah. Allah yang kasih ujian, insya Allah Dia yang akan kasih jalan untukmu.”

“Jangan berhenti salat dan doa,” tambah Eka. Napasku naik turun menahan tangis.

“Eka, aku sebetulnya masih sayang pada Bagas. Tapi, kenapa ia….”

“Ini yang membuatmu sulit untuk ikhlas. Maafkan ia, Na. Hanya itu obatnya.”

“Akan kucoba, Ka.”

“Sabarlah sahabatku, bahkan aku sendiri gak bisa mengatakan ‘tenang ada aku’ karena hanya Allah Zat yang bisa memberikan ketenangan.”

“Makasih, Ka. Semua orang hanya bisa bilang ‘sabar’ tanpa tahu banyak hal sudah kulalui sebelum musibah ini ada.”

“Mereka gak salah karena mereka memang gak tahu, Na.”

Eka membuka hatiku yang terkunci rapat untuk Bagas. Semua luka dan sakit kini berpilin bersama doa dan sujud. Meletup ke langit hingga semesta menjawab ‘ya’ satu per satu.

“Ayo, ucap bis-mil-lah.”

“Ba-mas-la.”

“Masih salah. Sedikit lagi, Mas.”

Maafkan aku ,Mas. Lukaku sedikit lagi mengering. Setelah itu, raihlah tanganku untuk bersama-sama meraih_Nya. Bersabarlah atas ujian ini bagimu. InsyaAllah, auku ikhlas merawatmu sampai akhir.
~~~

*Tulisan ini didedikasikan untuk wanita pejuang tangguh yang merawat suaminya yang sakit. Luka mungkin ada, tapi janji Allah jauh lebih indah daripada mengenang luka.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Isti Rahmawati S.Hum. Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Judi, Narkoba, dan Miras Merajalela, Peran Negara in Absentia?
Next
Kota Layak Anak Makin Banyak, Kekerasan Anak Tetap Merebak
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram