“Dua mata yang diharamkan dari api neraka, yaitu mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang berjaga di jalan Allah.” (HR. At-Tirmidzi)
Oleh. Deena Noor
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Ke manakah tujuan yang diinginkan setiap hamba setelah dunia ini tiada? Surga tentu jawabannya. Setiap hamba beriman pastilah ingin menuju ke sana. Adakah yang tak menginginkannya? Seburuk-buruknya manusia tentu terselip di hatinya harapan berada di surga. Sebejat-bejatnya manusia yang bergelimang dosa, pasti pernah di lubuk hatinya tersembul keinginan untuk menikmati surga-Nya.
Harapan untuk mendapatkan satu tempat terbaik di akhir nanti, berpendar dari kedua mata yang Dia anugerahkan. Menatap dengan dua mata itu, bentangan masa dan dinamikanya bisa terlampaui dengan baiknya. Dua mata itu yang akan menjaga pemiliknya selamat di dunia hingga akhir masa. Melewati penantian dan beragam pertanyaan, sampai tiba ketetapan bahwa neraka bukanlah akhir baginya.
Sungguh, ada dua mata yang akan berada dalam kebahagiaan yang sebenarnya. Mungkin di dunia, dua mata itu tersia-sia dan binasa. Dua mata itu berderai tiada henti menahan pedihnya siksaan manusia. Namun, itu lebih disukai dibandingkan harus mengingkari cinta Rabbnya.
Dua mata itu adalah mata yang menangis karena takut kepada Sang Pencipta dan yang selalu berjaga di jalan-Nya. Siapa saja yang memiliki mata seperti itu, maka selamatlah ia. Terhindarlah ia dari panasnya api neraka. Sebuah imbalan yang amat sepadan atas segala kelelahan, sakit, dan derita selama ia berada di dunia. Dua mata yang selamat dari sentuhan api neraka sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Dua mata yang diharamkan dari api neraka, yaitu mata yang menangis karena takut pada Allah dan mata yang berjaga-jaga di jalan Allah.” (HR. At-Tirmidzi)
Menangis menjadi ekspresi yang mewakili beragam rasa untuk-Nya. Tertuang rasa itu melalui air mata. Ada rasa takut jika mengecewakan Dia yang dicinta. Ada rasa takut jika diri membuat-Nya murka. Takut tatkala mengingat semua dosa-dosa.
Air mata mengalir di sela hati yang dipenuhi rerimbun tanya. Apakah dosa-dosa yang segunung ini bisa diampuni? Apakah amal sudah ikhlas dari hati? Sudahkah hamba taat sepenuh hati, tanpa tapi, tanpa nanti? Sudah benarkah jalan yang ditempuh selama ini? Bagaimanakah akhir dari diri ini nanti?
Tangisan itu tak sekadar berurai begitu saja tanpa makna. Tangis itu mengalirkan asa untuk menjaga cinta mulia-Nya segenap jiwa raga. Dari tangisan itu muncullah tekad untuk senantiasa berhati-hati dalam melangkah. Air mata itu menjadi pemercik semangat untuk tak berleha-leha dalam bekerja. Sebuah pekerjaan besar untuk mencari bekal akhirat di sana. Darinya, tebersit iktikad untuk lebih khusyuk dalam menjalani ibadah sebagaimana yang dinyatakan dalam surah Al-Isra ayat 109: “Dan menyungkur mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.”
Tangisan dari dua mata itu menjadi bukti cinta yang sesungguhnya kepada Sang Pencipta. Air mata yang lahir dari kesungguhan hati tanpa direkayasa. Bila kau cinta, pastilah takut untuk membuatnya kecewa dan kehilangannya. Bila begitu, segala hal akan dilakukan demi tak kehilangan yang dicinta. Bersedia menjalani apa pun asalkan dia bahagia. Memperbaiki diri menjadi upaya agar layak mendapatkan cinta-Nya.
Karena itulah, mata yang takut kepada Sang Khalik tak akan berani menyentuh sesuatu yang diharamkan oleh-Nya. Ia jauhkan diri dari segala kemaksiatan yang Dia larang. Ia patuh pada yang Dia katakan, tanpa berdalih, tanpa banyak tanya. Dengan segenap konsekuensi yang datang, ia siap menanggungnya.
Meski mengering air mata dan perih tak terkira, namun ia tak goyah pada rayuan dan ujian dunia. Tawaran kesenangan tak dipandangnya karena ia tahu itu hanyalah fana dan berujung dosa. Ia buat malu para pendosa yang gagal menjatuhkan kesetiaannya pada Sang Penguasa alam semesta. Ia bakar mereka dalam kemarahan yang mematikan karena tak berkutik di hadapan keyakinan pada-Nya yang tak beranjak walau setitik.
Dua mata itu juga menjadi pengancam kaum durhaka. Dua mata itu dianggap celaka dan berbahaya. Dua mata itu selalu diburu oleh kaum ingkar hingga ke sudut tersembunyi jagat raya. Meskipun demikian, dua mata itu setia menjaga titah-Nya tetap berkibar di alam semesta. Sorotnya tajam melibas siapa saja yang berani melanggar kesucian-Nya. Ia kerahkan segenap upayanya untuk menegakkan kalam-Nya yang mulia.
Mata itu selalu berjaga dalam kebenaran. Ia selalu mengawasi dan menghalau segala yang bisa mencemari kemuliaan agama dan umat-Nya. Jangan sampai ada noda-noda yang mengotori kebesaran-Nya.
Baginya, tak ada yang ia takuti selain dari Rabbnya. Musuh sebesar dan sebanyak apa pun tak membuatnya ciut nyali dan mundur. Baginya, tak ada yang utama selain cinta-Nya. Karena itulah ia setia menjaga cinta itu walau apa pun menjadi taruhannya.
Terus dan terus dua mata itu berjaga-jaga hingga Allah perintahkan untuk beristirahat selamanya. Tuntaslah tugasnya. Usai sudah waktunya di dunia. Saatnya kedua mata itu mengambil bagian yang telah ditetapkan-Nya. Terberkahilah kedua mata itu dengan cinta yang agung.
Wallahu a’lam bish shawwab[]