”Menteri serta kurikulum pendidikan yang kerap berganti sejak Indonesia merdeka 77 tahun lalu nyatanya menghasilkan generasi yang mayoritasnya mengalami kedangkalan akhlak, krisis intelektual serta krisis identitas sebagai muslim.”
Oleh. Hesti Andyra
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pargoy adalah istilah kekinian yang viral di TikTok, yang merupakan singkatan dari Partai Goyang, merujuk pada sekumpulan orang yang berjoget bersama di suatu acara. Istilah ini berasal dari Sumatera Barat. Awalnya, di wilayah tersebut banyak anak muda yang kerap datang ke acara pertunjukan musik seperti organ tunggal, klub malam dengan DJ Remix, panggung dangdut, dan lain sebagainya. Pemuda-pemudi ini datang beramai-ramai lalu bergoyang bersama di acara tersebut. Kegiatan ini lalu direkam dan disiarkan lewat berbagai media sosial sampai akhirnya dikenal dengan nama Pargoy.
Pargoy hanyalah salah satu dari virus sekularisme yang menyerang generasi muda muslim saat ini. Seperti yang terjadi baru-baru ini, viral di media sosial sebuah video yang menampakkan sekelompok mahasiswa Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember sedang berjoget di masjid kampus (detik.com). Aksi ini terjadi bersamaan dengan kegiatan Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) untuk mahasiswa baru di kampus tersebut. Mirisnya, mahasiswa calon generasi penerus bangsa ini melakukan aksi jogetnya di masjid kampus, sebuah tempat ibadah yang selayaknya dihormati dan jauh dari perilaku yang tidak islami.
Kegiatan yang mencoreng nama kampus ini mau tak mau memaksa otoritas UIN KHAS menyampaikan klarifikasi. Namun, alih-alih menyadari kesalahannya, pernyataan pihak kampus malah terkesan berdalih dengan menyatakan bahwa Masjid Sunan Kalijaga tersebut masih dalam tahap pembangunan dan baru mencapai 60% dari target keseluruhan. Ditambah dengan kondisi capek dan jenuh yang dialami sebagian besar panitia dan peserta membuat mereka butuh “refreshing.” Sehingga joget bersama dengan iringan lagu “Ojo Dibandingke” jadi pilihan untuk mengatasi kejenuhan akibat agenda acara yang padat.
Sementara itu, beberapa bulan sebelumnya, tepatnya di bulan Juni 2022, aksi joget bersama di panggung MTQ Nasional XLV Tingkat Kabupaten Banjar Li Sya'ril Islam juga menuai kecaman publik. Panitia dengan sadar telah merusak nilai luhur penyelenggaraan MTQ Nasional dengan aksi berjoget dangdut di atas panggung di bagian akhir acara. Meskipun pihak panitia sudah menyampaikan klarifikasi dan permintaan maaf, tidak bisa dimungkiri bahwa hal ini membuktikan fakta bahwa mayoritas generasi muda muslim tidak lagi menghargai syariatnya sendiri.https://narasipost.com/2022/08/24/sistem-pendidikan-islam-lahirkan-generasi-cemerlang/
Nilai-nilai Islam yang mulai terkikis ini harus segera diatasi. Berkaca pada kedua kejadian di atas, sudah sepatutnya kita mengevaluasi kembali sistem pendidikan kita yang lebih berbasis sekuler ketimbang mempertahankan penerapan sistem pendidikan Islam. Menteri serta kurikulum pendidikan yang kerap berganti sejak Indonesia merdeka 77 tahun lalu nyatanya menghasilkan generasi yang mayoritasnya mengalami kedangkalan akhlak, krisis intelektual serta krisis identitas sebagai muslim. Anak muda kita tak ubahnya generasi pembebek pemuja hedonisme, pemuja materi dan kebebasan, namun kehilangan minat untuk memperluas ilmu.
Pemuda dan pemudi muslim seharusnya adalah motor penggerak yang memiliki potensi dahsyat untuk mengubah bangsa ini ke kondisi yang lebih baik. Namun sangat disayangkan, yang terjadi adalah kaum muda kita telah terpapar paham sekularisme. Propaganda liberal lewat fashion, food, fun, dan music menjadi alat untuk merusak akidah dan mental kaum muda. Berbagai film dan drama berbau eljibiti, penghambaan terhadap idola, acuh tak acuh pada kondisi sosial di sekelilingnya, kehilangan rasa malu dengan perilaku tabaruj di media sosial, konten mukbang dan kuliner yang mendewakan urusan perut adalah racun-racun kapitalisme yang mempengaruhi diri anak-anak kita. Anak-anak muda lebih suka ikut acara pargoy dibanding rohis. Lebih kenal BTS daripada pemuda Ashabul Kahfi. Lebih akrab dengan Taylor Swift ketimbang Asma binti Abu Bakar. Inilah kenyataan pahit yang dihadapi umat saat ini.
Generasi muda muslim seharusnya diperkenalkan dengan kisah keluhuran akhlak para pemuda Ashabul Kahfi yang berani meninggalkan negerinya, menjauh dari segala kemudahan dan kenyamanan demi mempertahankan akidahnya. Diberi teladan tentang kisah para pemuda hebat di sekeliling Rasulullah yang pada usia remaja sudah mampu menunjukkan potensi terbaiknya. Seperti Usamah bin Zaid bin Haritsah yang di usia 17 tahun ditunjuk oleh Rasulullah saw. sebagai pemimpin pasukan muslim yang berjihad menuju Romawi Timur (Bizantium). Ada pula Arqam bin Abil Arqam. Saat usianya 16 tahun, ia menjadikan rumahnya sebagai tempat berdakwah Rasulullah saw. selama 13 tahun. Serta Imam Syafi’i ulama besar yang diizinkan untuk memberikan fatwa di usia 15 tahun oleh sang guru, mufti Muslim bin Khalid Az Zanji, dan masih banyak lagi kisah teladan lainnya.
Ketika pemuda pemudi muslim dibina dengan pendidikan yang berlandaskan akidah Islam, maka tak hanya kepribadian Islam saja yang terbentuk kokoh, namun juga memiliki kemampuan mumpuni dalam berbagai ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan. Dengan mengembalikan ruh pendidikan sesuai syariat Islam, bisa dipastikan akan mampu mencetak generasi emas muslim seperti di masa kekhalifahan Abbasiyah. Berbagai ilmu pengetahuan yang tetap dalam koridor Islam akan berkembang luas dan mampu menghasilkan para mujtahid muda yang memiliki tsaqofah Islam yang kuat sekaligus ilmu pengetahuan yang luas, berdaya juang tinggi dan tak mudah patah semangat. Sudah waktunya kita beralih dari pendidikan berbasis sekuler. Sudah saatnya anak muda kita berhenti terlena dan mulai berjuang sebagaimana firman Allah Swt.; ”Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. Ali Imran 139). Wallahu’alam bisshawab.[]