"Penulis dalam kata pengantarnya memberikan alasan mengapa ia membukukan karyanya. Ia menyatakan bahwa menulis adalah cara terbaik mendokumentasikan gagasan, mengarsipkan pengalaman, menyimpan kenangan. Ia pun tak ingin tulisannya menghilang begitu saja. Sehingga, ia ingin bukunya ini mampu mengedukasi pembaca, memotivasi, dan menginspirasi."
Judul Buku: Fenomenal
Penulis: Asri Supatmiati
Penerbit: Mozaik Indie Publisher
Tahun Terbit: Maret 2020
Tebal Buku: 280 halaman
Dimensi: 13 x 19 cm
ISBN: 978-602-1049-17-4
Peresensi: Choirin Fitri
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.com-Apa yang terbayang saat melihat cover buku berjudul "Fenomenal" ini? Pasti yang ada di benak kita adalah sesuatu yang menarik, viral, dan tentunya fenomenal, iya tidak?
Ya, memang buku ini berisi hal-hal yang memang fenomenal. Bukan hanya fenomenal dari segi isinya, juga fenomenal dari segi bobot plus kualitas ilmu yang akan kita dapat setelah buku ini usai dibaca.
Buku ini ditulis oleh seorang penulis kawakan yang telah melahirkan banyak penulis di bawah payung komunitas "Revowriter." Penulis yang juga seorang redaktur di salah satu koran nasional amat gemar menulis dengan sudut pandang yang berbeda. Termasuk saat menyikapi suatu peristiwa, ia menuliskan dengan bahasa yang mudah dipahami dan enak dimengerti.
Salah satu rubrik yang dimiliki di FB-nya adalah "Bukan Ngalor Ngidul". Dalam rubrik ini penulis menuliskan unek-uneknya tentang berbagai hal yang sedang terjadi di masyarakat. Entah itu urusan pribadi, rumah tangga, hingga negara. Urusan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan pun tak luput menjadi bahasan yang menarik untuk diulik.
"Bu Ngangi" begitu rubrik yang banyak disukai emak-emak ini disingkat. Mengapa emak-emak menyukainya? Karena rubrik ini memang sengaja ditulis oleh penulis spesial untuk emak bangsa yang memang tidak terlalu suka bahasa yang tinggi ala opini berkelas. Sehingga, tulisan-tulisan yang dikemas dalam rubrik ini memang bahasanya sederhana, mudah dipahami, dan tentunya ala emak-emak yang tidak suka berpikir berat.
Ada 44 judul yang dibukukan oleh penulis dalam buku ini. Meski sebenarnya yang telah terunggah di medsos dan di-share oleh banyak kalangan lebih banyak lagi.
Penulis dalam kata pengantarnya memberikan alasan mengapa ia membukukan karyanya. Ia menyatakan bahwa menulis adalah cara terbaik mendokumentasikan gagasan, mengarsipkan pengalaman, menyimpan kenangan. Ia pun tak ingin tulisannya menghilang begitu saja. Sehingga, ia ingin bukunya ini mampu mengedukasi pembaca, memotivasi, dan menginspirasi.
Nah, ternyata harapan penulis benar-benar diwujudkan dalam setiap kata yang ditorehkannya dalam buku ini. Menghasilkan beragam tulisan yang menggelitik dan mencerdaskan.
Ada beberapa judul unik yang ditorehkan penulis. Misalnya: Menunggu pemerkosa lelah di halaman 30. Dari roti ke bom panci, emak ngompol? di halaman 100. Jatuh cinta dari vila ke vila di halaman 106. Jika Tuhan absen di ranjang halaman 192. Dari ranjang mengubah dunia di halaman 241.
Sebenarnya setiap kata yang ditorehkan penulis amat menarik. Sampai-sampai saat membacanya tak ingin ada satu kalimat pun yang terlewat. Hanya saja ada beberapa hal yang berkesan yang bisa menjadi pelecut bagi pembaca untuk termotivasi membaca buku ini secara utuh. Diantaranya:
Bab 5 berjudul "Menunggu Pemerkosa Lelah" pada halaman 30 penulis mengawali tulisannya dengan kalimat menggelitik. Sejatinya saya 'lelah' menulis tema tentang pemerkosaan. 'Lelah' dalam makna miris. 'Lelah' dalam makna, saya berharap tak akan menuliskan tema ini lagi; karena para pemerkosa telah lelah dan berhenti beraksi.
Bab 10 berjudul "Sang Putri dan Stereotype Pesek" penulis menulis di halaman 71. Islam jelas tidak mendikotomi para wanita dari penampilan fisiknya. Bahkan, Islam tidak pernah mempersoalkannya. Tak ada fikih kecantikan yang menyuruh para muslimah untuk berlomba-lomba mempercantik fisiknya. Kalau mempercantik akhlaknya, iya. Mendandani akalnya, wajib. Memperindah perilakunya, harus.
Bab 21 berjudul "Sudahkah Mewarisi Islam?" pada halaman 138 penulis menulis dengan lahir dalam keluarga muslim, hidayah untuk memeluk agama Islam terbuka lebar. Meski kita lahir Islam, otak kita tidak otomatis terinstal dengan pemahaman Islam kaffah. Pemahaman Islam tidak mengalir dalam darah secara otomatis, tidak tercetak dalam kromosom, atau seperti chip/software yang tertanam dalam tempurung otak kita tanpa perlu usaha.
Bab 37 berjudul menggelitik "Diplomasi Ranjang". Ada satu paragraf menarik di halaman 238. Btw, diplomasi ranjang juga strategis untuk sarana komunikasi suami istri. Hush, ini bukan ngomongin masalah intim. Tapi, obrolan dua kekasih Allah yang disatukan dalam ikatan suci pernikahan. Saat siang sama-sama sibuk, malam sebelum menjemput mimpi adalah waktu yang tepat untuk saling berbincang. Ini teladan nabi.
Itu di antara beberapa kutipan menarik. Tentu akan lebih banyak hal yang didapat jika membaca bukunya secara utuh. So, jangan tunda-tunda! Segera baca sekarang juga![]
Photo : Koleksi Pribadi