”Sepertinya, sikap hipokrit para penguasa yang menerapkan sistem demokrasi telah jamak terjadi. Jika pendapat yang disampaikan oleh rakyat berseberangan dengan kepentingan penguasa, tidak akan ada kebebasan di dalamnya.”
Oleh. Mariyatul Qibtiyah, S.Pd.
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pengadilan Arab Saudi menjatuhkan hukuman kepada seorang kandidat doktor dari Universitas Leeds, Inggris. Salma Al-Shehab yang berusia 34 tahun itu dijatuhi hukuman 34 tahun penjara dan larangan bepergian selama 34 tahun. Ibu dari dua orang putra itu merupakan perempuan pertama yang dijatuhi hukuman karena aktivitas di dunia maya.
Nasib yang sama juga menimpa Nourah Al-Qahtani. Democracy for The Arab World Now (DAWN) menyampaikan bahwa Pengadilan Kriminal Khusus menetapkan hukuman penjara 45 tahun bagi Qahtani. Di samping itu, ia juga dilarang melakukan bepergian selama 45 tahun sekeluarnya dari penjara. (islamtoday.id, 2/9/2022)
Hipokrisi dalam Demokrasi
Sejak berdiri pada tanggal 23 September 1932, Arab Saudi menjadi sebuah negara monarki absolut. Raja pertamanya adalah Abdul Aziz. Setelah Abdul Aziz meninggal, kepemimpinan Saudi dilanjutkan oleh keturunannya. Saat ini, yang menjadi raja adalah Raja Salman bin Abdul Aziz Al-Saud. Namun, penguasa sesungguhnya adalah Putra Mahkota Mohammad bin Salman (MBS).
Sebagai bentuk demokratisasi, banyak perubahan yang dilakukan oleh MBS. Hal ini terutama tampak dalam pemberian kebebasan bertingkah laku. Pemerintah Saudi telah membuka kolam renang umum, bioskop, dan mengizinkan perempuan mengemudikan mobil. Bahkan, Saudi juga mencabut kewajiban berhijab bagi para perempuan.
Namun, kebebasan ini tidak berlaku dalam penyampaian pendapat. Manajer The Freedom Initiative Saudi, Dr. Bethany Al-Haidari mengungkapkan adanya laporan yang menyatakan bahwa ratusan perempuan telah ditahan oleh pemerintah. Tidak ada kejelasan terkait kesalahan yang mereka lakukan. Ada dugaan bahwa mereka ditahan karena aktivitas di media sosial. (kompas.com, 17/8/2022)
Sepertinya, sikap hipokrit para penguasa yang menerapkan sistem demokrasi telah jamak terjadi. Jika pendapat yang disampaikan oleh rakyat berseberangan dengan kepentingan penguasa, tidak akan ada kebebasan di dalamnya. Seperti yang dialami oleh Salma Al-Shehab.
Salma sedang berlibur di Arab Saudi saat ditangkap pada bulan Januari 2021. Pengadilan menjatuhkan hukuman penjara selama 3 tahun. Salma dinyatakan bersalah karena me- retweet status aktivis yang kritis terhadap pemerintah Arab Saudi. Ia dianggap menggunakan internet untuk menimbulkan keresahan masyarakat serta mendestabilisasi keamanan umum dan nasional. Hal ini dianggap sebagai upaya rezim untuk membungkam para aktivis yang menyampaikan kritikan mereka melalui Twitter.
Namun, pengadilan banding menambah hukumannya menjadi 34 tahun penjara dan larangan bepergian ke luar negeri dalam jangka waktu yang sama. Hal itu karena Salma dianggap telah membantu mereka yang hendak menciptakan kerusuhan.
Sementara itu, Al-Qahtani dihukum berdasarkan UU Kontra Terorisme dan Anti Kejahatan Siber. Ia dianggap bersalah atas penggunaan internet untuk mengoyak tatanan sosial dan melanggar ketertiban umum melalui media sosial. Namun, tidak ada kejelasan tentang komentar apa yang membuatnya mendapat hukuman.
Karena itu, Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya, At-Tafkiir menyebutkan bahwa demokrasi adalah sistem yang bersifat hayali. Sebab, pemikirannya hanya merupakan teori yang tidak pernah ada dalam kenyataan. Dalam teorinya, demokrasi berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kenyataannya, yang ada adalah kepentingan pribadi yang abadi. Maka, ide demokrasi hanyalah ilusi.
Hipokrisi ini juga tampak dalam urusan pemerintahan. Meskipun MbS menyatakan bahwa Arab Saudi adalah negara yang berlandaskan pada Islam, mengikuti sunah Nabi saw., dan empat Khulafaur Rasyidin, tetapi ia menolak penerapan Islam secara kaffah. Ia menyatakan bahwa masyarakat Arab Saudi adalah masyarakat yang damai dan terbuka. (sindonews.com, 10/5/2022)
Hal ini dapat dipahami. Sebab, demokrasi berasal dari pemikiran manusia yang mengompromikan dua pandangan. Yaitu, pandangan mereka yang percaya pada Tuhan dan mereka yang menghendaki kebebasan manusia. Demokrasi bukan hasil dari pemikiran yang mendalam tentang manusia, alam, kehidupan, serta keterkaitan ketiganya dengan sebelum dan sesudah kehidupan.
Karena itu, aturan yang dibuat pun hanya berdasarkan pada kompromi di antara mereka yang memegang kendali. Yaitu, antara penguasa dan pengusaha. Sedangkan rakyat hanyalah objek penderita.
Kewajiban Melakukan Muhasabah terhadap Penguasa
Dalam Islam, aktivitas muhasabah merupakan salah satu bagian dari dakwah. Bahkan, melakukan muhasabah terhadap penguasa merupakan jihad yang paling utama. Karena itu, Rasulullah saw. menyamakan kedudukan mereka yang terbunuh saat mengoreksi penguasa dengan kedudukan paman Beliau, Hamzah bin Abdul Muthalib. Beliau bersabda melalui hadis riwayat Al-Hakim,
سيد الشهداء حمزة ورجل قام إلى إمام جاىٔر فأمره ونهاه فقتله
"Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seorang laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa yang zalim. Kemudian ia memerintahkan (kemakrufan) dan melarang (kemungkaran). Maka, penguasa itu membunuhnya."
Muhasabah terhadap penguasa penting dilakukan, agar mereka tetap berada di jalan yang benar. Yaitu, menjalankan amanah untuk melayani umat. Sebab, tugas utama penguasa adalah memelihara urusan-urusan rakyat.
Muhasabah terhadap penguasa, tidak sama dengan bughat. Sebab, dalam definisi para fukaha, yang disebut bughat adalah keluar dari ketaatan terhadap imam yang sah karena perbedaan pemahaman, dengan menggunakan senjata. Sedangkan aktivitas muhasabah hanya menyampaikan pemikiran dan pendapat, tanpa disertai dengan mengangkat senjata.
Karena itu, para sahabat serta ulama dulu juga melakukan muhasabah terhadap penguasa. Seperti yang dilakukan oleh Ubadah bin Shamit yang menasihati Muawiyah bin Abi Sufyan dalam masalah riba fadhl. Abu Sa'id Al-Khudri juga menasihati Marwan, penguasa Madinah dalam perkara salat id.
Para khalifah yang mendapat kritikan pun menerimanya sebagai nasihat yang baik. Contoh yang paling masyhur adalah Khalifah Umar bin Khathab. Seorang perempuan menyampaikan kritikan atas ketetapannya terkait masalah mahar. Dengan lapang dada, ia menerimanya, karena kritikan itu berlandaskan pada dalil.
Demikianlah seharusnya sikap seorang penguasa ketika mendapat nasehat atau kritikan. Sebab, kritikan yang diberikan itu sebenarnya sebagai bentuk kasih sayang rakyat terhadap pemimpin. Hal itu juga sebagai bentuk amar makruf nahi mungkar.
Jika rakyat mendiamkan penguasa bertindak salah, maka rakyat akan menerima akibatnya. Di dunia mereka akan merasakan akibat dari buruknya kepemimpinan sang penguasa. Sedangkan di akhirat, mereka akan ditanya tentang sikap diam mereka. Itulah sebabnya, Imam Al-Ghazali mengatakan, bahwa rusaknya rakyat karena rusaknya penguasa, dan rusaknya penguasa karena rusaknya rakyat.
Wallaahu a'lam bishshawaab.[]