Laga Pemilu 2024, Eks Koruptor Diberi Ruang?

"Korupsi di negeri ini ibarat fenomena gunung es. Perkara yang berhasil diungkap hanya merupakan bagian puncak, sementara yang tak terlihat jauh lebih besar. Para tersangka terkadang bukanlah dalang utamanya, dan hanya menjadi kambing hitam. Bahkan, kita tidak menyangka bahwa otak dari tindak korupsi ini adalah para petinggi-petinggi kekuasaan."

Oleh. Wa Ode Mila Amartiar
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com- Publik mulai meragukan keseriusan pemerintah dalam memberantas budaya korupsi di negeri ini. Hal ini terkait putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 30P/HUM/2018 bahwa mantan narapidana kasus korupsi (napi koruptor) boleh mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg) pada Pemilu 2024. (CNN Indonesia, 24/08/2022)

Putusan MA ini memperkuat asumsi publik bahwa syarat menjadi calon anggota legislatif hanya berdasarkan modal kekayaan semata. Tidak lagi memperhatikan integritas, kemampuan intelektual, serta kejujuran individu dalam mengemban amanah rakyat. Tentu saja peraturan ini bertolak belakang dengan keinginan rakyat. Rakyat menginginkan para Caleg yang bersih dan tidak pernah terlibat kasus korupsi. Menghadirkan eks koruptor sebagai Caleg merupakan potret buruk bahwa negara dengan sengaja memberi kesempatan kedua bagi mantan napi koruptor kembali berlaga. Seolah-olah negeri ini telah kehabisan orang-orang yang bersih dan jujur.

Sistem Cacat bak Ladang Subur bagi Koruptor

MA berpendapat larangan eks napi koruptor untuk menjadi Caleg bersinggungan dengan pembatasan HAM, terutama hak politik warga negara untuk dipilih dan memilih. Lagi-lagi HAM menjadi senjata untuk melegalkan para eks koruptor mencalonkan diri sebagai Caleg. HAM bak payung hukum yang selalu melindungi para pelaku kejahatan elite politik di negeri ini. Hal tersebut kembali menyadarkan kita bahwa sejatinya HAM hanya berpihak kepada pemilik modal, dan tidak pernah berpihak kepada rakyat biasa. Faktanya jika ingin menjadi seorang karyawan, rakyat wajib melampirkan SKCK. Sebaliknya, mantan napi koruptor tidak diwajibkan saat mendaftar sebagai Caleg. Pelamar yang pernah terlibat tindak kriminal tidak akan diterima kerja di sebuah perusahaan, sedangkan mantan napi koruptor diterima jadi Caleg asal mau berkata jujur dan mengaku ke publik.
 
Wajar jika publik begitu geram dengan tindakan koruptor yang merugikan keuangan negara, namun negara juga yang memberi dukungan pada para napi koruptor ini. Alhasil, kejahatan yang mereka lakukan dianggap bukan sebuah aib dan terkadang saat tertangkap pun,  publik diperlihatkan sikap para tersangka dengan seragam tahanan masih bisa tersenyum lebar sambil melambaikan tangan. Sehingga tanpa rasa malu dan bersalah, terkadang mereka kembali berpartisipasi sebagai Caleg.
 
Saat berada di penjara, para tahanan koruptor sering mendapat remisi alias pengurangan masa pidana, hanya dengan syarat wajib membayar denda atau uang pengganti saja (Permenkumham Nomor 7 tahun 2022). Ditambah lagi, rumah tahanan bagi pelaku korupsi yang begitu luas, lengkap dengan fasilitas mewah. Lapas Sukamiskin misalnya, kamar selnya berukuran lebih besar dan lebih cocok disebut kamar hotel atau kamar apartemen ketimbang penjara narapidana. Para koruptor pun sering mendapat korting hukuman yang melibatkan para pejabat tinggi negara, sehingga hukum pun jadi tunduk pada uang. Hukum dan aturan dapat diatur sesuai kepentingan rezim, sehingga membuka celah lebar bagi pemegang kebijakan untuk mengendalikannya. Inilah sejatinya yang membuat korupsi di negeri ini bak lingkaran yang tidak berujung.
 
Korupsi di negeri ini ibarat fenomena gunung es. Perkara yang berhasil diungkap hanya merupakan bagian puncak, sementara yang tak terlihat jauh lebih besar. Para tersangka terkadang bukanlah dalang utamanya, dan hanya menjadi kambing hitam. Bahkan, kita tidak menyangka bahwa otak dari tindak korupsi ini adalah para petinggi-petinggi kekuasaan. Dapat disimpulkan bahwa sistem ini menjadi lahan subur bagi para koruptor yang semakin menggila. Mengharap korupsi dapat diberantas dengan sistem yang diterapkan rezim saat ini, ibarat mimpi di siang bolong.
 
Akar Masalah Korupsi
 
Faktanya, tidak ada satu pun partai politik yang steril dari perkara korupsi. Hal ini membuktikan  bahwa korupsi bukanlah penyimpangan personal namun problem yang sistematis. Setidaknya ada empat hal yang menjadi akar masalah korupsi di negeri ini, yaitu:
 
Pertama, sistem demokrasi menjadikan kedaulatan berada di tangan para kapital. Hanya orang dengan dukungan modal besar yang bisa menduduki kursi kekuasaan. Model rekrutmen politik seperti ini tidak akan mungkin melahirkan pemimpin terbaik, sebaliknya akan melahirkan pemimpin yang mengabdi kepada oligarki. Acapkali penguasa dan petinggi negara selalu bekerja sama. Pengusaha membutuhkan keleluasaan untuk kepentingan bisnis, sementara penguasa membutuhkan dana untuk menduduki kursi kekuasaan.
 
Kedua, kekuasaan dijalankan dengan tujuan untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya, baik untuk mengembalikan modal politik, maupun untuk mencari keuntungan tambahan. Kondisi seperti ini menjadikan korupsi bukan lagi menjadi pilihan, namun sudah menjadi sebuah kewajiban.
 
Ketiga, sistem kapitalis sekuler berhasil menjauhkan Allah Swt. dari segala aktivitas kekuasaan. Tidak ada kontrol dan kesadaran dari individu bahwa manusia akan mempertanggungjawabkan seluruh amalnya sewaktu menjadi pejabat politik.
 
Keempat sistem sanksi yang ringan menghilangkan efek jera bagi para koruptor. Hal ini menyebabkan para pelaku enggan bertobat dan cenderung mendorong pejabat lain melakukan kejahatan yang sama, sehingga kerap kali mereka melakukan korupsi secara berjemaah.
 
Cara Khilafah Memberantas Koruptor
 
Pemberantasan korupsi harus dimulai dengan meninggalkan sistem yang terbukti gagal ini, lalu beralih menerapkan sistem yang benar-benar antikorupsi. Aturan Islam kafah di bawah pemerintahan Khilafah Islamiah dapat mewujudkan sebuah negara yang bebas korupsi. Adapun gambaran penerapan sistem Islam antara lain:
 
Pertama, negara mengangkat pejabat ataupun pegawai negara dengan menetapkan standar takwa sebagai pilar utamanya. Ketakwaan inilah yang menjadi kontrol awal sebagai penangkal untuk berbuat maksiat dan pelanggaran syariat.
 
Kedua, dalam sistem politik Islam, memilih pejabat atau kepala daerah tidak membutuhkan modal yang besar. Para kandidat harus memenuhi syarat pengangkatan dan berdasarkan kapasitas yang mumpuni dalam menjalankan amanah pemerintah, sehingga tidak akan ada pengembalian modal yang digunakan  sewaktu pemilihan.
 
Ketiga, kekuasaan dan pemerintahan tidak bergantung pada kepentingan partai politik sehingga hukum tidak akan tumpul pada kepentingan oligarki. Peran partai politik hanya fokus mendakwahkan Islam, mengoreksi dan mengontrol penguasa.
 
Keempat, sanksi bagi pelaku korupsi mampu memberikan efek jera dan penghapusan dosa. Bentuk dan kadar sanksi diserahkan kepada ijtihad Khalifah atau Qadhi, misal bisa berupa penyitaan harta kekayaan, tasyir (diekspos depan publik), penjara, hingga diberikan hukuman mati. Sanksi tidak hanya fokus memberikan hukuman pada pelaku, namun sebagai upaya pencegahan terjadinya kasus yang sama.  
 
Kelima, memberikan gaji dan fasilitas yang layak bagi pejabat negara sehingga diharapkan akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Mekanisme ini berdasarkan hadis Nabi saw. “Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya menikah, jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan! Jika tidak mempunyai tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Dan barang siapa mengambil selainnya, itulah kecurangan (ghalin).” (HR. Abu Dawud)
 
Keenam, melarang pejabat negara menerima suap dan hadiah. Suap (rasuah) merupakan pemberian barang atau jasa kepada pejabat negara dengan maksud memperoleh keuntungan bagi dirinya. Larangan suap ini berdasarkan sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, “Hadiah yang diberikan kepada penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.”
 
Ketujuh, negara akan membentuk Badan Pengawasan Keuangan (BPK). Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab ‘Al-Amwal fi Daulah Khilafah’ menyebutkan bahwa untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak, maka ada pengawasan yang ketat dari BPK. Maka, siapa pun yang terbukti melakukan korupsi akan segera ditangani tanpa pandang bulu.
 
Demikian keagungan syariat Islam dalam menuntaskan kasus korupsi. Sudah seharusnya umat muslim sadar tentang kemuliaan ajaran Islam yang mampu menyelamatkan peradaban. Sungguh! Hati ini terasa sakit jika ada saudara kita yang muslim dengan penuh kebencian menghalangi tegaknya syariat Islam di bumi ini. Wallahu a’lam bish-shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Muthiah Al Fath Salah satu Penulis Tim Inti NarasiPost.Com. Pemenang Challenge NP dengan reward Laptop 256 GB, penulis solo Meraki Literasi dan puluhan buku antologi NarasiPost.Com
Previous
Hipokrisi Demokrasi di Arab Saudi
Next
Ekonomi Jateng Salip Nasional: Ojo Dibanding-bandingke, Yo Mesti Kalah?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram