Oknum Aparat Berulah, Darah Rakyat Kembali Tumpah

”Carut-marut yang terjadi di tubuh institusi yang semestinya bertugas melindungi jiwa rakyat itu, tidak lepas dari sistem sekuler yang tengah menguasai negeri ini. Dipisahkannya peran agama dalam kehidupan telah menciptakan sosok-sosok yang berlepas dari keyakinan bahwa Allah Maha Mengetahui.”

Oleh. Dwi Indah Lestari
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Belum reda kasus pembunuhan yang melibatkan perwira tinggi Polri, tak ayal hal tersebut menyita perhatian publik. Kini masyarakat lagi-lagi dibuat terhenyak dengan kasus serupa yang dilakukan oleh oknum aparat.

Peristiwa pembunuhan disertai mutilasi oleh oknum TNI terhadap warga sipil yang terjadi di Papua, diduga bermula dari transaksi senjata api hingga penganiayaan yang dilakukan korban kepada pelaku. Hal ini berujung pada pembunuhan warga Mimika Papua tersebut. Ngerinya, usai dibunuh jasad korban lalu dimutilasi. Enam orang oknum TNI telah ditetapkan sebagai tersangka dan akan diproses hukum (news.detik.com, 4/9/2022).

Terus Terulang

Kasus pembunuhan oleh aparatur negara tidak hanya kali ini saja terjadi. Masyarakat sudah sering menyaksikan peristiwa-peristiwa serupa. Beberapa waktu belakangan bahkan perhatian masyarakat tertuju pada kasus penembakan yang dilakukan oleh seorang petinggi di institusi kepolisian hingga berakhir dengan melayangnya nyawa salah seorang bawahannya sendiri. Tentu saja kasus pembunuhan warga sipil oleh oknum TNI kali ini kembali menambah catatan hitam bagi para aparat.

Bagaimana tidak? Tingkah polah para penegak hukum memang tengah menjadi sorotan. Sebelum kejadian-kejadian semacam ini terjadi saja, level kepercayaan publik terhadap mereka sudah hampir di titik nadir. Perlakuan sewenang-wenang dan ketidakadilan sering kali dipertontonkan oleh aparat dalam penegakan hukum yang mereka lakukan di tengah masyarakat.

Maka wajar bila masyarakat memandang apatis akan mendapatkan keadilan hukum ketika pelakunya adalah seorang aparat hukum. Bahkan, tagar #percumalaporpolisi pernah bergaung di media sosial sebagai bentuk kekecewaan terhadap kinerja aparat selama ini dalam menegakkan keamanan, ketertiban, hukum, dan keadilan. Citra aparat sebagai pengayom masyarakat pun menjadi pudar.

Penyelesaian kasus memang telah diupayakan oleh pemerintah. Bahkan dalam perkara pembunuhan warga sipil Papua oleh oknum TNI, Presiden Joko Widodo memberikan atensi khusus dengan menginstruksikan agar kejadian ini diusut hingga tuntas. Proses hukum pun harus terus dijalankan agar kepercayaan masyarakat terhadap para aparat keamanan kembali pulih. Sayangnya tak ada jaminan darah rakyat tak kembali tumpah akibat ulah oknum aparat.https://narasipost.com/2022/01/05/kredibilitas-aparat-di-sistem-kapitalis-yang-minimalis/

Tentu menjadi pertanyaan mengapa hal ini bisa terjadi? Menarik sebenarnya apa yang diungkapkan oleh seorang cendekiawan muslim, Ustaz Ismail Yusanto, yang dikutip dari muslimahnews.net (19/8/2022), saat menanggapi kasus Ferdy Sambo. Beliau menyampaikan bahwa tindakan kriminal luar biasa yang dilakukan pejabat tinggi kepolisian tersebut bukanlah sekadar kasus personal namun sudah merupakan persoalan struktural.

Carut-marut yang terjadi di tubuh institusi yang semestinya bertugas melindungi jiwa rakyat itu, tidak lepas dari sistem sekuler yang tengah menguasai negeri ini. Dipisahkannya peran agama dalam kehidupan telah menciptakan sosok-sosok yang berlepas dari keyakinan bahwa Allah Maha Mengetahui. Termasuk keyakinan bahwa setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.

Tidak adanya kesadaran itu ternyata berdampak sangat besar bukan hanya secara personal, namun terhadap masyarakat bahkan pengaturan kehidupan oleh negara. Sebab, keyakinan itulah yang sebenarnya akan melahirkan sikap jujur, amanah, rasa kasih sayang, dan sifat mulia lainnya, yang memang semestinya ada pada diri para aparat pengayom rakyat tersebut.

Sayangnya ketika hal itu justru disingkirkan oleh sekularisme sehingga berimbas pada pribadi para penegak hukum yang arogan. Maka tak mengherankan, bila aparatur negara malah memberikan ancaman bagi keselamatan jiwa rakyat. Di sisi lain masyarakat yang terlanjur apatis, menjadikan sikap otoriter oknum aparat semakin memuncak.

Apalagi sistem sanksi yang diberlakukan saat ini kerap tebang pilih dalam penerapannya. Saat aparat yang tersangkut hukum, bangunan alibi diciptakan untuk meringankan hukuman. Bahkan tak jarang para pelaku diberikan vonis bebas, seperti yang terjadi pada tersangka kasus KM 50. Kondisi ini jelas tidak memberikan efek jera, sehingga kasus-kasus kriminal terhadap warga sipil bisa saja kembali terjadi. Inilah salah satu dampak buruk yang diciptakan oleh sistem sekuler di negeri ini.

Penjagaan Jiwa dalam Sistem Islam

Berbeda dengan sistem sekuler, sistem Islam memberikan penjagaan yang sempurna terhadap umat, salah satunya adalah penjagaan terhadap jiwa. Sebab dalam Islam, nyawa seorang muslim lebih berharga daripada dunia dan seisinya.

“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai)

Bahkan perbuatan menghilangkan nyawa tanpa alasan yang benar, termasuk dosa besar.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!” Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasûlullâh, apakah itu?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Syirik kepada Allâh, sihir, membunuh jiwa yang Allâh haramkan kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari perang yang berkecamuk, menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina.” (HR. Al-Bukhâri dan Muslim)

Kesempurnaan Islam dalam menjaga jiwa adalah karena sistem ini disandarkan pada akidah Islam yang senantiasa menghadirkan kesadaran bahwa setiap perbuatan tidak lepas dari pengawasan Allah Swt. Selain itu, penegakan hukum-hukum Islam dijalankan oleh tiga pilar, yaitu individu, masyarakat, dan negara (Khilafah).

Individu-individu yang hidup dalam sistem Islam, dibina dengan pemikiran dan pemahaman Islam, sehingga ia berhati-hati dalam berbuat agar tidak melanggar perintah dan larangan Allah. Sikap seperti ini pun akan tercipta dalam diri para aparat. Mereka akan berusaha menjaga amanah dan takut bila mengkhianatinya, karena paham bahwa kelak Allah akan meminta pertanggungjawaban di hari pembalasan.

Di sisi lain, kontrol masyarakat akan terwujud. Sebab, individu-individu di dalamnya memahami kewajiban untuk menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Sehingga, tindakan pelanggaran hukum Islam baik yang dilakukan warga sipil maupun aparatur negara, akan segera diketahui dan dicegah atau dilaporkan. Masyarakat tidak akan membiarkan kemaksiatan terus terjadi di lingkungannya. Selain itu mereka pun tak segan untuk menasihati para aparat atas perbuatan zalim yang dilakukan.

Sementara itu sanksi tegas juga diterapkan oleh negara (Khilafah) terhadap perbuatan membunuh yang memang diharamkan oleh syarak. Pembunuhan termasuk dalam kejahatan yang akan mendapat sanksi berupa jinayah (qishash), yaitu hukuman yang berkaitan dengan berbagai perbuatan yang merugikan hak-hak individu. Dalam hal ini korban diberikan pilihan boleh mengajukan tuntutan hukum atau memaafkan dan menerima uang diat.

Keluarga korban yang dibunuh dapat meminta agar pelaku dijatuhkan hukuman yang sama yaitu dibunuh. Atau memaafkan dengan kompensasi berupa uang diat. Besarnya diat bagi seseorang yang membunuh secara sengaja adalah 100 ekor unta, di mana 40 ekor di antaranya sedang bunting, atau berupa uang senilai dengan itu. Sementara untuk pembunuhan yang tidak disengaja, diatnya sebesar 100 ekor unta.

“Siapa saja yang membunuh seorang mukmin tanpa hak akan mendapatkan balasan atas apa yang dilakukan oleh tangannya, kecuali bila keluarga (orang) yang terbunuh menghendaki yang lain. Dan sesungguhnya seorang laki-laki dibunuh karena membunuh seorang perempuan, dan sesungguhnya dalam jiwa setiap mukmin itu terdapat 100 ekor unta.” (HR. An Nasai)

Inilah yang akan dijalankan oleh Khilafah dalam rangka menjaga keselamatan jiwa rakyat. Setiap individu diperlakukan sama baik rakyat biasa maupun aparat negara tanpa pandang bulu di hadapan hukum. Dengan begitu keadilan dan keamanan benar-benar akan didapatkan serta dirasakan oleh seluruh masyarakat yang hidup di bawah naungannya.
Wallahu’alam bisshowab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Dwi Indah Lestari Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Cacar Monyet Merebak, di Mana Keseriusan Negara?
Next
Aparat yang Baik, Lahir dari Sistem yang Baik
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle

You cannot copy content of this page

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram