"Korupsi dalam sistem kapitalisme seperti saat ini, selain berkembang subur juga seolah kebal hukum. Korupsi yang sudah mengakar, baik dalam skala kecil maupun negara begitu sulit diberantas. Bahkan, para koruptor memperoleh perlindungan hukum dengan tetap bisa nyaleg. Padahal sudah sangat jelas koruptor adalah orang yang tidak mampu menjaga amanah."
Oleh. Ummu Syaakir
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Menjelang 2024, Indonesia akan kembali mengadakan perhelatan pemilihan umum (pemilu). Berdasarkan putusan MA tahun 2018, mantan narapidana kasus korupsi berhak mengajukan diri sebagai calon legislatif. Sebelumnya, Pasal 60 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2018 menyatakan napi eks koruptor tidak diperbolehkan mencalonkan diri. Namun, gugatan terhadap aturan tersebut menjadikan diputuskannya aturan baru berupa putusan Mahkamah Agung no 30 P/ HUM/ 2018, bahwa napi eks koruptor diperbolehkan menggunakan haknya, baik untuk memilih maupun dipilih.
Alasan keputusan MA tersebut adalah tumpang tindihnya aturan larangan eks napi mencalonkan diri dalam pemilu dengan konvenan internasional hak sipil dan politik PBB. Selain itu, aturan tersebut juga bertentangan dengan isi pasal 43 ayat 1 UU no 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dimana setiap warga negara berhak memilih dan dipilih. (CNN Indonesia, 25/8/2022)
Keputusan ini tentu mencederai hati rakyat. Bagaimana tidak? Rakyat yang dahulu memilih mereka, namun mereka mengkhianati amanah tersebut dengan mengambil uang rakyat. Lalu kini dengan seenaknya, berdasarkan aturan baru, para pengkhianat ini diperbolehkan untuk kembali memangku jabatan yang dulu pernah ia khianati. Hal ini mengundang pertanyaan besar tentang keseriusan negara dalam menindak para koruptor.
Korupsi dalam sistem kapitalisme seperti saat ini, selain berkembang subur juga seolah kebal hukum. Korupsi yang sudah mengakar, baik dalam skala kecil maupun negara begitu sulit diberantas. Bahkan, para koruptor memperoleh perlindungan hukum dengan tetap bisa nyaleg. Padahal sudah sangat jelas koruptor adalah orang yang tidak mampu menjaga amanah.
Aturan UU yang dibuat oleh manusia menjadi penyebab makin sulitnya memberantas korupsi. UU yang hak membuatnya diserahkan kepada manusia tentu rentan kepentingan. Tak ayal, UU begitu mudah berubah bahkan bertentangan satu sama lain. Inilah bukti rusaknya sistem kehidupan yang aturan hukumnya diserahkan kepada manusia.
Pemisahan agama dari kehidupan atau sekularisme menjadi biang tidak tuntasnya berbagai problematika kehidupan. Sekularisme telah meniadakan Allah sebagai Sang Maha Pencipta untuk mengatur kehidupan manusia. Manusia dengan kecerdasannya yang amat terbatas, berusaha membuat berbagai aturan kehidupan yang nyatanya tidak mendatangkan maslahat, tetapi justru memperbanyak mudharat.
Maka, untuk menuntaskan korupsi di negeri ini, sudah seharusnya manusia kembali melibatkan Sang Pencipta dalam mengatur kehidupannya. Islam, sebagai sebuah ideologi tidak hanya berisi perkara ibadah mahdoh saja. Islam memiliki solusi bagi setip permasalahan kehidupan, termasuk korupsi.
Sejarah mencatat bagaimana sistem Islam memberantas korupsi, sehingga hal yang sama tidak kembali terjadi. Sistem hukum dalam Islam yang berfungsi sebagai penebus dosa dan memberikan efek jera mampu menghalangi orang lain untuk tidak mengikuti jejak kemaksiatan orang lain.
Sistem pemerintahan Islam, Khilafah, menindak tegas para koruptor dengan hukuman serta menyita harta hasil korupsi. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, para pejabat diperiksa harta kekayaannya. Khalifah Umar menyita harta yang tidak jelas asal-usulnya, kemudian dimasukan ke dalam kas Baitulmal yang digunakan untuk kepentingan rakyat. Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga pernah menetapkan sanksi hukuman cambuk dan penjara terhadap koruptor.
Dalam Islam, kasus korupsi berbeda dengan kasus pencurian. Oleh karena itu, para koruptor tidak dipotong tangan sebagaimana para pencuri. Rasulullah saw. bersabda, ”Perampas, koruptor (mukhtalis) dan pengkhianat tidak dikenakan hukuman potong tangan.” (HR Ahmad, Ashab as-Sunan dan Ibnu Hibban)
Hukuman bagi para koruptor dalam Islam ditentukan oleh khalifah atau kepala negara. Hukuman tersebut diputuskan khalifah berdasarkan hukum syarak yang diadopsi oleh khalifah. Hukuman takzir bagi koruptor dapat berupa pengumuman melalui media massa, dicambuk, dipenjara, diasingkan, bahkan hukuman mati jika memang korupsi yang dilakukan sampai pada tahap sangat membahayakan negara. Dengan tegasnya hukuman serta disitanya harta, para koruptor menjadi jera. Tegasnya hukum Islam ini juga akan mencegah orang lain dari tindak korupsi yang serupa. Tidak ada tawar-menawar terkait hukuman yang telah ditetapkan oleh syarak. Karena khalifah bertugas memastikan berjalannya aturan kehidupan sesuai dengan perintah dan larangan Allah ta'ala. Demikianlah Islam menjaga harta umat agar tidak disalahgunakan oleh pejabat yang tidak amanah.
Allahu a'lam.[]